RADEN MOHAMAD RAIS
SELASA, 30 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001186037
Oleh: KHAERUL ANWAR
Pendidikan formalnya memang rendah. Ketika itu Raden Mohamad Rais tidak
lulus sekolah dasar, tetapi dia justru menjadi inovator dan motivator bagi
warga desanya, Desa Mambalan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Dia berhasil
merevitalisasi sanksi adat demi pemberdayaan masyarakat.
Hasil dari kiprahnya tersebut, pada tahun 2012 Raden Mohamad Rais
meraih penghargaan Millennium Development Goal (MDG) untuk kategori Pencerah.
Penghargaan dari pemerintah itu diterima Rais, panggilannya, dari Wakil
Presiden Boediono.
”Dalam hukum positif, orang yang mencuri itu harus masuk penjara.
Tetapi, setelah bebas, dia bisa kambuh lagi. Agaknya ada yang kurang dalam
hukum positif itu sehingga saya mencoba menyandingkannya dengan sanksi adat
yang kemudian diberlakukan kepada setiap warga desa kami,” tutur Rais.
Dia lalu memberi contoh penerapan sanksi adat sebagai penopang hukum
positif di Desa Mambalan. Suatu hari Yudi (bukan nama sebenarnya) kedapatan
mencuri seekor ayam. Dengan ”dikalungi” ayam yang dia curi tersebut, Yudi diminta
untuk berjalan keliling kampung sembari mengatakan, ”Saya mencuri ayam.”
Para ibu rumah tangga pun banyak yang kemudian jatuh kasihan, iba, dan
menangis menyaksikan ”hukuman” yang dijatuhkan warga kepada Yudi. Model terapi
”hukuman” seperti itu, selain menimbulkan efek jera kepada Yudi, juga membuat
para orangtua lebih memperhatikan tingkah laku anak-anak mereka.
”Orang yang kena ’hukuman’ biasanya kemudian bertobat dan berubah
menjadi ’orang baik’. Para orangtua juga lebih memperhatikan tingkah laku anak-anaknya.
Ya, setidaknya mereka menjadi berpikir, ’Andaikan hal yang sama menimpa anak
mereka, lalu bagaimana’,” tutur Rais, anak kedua dari tiga bersaudara putra
dari pasangan Raden Candra dan Baiq Hj Fatmah ini.
Sanksi-sanksi adat tersebut diwujudkan dalam awig-awig atau
aturan, yang termasuk diberlakukan pula dalam bidang pendidikan. Kondisi itu
mengingat sebelum tahun 2003 anak-anak di 12 dusun di Desa Mambalan tidak ada
yang bersekolah.
Oleh karena itulah, melalui awig-awig kemudian ditetapkan
pula bahwa setiap orangtua harus mendorong anak-anaknya untuk belajar di
sekolah. Bila awig-awig tersebut tidak diindahkan oleh warga desa,
tokoh agama dan adat, kepala dusun, serta kepala desa akan mendatangi orangtua
bersangkutan.
Kemudian orangtua itu diingatkan akan sanksi yang bakal ditimpakan
kepadanya, seperti tidak dilayani keperluan administrasi untuk mendapatkan
subsidi beras miskin atau kartu keluarganya bisa ditahan.
”Bisa juga warga tidak menghadiri acara hajatan orangtua bersangkutan
dan di halaman rumahnya dipasangi bendera hitam. Bendera hitam itu baru dibuka
setelah orangtua tersebut mau menyekolahkan anaknya,” kata Rais.
Membatasi waktu kunjungan
Sanksi nyaris serupa diberlakukan pula dalam bidang kesehatan.
Pasalnya, ibu melahirkan umumnya lebih suka ditolong dukun tatkala bersalin.
Alasannya, selama tenaga sang ibu belum pulih sehabis melahirkan, sang dukunlah
yang mengurus semua keperluan rumah tangga yang bersangkutan.
Untuk semua jasanya itu, biasanya sang dukun dibayar oleh keluarga yang
membutuhkan itu dengan 5 kilogram beras dan uang sekitar Rp 2.000. Layanan
seperti itu tidak didapatkan warga bila si ibu melahirkan di puskesmas atau
ditolong bidan. Karena itu, tidak mengherankan bila angka kematian bayi dan ibu
di Desa Mambalan relatif tinggi.
