Thursday, June 27, 2013

Menegakkan Azas Cabotage untuk Kesejahteraan NKRI

Penulis: M Harjono Kartohadiprodjo - Mantan Pengusaha Pelayaran dan Industri

                                                                                             

Tulisan ini dibuat atas permintaan  Prof.Emil Salim, menanggapi tulisanya yang dimuat di Harian Kompas tanggal 4 October 2012 berjudul : “Cabotage” untuk Merah Putih. Merupakan kehormatan bagi penulis , menanggapi pendapat Senior penulis (Mantan Ketua Dewan Mahasiswa UI) dan Mantan Mentri Perhubungan pada awal penulis  berkecimpung di bidang pelayaran.
Pendapat Prof  Emil Salim sebagai Mantan Mentri Perhubungan dan  Penasehat Senior Presiden  di Harian Kompas merupakan suatu kemajuan dan pencerahan yang baik di masarakat. Karena  pendapat pejabat2 tinggi negara dan pengusaha pada saat ini menganggap “cabotage”  di Indonesia sudah usang dan tidak diperlukan lagi. Karena  generasi  di Indonesia saat ini sedang euforia dengan kehidupan “globalisasi” dan “liberalisme” , daripada mendahulukan kepentingan nasional.

Negara-negara adi kuasa didunia seperti Amerika Serikat yang sangat liberal dalam kehidupan ekonominya sudah lama memberlakukan azas cabotage melalui  Jones Act 1920. Peraturan tersebut merupakan landasan dari  Merchant Marine Law, walaupun telah diadakan modifikasi dengan melakukan perubahan2 isinya untuk disesuaikan dengan kemajuan jaman.
Tujuannya: melindungi lapangan kerja pelaut, menghidupkan perusahaan pelayaran dan merupakan subsidi terselubung termasuk untuk ketahanan dan pertahanan nasionalnya. Bahkan saat ini cabotage juga telah diperlakukan untuk angkutan udara dan angkutan darat. Karena AS berbatasan dengan Canada dan banyak melaukan lintas antar negara.
 
Bukan saja AS  yang memberlakukan cabotage di negaranya,negara Eropa yang tergabung pada  Uni Eropa, terbentuk beberapa tahun yang lalu,memerlukan juga untuk memberlakukan peraturan cabotage bagi negara2 anggotanya. Terutama didalam angkutan laut,sungai ,udara dan darat. Tercantum pada EU Regulation (EEC) No.3118/93, dimana setiap negara anggota EU dapat memberlakukan aturan cabotage sesuai kebutuhannya. Hal ini diberlakukan di negara seperti : Jerman, Italia, Checko, Slovakia dsb.

Demikian pula azas cabotage ini diberlakukan dengan ketat di negara2 Jepang yang diatur pada Article 3 The Japan Shipping Act, yang mencantumkan aturan- aturan bagi pelayaran pantai. Ketentuan2 tersebut dibuat sesuai desakan: The Japan Shipping Federation.              

Negara2 Asia yang memberlakukan cabotage diantaranya adalah : 

The People Republic of China,memberlakukan cabotage sesuai Article 4 Maritime Code of the People’s Republic of China,terutama bagi pelayaran dalam negeri dan kapal2 pelayanan di pelabuhan.Sedang orang asing hanya boleh memilki saham max.49% terhadap kapal2 untuk export dan import (ocean going shipping company). 
Negara India yang memberlakukan cabotage sesuai Marchant Shipping Act 1958  tidak saja untuk pelayaran dalam negri saja , tetapi juga untuk angkutan export dan import di India.  
Para pemimpin bangsa2 tersebut diatas menyadari pentingnya pembatasan gerak  kegiatan ekonomi bangsa asing dinegaranya, dengan alasan penghematan atau pendapatan devisa dan lapangan kerja . Sayangnya para pemimpin kita kurang memikirkan secara sungguh2 untuk memperlakukan cabotage dan tidak memilki  pandangan sejauh pemimpin negara maju didalam usaha mensejahterakan bangsanya. Peraturan2 yang dibentuk hanya mementing-kan  keuntungan sesaat saja.

Sebelum penulis membahas dan memberi tanggapan terhadap tulisan Prof Emil Salim tersebut,penulis ingin membahas,apakah sistim cabotage yang kita akan bahas ini cocok untuk negara dan bangsa Indonesia. Dimana negara kita terdiri dari 17.000 pulau2 dan lautan yang besarnya saat ini telah menjadi 5.193.250 km2,dihuni  754 suku bangsa dan subsuku bangsa ,502 bahasa dan dialek (sesuai keterangan Prof.Meutia Swasono).Sehingga azas cabotage yang kita terapkan tersebut harus sesuai dan mewujudkan keadilan sosial, persatuan berlandaskan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai landasan pemikiran bangsa Indonesia yang  tercantum di Mukadimah UUD 1945.

Prof Emil Salim pada tulisannya di Harian Kompas tidak membahas pentingnya azas cabotage bagi negara Indonesia yang telah diakui  United Nation Convention on the Law of the Sea /UNCLOS yang ke 3 pada tahun 1982 sebagai Negara Kepulauan(Archipelagic State). Artinya Deklarasi Djuanda  “Wawasan Nusantara” diakui  UNCLOS. Keputusannya telah diratifikasi oleh DPR RI tahun 1985 dan diterbitkan sebagai UU Nomer 17 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut. Sehingga wilayah lautan kita sebagai negara kepulauan/archipelagic state memilki wilayah:
1.Perairan Kepulauan/Regime Archipelagic State,daerah lautan yang terdapat pada Negara Kepulauan (Laut Jawa,Laut Arafuru dsb). 
2.Perairan Teritorial/Regime Teritorial ,lebar laut  max. 12 mil ke laut diukur dari garis pangkal.
3.Perairan Zona Ekonomi Exclusif/Regime Exclusive Economic Zone yang merupakan hak negara pantai untuk melakukan explotasi dan explorasi, selebar  max 200 mil dari base line perairan teritorial.
 
