Oleh: Mirza Adityaswara
SELASA, 30 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001315974
Mengelola pertumbuhan ekonomi adalah seperti menyetir kendaraan. Pada
saat kondisi jalan lurus dan lancar, maka pedal gas boleh diinjak kencang,
tetapi laju kendaraan tidak boleh melanggar batas maksimum kecepatan.
Jika kondisi jalan menuju tikungan, rem mulai diinjak. Jika pedal gas
terus diinjak dengan kecepatan maksimum, bisa dipastikan kendaraan akan
menabrak dan penumpang celaka. Akan tetapi, menginjak rem juga harus dengan
cermat. Jika rem mendadak terlalu dalam, penumpang akan kaget dan bisa juga cedera.
Di sinilah tugas penting bagi pengemudi untuk menyetir dengan kecepatan terukur
yang aman bagi penumpang.
BI sebagai pengemudi
Bank Indonesia adalah layaknya pengemudi kendaraan, yaitu pengemudi
ketersediaan uang beredar di Indonesia. Kecukupan jumlah uang beredar, baik itu
uang kertas maupun uang giral, akan memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi.
Sumber uang beredar ada dari dalam negeri dan dari aliran modal luar negeri.
Jika aliran modal dari luar negeri berlimpah, uang beredar juga
melimpah sehingga suku bunga akan turun dan akan memacu roda perekonomian.
Tetapi jika aliran modal asing berkurang, uang beredar juga akan menurun
sehingga suku bunga meningkat, laju perekonomian melambat. Hanya saja berbeda
dengan pengemudi kendaraan di mana penumpangnya dapat melihat kondisi jalan
yang dilalui, sebagian besar pelaku ekonomi yang merupakan ”penumpang” tidak
memahami kondisi ekonomi yang sedang dilalui. Akibatnya, pada waktu Bank
Indonesia mulai menginjak rem, penumpang kebingungan, bahkan mengomel.
Banyak anggota masyarakat tidak mengerti bahwa ekonomi yang sedang kita
jalani di tahun 2013 ini cukup menantang, tidak seperti situasi tahun
2010-2011. Pada tahun 2010 dan 2011, kinerja ekspor masih bagus sehingga
terjadi surplus neraca barang dan jasa (neraca berjalan), serta anggaran
pemerintah defisitnya terkendali di bawah 2 persen dari produk domestik bruto
(PDB). Tetapi saat ini primadona ekspor komoditas tambang menurun cukup
signifikan, sedangkan impor bahan bakar minyak (BBM) serta impor nonmigas masih
kencang. Akibatnya, defisit neraca berjalan membengkak di atas 2 persen dari
PDB.
Pemerintah akhirnya berani mengatasi ”sebagian” problem defisit neraca
berjalan dan defisit APBN dengan sedikit mengurangi subsidi BBM walaupun
akibatnya untuk sementara waktu inflasi meningkat. Akan tetapi, pengurangan
subsidi BBM tersebut tampaknya belum cukup signifikan menurunkan defisit neraca
berjalan karena laju impor masih terlalu kencang, sedangkan ekspor semakin
melambat.
Defisit neraca berjalan serta defisit APBN harus dibiayai oleh aliran
modal masuk. Masalahnya aliran modal asing sudah mulai berkurang karena bank
sentral Amerika (The Fed) akan mengurangi injeksi likuiditas. Investor asing
akan selektif, hanya mau masuk ke pasar modal Indonesia jika rasio makroekonomi
dijagaprudent. Jika defisit neraca ekspor impor dibiarkan memburuk serta modal
portofolio stop masuk ke Indonesia, risikonya adalah devisa negara akan terus
tergerus untuk membiayai laju impor. Risiko lainnya adalah kemampuan pembiayaan
APBN akan berkurang signifikan.
Faktanya investor portofolio asinglah yang mendanai 30 persen dari
pembiayaan APBN. Risiko ini bukan risiko di atas kertas, melainkan sudah
terjadi. Buktinya cadangan devisa telah turun di bawah 100 miliar dollar AS
demi membiayai impor, serta imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) telah
meningkat 3 persen dibandingkan dengan tiga bulan yang lalu. Artinya, biaya
bunga utang pemerintah telah meningkat. Contohnya, imbal hasil SUN berjangka
waktu 10 tahun telah meningkat dari 5,2 persen menjadi 8,2 persen.
Ketergantungan impor kronis
Ketergantungan negara ini terhadap impor sudah sangat kronis, mulai
dari barang modal (mesin), bahan baku, bahan penolong, barang konsumsi, sampai
dengan bahan pangan. Keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan negara
maritim tidak dimanfaatkan. Kebijakan jangka panjang untuk menguatkan industri
dalam negeri memerlukan komitmen bersama dari pusat sampai daerah, termasuk
komitmen pengusahanya. Menjadi pedagang (importir) memang lebih mudah
dibandingkan membangun industri, tetapi akibatnya devisa terus tersedot.
