Penulis: M Harjono Kartohadiprodjo - Mantan Pengusaha Pelayaran dan Industri
Tulisan ini dibuat
atas permintaan Prof.Emil Salim, menanggapi tulisanya yang dimuat di
Harian Kompas tanggal 4 October 2012 berjudul : “Cabotage” untuk Merah Putih. Merupakan
kehormatan bagi penulis , menanggapi pendapat Senior penulis (Mantan Ketua
Dewan Mahasiswa UI) dan Mantan Mentri Perhubungan pada awal penulis
berkecimpung di bidang pelayaran.
Pendapat Prof Emil Salim sebagai Mantan Mentri Perhubungan dan Penasehat Senior Presiden di Harian Kompas merupakan suatu kemajuan dan pencerahan yang baik di masarakat. Karena pendapat pejabat2 tinggi negara dan pengusaha pada saat ini menganggap “cabotage” di Indonesia sudah usang dan tidak diperlukan lagi. Karena generasi di Indonesia saat ini sedang euforia dengan kehidupan “globalisasi” dan “liberalisme” , daripada mendahulukan kepentingan nasional.
Pendapat Prof Emil Salim sebagai Mantan Mentri Perhubungan dan Penasehat Senior Presiden di Harian Kompas merupakan suatu kemajuan dan pencerahan yang baik di masarakat. Karena pendapat pejabat2 tinggi negara dan pengusaha pada saat ini menganggap “cabotage” di Indonesia sudah usang dan tidak diperlukan lagi. Karena generasi di Indonesia saat ini sedang euforia dengan kehidupan “globalisasi” dan “liberalisme” , daripada mendahulukan kepentingan nasional.
Negara-negara adi kuasa didunia seperti Amerika Serikat yang sangat liberal dalam kehidupan ekonominya sudah lama memberlakukan azas cabotage melalui Jones Act 1920. Peraturan tersebut merupakan landasan dari Merchant Marine Law, walaupun telah diadakan modifikasi dengan melakukan perubahan2 isinya untuk disesuaikan dengan kemajuan jaman.
Tujuannya: melindungi lapangan kerja pelaut, menghidupkan perusahaan
pelayaran dan merupakan subsidi terselubung termasuk untuk ketahanan dan
pertahanan nasionalnya. Bahkan saat ini cabotage juga telah diperlakukan untuk
angkutan udara dan angkutan darat. Karena AS berbatasan dengan Canada dan
banyak melaukan lintas antar negara.
Bukan saja AS yang memberlakukan cabotage di negaranya,negara Eropa yang tergabung pada Uni Eropa, terbentuk beberapa tahun yang lalu,memerlukan juga untuk memberlakukan peraturan cabotage bagi negara2 anggotanya. Terutama didalam angkutan laut,sungai ,udara dan darat. Tercantum pada EU Regulation (EEC) No.3118/93, dimana setiap negara anggota EU dapat memberlakukan aturan cabotage sesuai kebutuhannya. Hal ini diberlakukan di negara seperti : Jerman, Italia, Checko, Slovakia dsb.
Demikian pula azas cabotage ini diberlakukan dengan ketat di negara2 Jepang yang diatur pada Article 3 The Japan Shipping Act, yang mencantumkan aturan- aturan bagi pelayaran pantai. Ketentuan2 tersebut dibuat sesuai desakan: The Japan Shipping Federation.
Negara2 Asia yang memberlakukan cabotage diantaranya adalah :
The People Republic of China,memberlakukan cabotage sesuai Article 4
Maritime Code of the People’s Republic of China,terutama bagi pelayaran dalam
negeri dan kapal2 pelayanan di pelabuhan.Sedang orang asing hanya boleh memilki
saham max.49% terhadap kapal2 untuk export dan import (ocean going shipping company).
Negara India yang memberlakukan cabotage sesuai Marchant Shipping Act
1958 tidak saja untuk pelayaran dalam negri saja , tetapi juga untuk
angkutan export dan import di India.