Dengan bertambahnya wilayah  Indonesia  2,5 kali lipat dibandingakan  wilayah Hindia Belanda sesuai : Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 ,yaitu  ketentuan wilayah Hindia Belanda,yang  terdiri dari pulau- pulau dipisahkan laut ,dan setiap pulau memilki laut teritorial selebar  3 mil dari daratan sekeliling pulau itu saja. Saat ini negara Indonesia  bertambah luas,terdiri 1/3 bagian daratan dan 2/3 bagian lautan.Wilayah tersebut perlu dijaga dan  dimanfaatkan kekayaan alamnya sebesar besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan  bangsa Indonesia  sesuai Psl.33 UUD 1945. Maka  policy cabotage perlu diarahkan untuk melindungi  pemanfaatan wilayah lautan tersebut, terutama didalam melakukan explotasi dan explorasi pertambangan dan industri lepas pantai.

Kepentingan  Hindia Belanda terhadap policy cabotage berbeda dengan  Republik Indonesia . Kepentingan  Hindia Belanda menggunakan aturan cabotage untuk mendapatkan keuntungan se-besar2nya,dengan melakukan monopoli perdagangan diwilayah koloninya.Membuat perjanjian : Groote Archipele Contract of Koninklijke Paketvaart Maatschappij   dan memberikan monopoli pada 5 perusahaan dagang  Hindia Belanda (Big Five) yang tujuannya:                                                                                                                                    
1. Agar KPM dan Big Five Trading Company menjaga  hasil bumi dari hasil aturan  Cultur Stelsel di wilayah Hindia Belanda tidak dijamah oleh bangsa lain,terutama Inggris yang merupakan saingan dagangnya.                                                                                                                                                           
2. Menugaskan KPM menjadi suatu kekuatan laut untuk melakukan pengawasan keamanan wilayah Hindia Belanda,dengan melakukan pelayaran tetap dan teratur keseluruh plosok pulau2.  

3. Menjalankan tugas sebagai angkutan pos secara teratur ke seluruh pulau2 , serta angkutan  pegawai sipil dan militer beserta logistiknya. 
Untuk tugas2 tersebut diatas KPM memperoleh hak monopoli dan subsidi karena menjalankan tugas politik negara (Sumber buku: ENGINES OF EMPIRE Steamshipping and State Formation in Colonial Indonesia)  

Sedangkan cabotage pada negara Republik Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat hendaknya dipakai untuk : 

1.Mengatur distribusi nasional terutama untuk menjaga stabilisasi didalam  meratakan kemakmuran  bagi seluruh daerah wilayah negara. 

2.Melakukan tugas angkutan bahan baku secara tetap dan teratur, untuk ditingkatkan nilai tambahnya pada  industri hilir, didalam membangkitkan lapangan kerja dan menambah devisa negara

3.Angkutan laut yang dilaksanakan oleh kapal2 nasional  secara tetap dan teratur dapat turut membantu pengamanan, menjaga dan melakukan pengawasan terhadap wilayah lautan Indonesia.

4.Kapal nasional diprioritaskan melakukan kegiatan dan dimanfaatkan semaximal mungkin diwilayah perairan sesuai ketentuan UNCLOS. Terutama didalam menggunakan peralatan untuk melakukan explotasi dan explorasi  dilaut maupun didarat.                                                                       

5.Menjaga dan mempererat  hubungan budaya antar etnik/suku bangsa dan kebersamaan dalam kehidupan ekonomi  bangsa didalam NKRI, melalui angkutan tetap dan teratur.
Azas cabotage perlu diberlakukan secara nasional di daratan, lautan dan udara  seperti negara2 maju,hal ini sangat mungkin,mengingat potensi  kekayaan  bahan baku dan alam Indonesia beragam  dan sangat besar potensinya.Hal tersebut tentunya dapat menumbuhkan :

1.Pasaran industri dan industri perawatan alat angkut secara rutin.
2.Lapangan kerja bagi crew alat angkut dan perawatan. 
3.Menunjang pengamanan nasional.
4.Potensi pariwisata  
5. kegiatan penagkapan ikan

Untuk memajukan perekonomian Indonesia Bagian Timur(IBT), perlu ditingkatkan kemampuan pelabuhan  Makasar menjadi pusat kegiatan ekonomi di daerah IBT sesuai dengan letak geografisnya. Sehingga dapat tercapai effisiensi biaya angkutan diwilyah tersebut.
Kita harus berani meninggalkan kesalahan2 yang lalu dan membangkitkan semangat bahari untuk masa depan yang lebih cerah. Dunia banyak mengandalkan  komoditi  yang hanya tumbuh terbesar  di negara kita dan dapat menjadi andalan berkembangnya industri2 hilir .  Perobahan mental dari bangsa Indonesia yang terbiasa mengexport  barang mentah, harus dirobah dengan membangkitkan industri hilir dan mengexport product barang jadi.Sehingga dapat meningkatkan pengusaha menengah, lapangan kerja dan devisa negara. Untuk mencapai keberhasilan usaha tersebut dinegara kepulauan seperti Indonesia, perlu ditunjang oleh angkutan yang dikendalikan dengan semangat  nasional . Maka policy cabotage perlu di tingkatkan secara sungguh  melalui tahapan2 dengan pengendalian yang ketat.

Diposkan 30th October 2012 oleh Harjono Kartohadiprodjo


No comments:

Post a Comment