Oleh Agus Lenyot, November 21,
2012
tags: Dahlan
Iskan, DPR, Politik
Hari-hari terakhir jagat politik kita memang sedikit menghebohkan.
Semuanya berawal dari ucapan Dahlan Iskan dan Dipo Alam. Dahlan
berucap, ada sejumlah anggota DPR yang kerap meminta jatah kepada perusahaan
BUMN. Dia bahkan sudah menyebutkan ada sekitar 10 nama yang dia kantongi. Dipo
Alam melaporkan tiga kementerian ke KPK. Indikasinya, ada praktek manipulasi
anggaran lewat fraksi di DPR.
Sontak ucapan Dahlan dan Dipo Alam menuai polemik di gedung parlemen,
tempat biasa aku liputan. Berbagai kecaman dari anggota DPR datang. Dahlan
Iskan dan Dipo Alam ditantang untuk membuktikan ucapannya. Hanya Dipo yang
akhirnya serius ke KPK. Kasus Dahlan, hingga saat ini hanya baru sampai di
Badan Kehormatan DPR.
Sebenarnya kasak kusuk pemerasan oleh DPR kepada pemerintah sebenarnya
isu lama. Dari zaman program pemerintah bernama Repelita hingga era reformasi.
Bahkan cenderung menjadi rahasia umum. Hanya saja kali menghebohkan karena
langsung diucapkan oleh seorang menteri. Ibaratnya, secara terang-terangan sang
menteri menabuh perang.
Aku yang sehari-hari liputan di DPR kebagian juga hiruk pikuk ini.
Termasuk menuliskan bantahan dari anggota DPR. Anggota DPR berang karena
dituding korupsi. Bahkan mereka menantang balik agar dua menteri ini membuka
borok di kementeriannya. Sederhananya: DPR ingin bilang, kementerian jangan sok
suci.
Dahlan, seorang bos media dan pernah menjadi wartawan di media tempatku
bekerja memang pandai melempar isu. Aku maklum. Pengalamannya bertahun-tahun di
bisnis media membuat dia paham apa yang disukai media. Istilahnya: media
darling. Tak heran, pemberitaan media mengenai pemerasan yang dilontarkan
Dahlan ini lebih banyak ‘berpihak’ ke Dahlan Iskan.
Aku sendiri cenderung untuk berpikir sebaliknya. Aku tidak akan
membantah di DPR banyak maling. Aku kerap menyebut, apa yang terjadi di layar
kaca soal debat anggota DPR itu kepalsuan. Di belakang meja, mereka
tertawa-tawa tanpa dosa kok. Tetapi, tentu saja tidak semua orang dari anggota
DPR maling yang kerjannya merampok yang rakyat. Aku juga kerap melihat ada
anggota Dewan yang serius bekerja untuk rakyat.
Sebagai wartawan peliput DPR, aku tidak akan membela institusi ini. Aku
sama sekali tidak memiliki kepentingan untuk itu. Tetapi, kadang kita cenderung
bersikap tidak adil terhadap lembaga ini. Aku tidak tahu kenapa. Bisa jadi
karena, DPR diembel-embeli wakil rakyat dan proses untuk menempatkan
orang-orang di sana melalui pemilihan langsung. Jadi, harapan kepada lembaga
ini begitu besar. Akibatnya, sedikit saja lembaga ini melakukan kesalahan,
hujatan akan datang bertubi-tubi.
Dalam konteks kasus Dahlan, aku juga ingin menyoroti bagaimana peran
DPR. Harapan kita kepada DPR tentu tinggi. Sebabnya, anggota lembaga ini
dipilih langsung oleh rakyat sehingga diharapkan bisa menjalankan fungsi
kontrol kepada pemerintah. Tetapi nyatanya, kewenangan yang dimiliki oleh DPR
disalahgunakan oleh segelintir anggota yang ternyata begitu punya kuasa. Segelintir
anggota ini bisa mengendalikan teman-temannya untuk bersekongkol memanipulasi
uang rakyat dlam pembahasan anggaran bersama pemerintah. Akibatnya, terjadilan
kongkalikong anggaran.
Artinya, aku ingin membenarkan bahwa ada politikus kita yang busuk.
Tetapi, apa yang menyebabkan politikus itu busuk? Karena ada peluang yang
ditawarkan kepada mereka. Siapakah yang menawarkan peluang kebususkan itu?
Tentu saja mitra DPR dalam membahas anggaran.