Para pemimpin bangsa2 tersebut diatas menyadari pentingnya pembatasan
gerak kegiatan ekonomi bangsa asing dinegaranya, dengan alasan
penghematan atau pendapatan devisa dan lapangan kerja . Sayangnya para pemimpin
kita kurang memikirkan secara sungguh2 untuk memperlakukan cabotage dan tidak
memilki pandangan sejauh pemimpin negara maju didalam usaha
mensejahterakan bangsanya. Peraturan2 yang dibentuk hanya mementing-kan
keuntungan sesaat saja.
Sebelum penulis membahas dan memberi tanggapan terhadap tulisan Prof Emil Salim tersebut,penulis ingin membahas,apakah sistim cabotage yang kita akan bahas ini cocok untuk negara dan bangsa Indonesia. Dimana negara kita terdiri dari 17.000 pulau2 dan lautan yang besarnya saat ini telah menjadi 5.193.250 km2,dihuni 754 suku bangsa dan subsuku bangsa ,502 bahasa dan dialek (sesuai keterangan Prof.Meutia Swasono).Sehingga azas cabotage yang kita terapkan tersebut harus sesuai dan mewujudkan keadilan sosial, persatuan berlandaskan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai landasan pemikiran bangsa Indonesia yang tercantum di Mukadimah UUD 1945.
Prof Emil Salim pada tulisannya di Harian Kompas tidak membahas pentingnya azas cabotage bagi negara Indonesia yang telah diakui United Nation Convention on the Law of the Sea /UNCLOS yang ke 3 pada tahun 1982 sebagai Negara Kepulauan(Archipelagic State). Artinya Deklarasi Djuanda “Wawasan Nusantara” diakui UNCLOS. Keputusannya telah diratifikasi oleh DPR RI tahun 1985 dan diterbitkan sebagai UU Nomer 17 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut. Sehingga wilayah lautan kita sebagai negara kepulauan/archipelagic state memilki wilayah:
1.Perairan Kepulauan/Regime Archipelagic State,daerah lautan yang terdapat pada Negara Kepulauan (Laut Jawa,Laut Arafuru dsb).
2.Perairan Teritorial/Regime Teritorial ,lebar laut max. 12 mil
ke laut diukur dari garis pangkal.
3.Perairan Zona Ekonomi Exclusif/Regime Exclusive Economic Zone yang
merupakan hak negara pantai untuk melakukan explotasi dan explorasi, selebar
max 200 mil dari base line perairan teritorial.
Dengan bertambahnya wilayah Indonesia 2,5 kali lipat dibandingakan wilayah Hindia Belanda sesuai : Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 ,yaitu ketentuan wilayah Hindia Belanda,yang terdiri dari pulau- pulau dipisahkan laut ,dan setiap pulau memilki laut teritorial selebar 3 mil dari daratan sekeliling pulau itu saja. Saat ini negara Indonesia bertambah luas,terdiri 1/3 bagian daratan dan 2/3 bagian lautan.Wilayah tersebut perlu dijaga dan dimanfaatkan kekayaan alamnya sebesar besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia sesuai Psl.33 UUD 1945. Maka policy cabotage perlu diarahkan untuk melindungi pemanfaatan wilayah lautan tersebut, terutama didalam melakukan explotasi dan explorasi pertambangan dan industri lepas pantai.
Kepentingan Hindia Belanda terhadap policy cabotage berbeda dengan Republik Indonesia . Kepentingan Hindia Belanda menggunakan aturan cabotage untuk mendapatkan keuntungan se-besar2nya,dengan melakukan monopoli perdagangan diwilayah koloninya.Membuat perjanjian : Groote Archipele Contract of Koninklijke Paketvaart Maatschappij dan memberikan monopoli pada 5 perusahaan dagang Hindia Belanda (Big Five) yang tujuannya:
1. Agar KPM dan Big Five Trading Company menjaga hasil bumi dari
hasil aturan Cultur Stelsel di wilayah Hindia Belanda tidak dijamah oleh
bangsa lain,terutama Inggris yang merupakan saingan dagangnya.