Dalam jangka pendek, jika kebijakan fiskal (pengurangan subsidi BBM)
tidak cukup ampuh menekan defisit neraca berjalan serta defisit APBN, terpaksa
kebijakan moneter yang harus digunakan. Oleh karena itu, BI sekarang mulai
injak rem, menyerap kelebihan uang beredar, yaitu dengan cara sedikit menaikkan
suku bunga dan sedikit melakukan depresiasi rupiah. Dampak dari kenaikan suku
bunga adalah penurunan pertumbuhan kredit dan pelambatan pertumbuhan ekonomi,
tetapi setelah itu diharapkan inflasi akan menurun dan impor akan melambat.
Selain dengan kenaikan suku bunga, penurunan impor dapat dicapai dengan
depresiasi rupiah sambil mendukung daya saing ekspor, mendorong neraca berjalan
menjadi surplus atau paling tidak defisitnya menurun ke batas yang wajar, di
bawah 2 persen PDB.
Jadi, kenaikan sebanyak 0,75 persen suku bunga Fasilitas Simpanan Bank
Indonesia (Fasbi) menjadi 4,75 persen dan BI Rate menjadi 6,5 persen, serta
depresiasi rupiah di atas Rp 10.000 per dollar AS memang dirancang untuk
melambatkan ekonomi demi mengembalikan angka rasio makroekonomi Indonesia pada
jalur yangprudent. Bahkan BI menggabungkan kenaikan suku bunga dengan kebijakan
LTV (loan to value ratio) di kredit properti, yaitu menaikkan rasio uang muka
kredit pembelian rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Tentu saja banyak pihak
yang tidak suka dengan pelambatan ekonomi, apalagi Indonesia sedang memasuki
tahun pemilu. Inilah pentingnya komunikasi publik tentang suatu kebijakan.
China juga melambat
Apakah hanya Indonesia yang secara sengaja melambatkan laju pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2013? Ternyata China juga mengambil strategi yang sama.
Dalam rangka mencegah kenaikan harga tanah yang tidak terkendali serta
mengurangi polusi lingkungan, maka pemimpin China dengan sengaja melambatkan
laju ekonomi.
Strategi ini berbeda dengan situasi di tahun 2009. Pada saat dunia
mengalami resesi pada tahun 2009, Pemerintah China menggenjot pembangunan
infrastruktur dan pertumbuhan kredit agar ekonominya tetap tumbuh di atas 8
persen. Akan tetapi, sekarang Pemerintah China tidak mau lagi menggenjot
investasi fisik yang ”sembrono’ karena akan membuat kapasitas yang berlebihan,
pada akhirnya menjadi kredit macet. Bahkan China secara sengaja mengetatkan
likuiditas untuk menurunkan pertumbuhan kredit lembaga keuangan non bank. Jadi
China secara sengaja tahun ini tumbuh di bawah 8 persen. Yang terkena dampak
adalah Indonesia. Kinerja ekspor komoditas pertambangan Indonesia semakin
menurun karena pelambatan ekonomi China.
Suku bunga dan depresiasi
Berapa kenaikan suku bunga dan depresiasi rupiah yang dianggap normal?
Hal tersebut bergantung pada ekspektasi terhadap inflasi satu tahun kedepan.
Setelah kenaikan harga BBM, maka ekspektasi inflasi meningkat ke 8-9 persen sehingga
berakibat imbal hasil SUN meningkat ke 8,2 persen. Ini merupakan kenaikan biaya
bunga bagi pemerintah dan pengusaha. Berhubung BI ingin mengurangi jumlah uang
beredar, maka BI mengurangi pembelian SUN untuk sementara waktu. Jika inflasi
mulai turun setelah Lebaran, inflasi pada tahun 2014 semoga sudah kembali ke
bawah 5,5 persen. Jika Fasbi naik kembali 0,5 persen ke maksimum 5,25 persen,
ekspektasi inflasi bisa diturunkan lebih cepat sehingga imbal hasil SUN tenor
10 tahun akan kembali turun ke bawah 6 persen pada awal tahun 2014. Terbukti,
setelah BI menaikkan suku bunga, beberapa hari terakhir imbal hasil SUN
berjangka waktu 10 tahun telah membaik turun ke 7,6 persen.
Bagaimana dengan depresiasi rupiah? Kurs mata uang negara lain seperti
Filipina, Malaysia, India, Brasil, dan Turki juga melemah mulai 4 persen sampai
dengan 8 persen. Rupiah baru melemah sekitar 5 persen. Jika kurs rupiah tidak
ikut melemah, rupiah justru akan dianggap over value yang berakibat
ekspor produk manufaktur Indonesia kehilangan daya saing. Selain itu, impor
juga akan semakin meningkat.
Depresiasi rupiah terhadap dollar AS yang masih dianggap normal
merupakan selisih antara inflasi Indonesia tahun ini (8 persen) dan inflasi
Amerika (1,8 persen), artinya depresiasi 6,2 persen masih merupakan hal yang
wajar, bahkan bermanfaat buat negeri ini.
(Mirza Adityaswara, Ekonom)
No comments:
Post a Comment