Jika kita mau membuka mata dengan lebih lebar, sebenarnya persoalan
besar korupsi kita ya adanya di pemerintah. Aku pernah mendengar ucapan seorang
anggota Dewan tentang audit terhadap kinerja keuangan pemerintah (Kementerian
dan lembaga-lembaga di bawahnya). Mengapa banyak lembaga setelah diaudit Badan
Pemeriksa Keuangan mendapatkan wajar tanpa pengecualian, karena mereka pintar
memanipulasi dokumen-dokumen. Birokrasi adalah seni memalsukan kuitansi. Itulah
yang terjadi pada birokrasi kita. Selama ada kuitansi, selama itu pula
manipulasi bisa dilakukan.
Pernahkah kita misalnya menggugat betapa tidak efisiennya birokrasi
kita. Tidak efisien dalam arti, pertama dia gemuk secara organisasi. Karena dia
gemuk, dengan hierarki yang bertele-tele dia akan menjadi lamban. Birokrasi
menjadi tidak gesit. Kedua, birokrasi kita tidak memiliki target kerja.
Akibatnya, standar pelayanan publik menjadi rendah. Ketiga, pengawasan terhadap
mereka lemah. Siapa yang bisa mengawasi kinerja birokrasi termasuk keuangan
mereka hingga detail? Inspektorat? Apakah ada laporan kepada publik selama ini
bagaimana pengawasan terhadap birokrasi dari inspektorat? Saya nyaris tidak
pernah mendengar.
Kita sering melihat banyak program di pemerintahan dijalankan hanya
sekadar untuk menghabiskan anggaran. Tanpa rencana yang jelas, target dan
bentuk kegiatan yang jelas sehingga output yang dihasilkan juga entah untuk
apa. Pokoknya anggaran habis. Sebab jika anggaran tidak habis, kemungkinan
besar tahun depan anggaran akan dikurangi.
Jangan heran, akhir tahun ada banyak program aneh-aneh yang kerap dilakukan
pemerintah. Entah bimbingan teknis di luar kota, jalan-jalan dengan dalih studi
banding atau iklan di media massa. Gunanya apa? Agar anggaran habis.
Aku adalah orang yang percaya birokrasi adalah lini penting bagi
kemajuan bangsa ini. Nyaris setiap sisi hidup kita akan berhadapan dengan
birokrasi. Itulah yang menyebabkan aku begitu sering berkoar-koar dengan
bobroknya birokrasi. Perencanaan yang jelas, terukur dan akuntabel akan membuat
jalan birokrasi efektif. Tetapi apakah semua lembaga pemerintahan menerapkan
itu? Apakah semua peduli? Rasanya tidak. Bukan hanya untuk mencemooh tetapi
agar bagaimana jalan pemerintahan dan republik tidak keluar dari jalur.
Kembali pada soal DPR dan Pemerintah.
Kebetulan aku pernah liputan di DPR dan sejumlah Kementerian. Diantara
semua pos liputan yang pernah aku masuki, aku merasa di DPRlah yang wartawannya
lumayan galak. Kita bebas bertanya apa saja sampai di anggota DPR marah. Aku
beberapa kali merasakan dibentak narasumber karena memojokkan dia. Bahkan
beberapa kali narasumber mencoba mempermalukanku di depan banyak orang. Tapi
aku ya lempeng saja. Cuek bebek.
Bandingkan dengan di Istana misalnya, setiap pertanyaan wartawan
diseleksi sehingga pertanyaan kritis bisa disisihkan. Di Kementerian, wartawan
dijamu dengan baik. Ruangan wartawan dibuat senyaman mungkin, akhir tahun
diajak gathering dan ada dana khusus yang dialokasikan kepada mereka. Aku sih
berharap ini tidak menumpulkan naluri kritis wartawan tempat dia meliput. Di
beberapa kementerian ada wartawan yang lumayan senior dan siap menjadi
koordinator pembagi amplop. Begitulah.
Memperbaiki birokrasi memang tidak mudah. Butuh waktu, tetapi melempar
bola apalagi kesalahan hanya kepada lembaga lain, seperti Dahlan ke DPR juga
tidak baik. Birokrasi sudah merasakan enaknya selama puluhan tahun dalam rezim
Orde Baru. Dimanjakan dengan banyak hal tanpa pengawasan karena DPR dibikin
mandul. Ketika diubah secara mendadak, diawasi dari berbagai sisi, aku tidak
heran birokasi meradang.
Apa yang dilakukan Jokowi
Ahok bisa menjadi contoh.
DPR yang bersih kita perlukan. Sebab dialah lembaga yang akan mengawasi
kinerja pemerintahan. Jika dihantam terus menerus, aku khawatir DPR akan bebal.
Aku sih berharap, dukungan kepada DPR diberikan terus menerus. Kritik tentu
saja perlu tetapi hanya membuat citra negatif juga tidak bagus buat masa depan
negara kita.
Kecuali kita memang ingin, jagat politik hiruk pikuk seperti kasus
Dahlan Iskan yang nggak jelas akhirnya kemana.
No comments:
Post a Comment