2. Menugaskan KPM menjadi suatu kekuatan laut untuk melakukan
pengawasan keamanan wilayah Hindia Belanda,dengan melakukan pelayaran tetap dan
teratur keseluruh plosok pulau2.
3. Menjalankan tugas sebagai angkutan pos secara teratur ke seluruh pulau2 , serta angkutan pegawai sipil dan militer beserta logistiknya.
Untuk tugas2 tersebut diatas KPM memperoleh hak monopoli dan subsidi
karena menjalankan tugas politik negara (Sumber buku: ENGINES OF EMPIRE
Steamshipping and State Formation in Colonial Indonesia)
Sedangkan cabotage pada negara Republik Indonesia yang telah merdeka
dan berdaulat hendaknya dipakai untuk :
1.Mengatur distribusi nasional terutama untuk menjaga stabilisasi
didalam meratakan kemakmuran bagi seluruh daerah wilayah
negara.
2.Melakukan tugas angkutan bahan baku secara tetap dan teratur, untuk
ditingkatkan nilai tambahnya pada industri hilir, didalam membangkitkan
lapangan kerja dan menambah devisa negara
3.Angkutan laut yang dilaksanakan oleh kapal2 nasional secara
tetap dan teratur dapat turut membantu pengamanan, menjaga dan melakukan
pengawasan terhadap wilayah lautan Indonesia.
4.Kapal nasional diprioritaskan melakukan kegiatan dan dimanfaatkan
semaximal mungkin diwilayah perairan sesuai ketentuan UNCLOS. Terutama didalam
menggunakan peralatan untuk melakukan explotasi dan explorasi dilaut
maupun didarat.
5.Menjaga dan mempererat hubungan budaya antar etnik/suku bangsa
dan kebersamaan dalam kehidupan ekonomi bangsa didalam NKRI, melalui
angkutan tetap dan teratur.
Azas cabotage perlu diberlakukan secara nasional di daratan, lautan dan udara seperti negara2 maju,hal ini sangat mungkin,mengingat potensi kekayaan bahan baku dan alam Indonesia beragam dan sangat besar potensinya.Hal tersebut tentunya dapat menumbuhkan :
Azas cabotage perlu diberlakukan secara nasional di daratan, lautan dan udara seperti negara2 maju,hal ini sangat mungkin,mengingat potensi kekayaan bahan baku dan alam Indonesia beragam dan sangat besar potensinya.Hal tersebut tentunya dapat menumbuhkan :
1.Pasaran industri dan industri perawatan alat angkut secara rutin.
2.Lapangan kerja bagi crew alat angkut dan perawatan.
3.Menunjang pengamanan nasional.
4.Potensi pariwisata
5. kegiatan penagkapan ikan
Untuk memajukan perekonomian Indonesia Bagian Timur(IBT), perlu ditingkatkan kemampuan pelabuhan Makasar menjadi pusat kegiatan ekonomi di daerah IBT sesuai dengan letak geografisnya. Sehingga dapat tercapai effisiensi biaya angkutan diwilyah tersebut.
Kita harus berani meninggalkan kesalahan2 yang lalu dan membangkitkan semangat bahari untuk masa depan yang lebih cerah. Dunia banyak mengandalkan komoditi yang hanya tumbuh terbesar di negara kita dan dapat menjadi andalan berkembangnya industri2 hilir . Perobahan mental dari bangsa Indonesia yang terbiasa mengexport barang mentah, harus dirobah dengan membangkitkan industri hilir dan mengexport product barang jadi.Sehingga dapat meningkatkan pengusaha menengah, lapangan kerja dan devisa negara. Untuk mencapai keberhasilan usaha tersebut dinegara kepulauan seperti Indonesia, perlu ditunjang oleh angkutan yang dikendalikan dengan semangat nasional . Maka policy cabotage perlu di tingkatkan secara sungguh melalui tahapan2 dengan pengendalian yang ketat.
Diposkan 30th October
2012 oleh Harjono
Kartohadiprodjo
No comments:
Post a Comment