Ketentuan lainnya menyangkut upaya untuk menekan perkawinan usia dini.
Aturan tersebut terutama diperuntukkan bagi lelaki yang midang atau
mengunjungi pacar. Waktu untuk mengunjungi pacar itu dibatasi sampai pukul
22.00.
Sementara untuk menunda usia pernikahan kaum perempuan di Desa
Mambalan, diminta agar mereka yang berusia SD, SMP, dan SMA harus menunda untuk
menikah.
Penundaan perkawinan itu dalam adat Sasak Lombok disebut kawin gantung.
Dalam penundaan perkawinan ini biasanya waktu ijab kabul kemudian dilakukan
setelah mereka lulus sekolah, atau setidaknya lebih siap secara fisik dan
mental.
Memang, Rais mengakui bahwa ada tiga kepala keluarga yang melanggar
aturan pernikahan dini tersebut. Pasalnya, orangtua pihak keluarga perempuan
yang berasal dari Desa Mambalan dan pihak keluarga lelaki tanpa sepengetahuan
warga telah melangsungkan pernikahan tersebut. Konsekuensinya, tiga kepala
keluarga itu diusir dari kampong mereka.
Namun, umumnya aturan itu bisa berjalan efektif sebab warga sendiri
yang merasakan langsung sanksi tersebut. Hasilnya, selama tahun 2008-2013 tidak
ada lagi anak usia sekolah yang menganggur, sekitar 90 persen ibu di desa ini
mau menimbangkan bayinya ke posyandu, dan persalinan pun umumnya ditolong petugas
kesehatan dan dukun terlatih.
Menjual kemiskinan
Rais bercerita, mereka harus menempuh jalan panjang sebelum berhasil
mencapai kondisi masyarakat desa seperti sekarang ini. Misalnya, dia sempat
dituduh sebagian warga hendak membangkitkan feodalisme karena bersikeras
mengangkat dan menerapkan aturan adat dalam kehidupan sosial.
Rais juga pernah diancam hendak diusir dari desanya karena dia dituding
sebagian warga mau ”menjual kemiskinan” lewat Lembaga Adat Paer Mambalan yang
dibentuk dan diketuainya.
Tudingan itu ternyata keliru karena lembaga tersebut belakangan juga
difungsikan sebagai pusat pengaduan masyarakat yang bermanfaat, terutama dalam
bidang pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat juga membantu Rais
melakukan pendampingan bagi warga. Beberapa puskesmas pun bekerja sama dengan
Rais guna memantapkan program standar pelayanan minimum.
Tahun 2012, lembaga adat yang dipimpin oleh Rais tersebut mendapat
alokasi anggaran Rp 7 juta dari Alokasi Dana Desa (ADD). Dana tersebut kemudian
dia gunakan antara lain untuk program sosialisasi yang berkaitan dengan bidang
kesehatan, mulai dari biaya membuat akta kelahiran dan akta pernikahan,
penyuluhan gizi, sampai kesehatan reproduksi.
Dari pengalamannya selama ini, Rais ingin menunjukkan bahwa kemiskinan
dan kesulitan hidup bisa diatasi sendiri oleh masyarakat tersebut asalkan
disertai kesungguhan untuk melepaskan diri dari belenggu kesusahan yang
dihadapi.
Dia membuktikannya sendiri. ”Mustahil saya meraih penghargaan MDG tanpa
dukungan penuh warga desa kami,” kata Rais.
—————————
Raden Mohamad Rais
Lahir: Desa Mambalan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 31 Desember 1965
Istri: Jero Marni
Anak: 7 orang
Pendidikan:
Lahir: Desa Mambalan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 31 Desember 1965
Istri: Jero Marni
Anak: 7 orang
Pendidikan:
SD sampai
kelas III tahun 1974
Paket A lulus
tahun 2000
Paket B lulus
tahun 2002
Paket C lulus
tahun 2004
No comments:
Post a Comment