Monday, July 29, 2013

Sosok: RM RAIS. Revitalisasi Sanksi Adat

RADEN MOHAMAD RAIS


Oleh: KHAERUL ANWAR 


Pendidikan formalnya memang rendah. Ketika itu Raden Mohamad Rais tidak lulus sekolah dasar, tetapi dia justru menjadi inovator dan motivator bagi warga desanya, Desa Mambalan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Dia berhasil merevitalisasi sanksi adat demi pemberdayaan masyarakat.

Hasil dari kiprahnya tersebut, pada tahun 2012 Raden Mohamad Rais meraih penghargaan Millennium Development Goal (MDG) untuk kategori Pencerah. Penghargaan dari pemerintah itu diterima Rais, panggilannya, dari Wakil Presiden Boediono.
”Dalam hukum positif, orang yang mencuri itu harus masuk penjara. Tetapi, setelah bebas, dia bisa kambuh lagi. Agaknya ada yang kurang dalam hukum positif itu sehingga saya mencoba menyandingkannya dengan sanksi adat yang kemudian diberlakukan kepada setiap warga desa kami,” tutur Rais.
Dia lalu memberi contoh penerapan sanksi adat sebagai penopang hukum positif di Desa Mambalan. Suatu hari Yudi (bukan nama sebenarnya) kedapatan mencuri seekor ayam. Dengan ”dikalungi” ayam yang dia curi tersebut, Yudi diminta untuk berjalan keliling kampung sembari mengatakan, ”Saya mencuri ayam.”
Para ibu rumah tangga pun banyak yang kemudian jatuh kasihan, iba, dan menangis menyaksikan ”hukuman” yang dijatuhkan warga kepada Yudi. Model terapi ”hukuman” seperti itu, selain menimbulkan efek jera kepada Yudi, juga membuat para orangtua lebih memperhatikan tingkah laku anak-anak mereka.
”Orang yang kena ’hukuman’ biasanya kemudian bertobat dan berubah menjadi ’orang baik’. Para orangtua juga lebih memperhatikan tingkah laku anak-anaknya. Ya, setidaknya mereka menjadi berpikir, ’Andaikan hal yang sama menimpa anak mereka, lalu bagaimana’,” tutur Rais, anak kedua dari tiga bersaudara putra dari pasangan Raden Candra dan Baiq Hj Fatmah ini.
Sanksi-sanksi adat tersebut diwujudkan dalam awig-awig atau aturan, yang termasuk diberlakukan pula dalam bidang pendidikan. Kondisi itu mengingat sebelum tahun 2003 anak-anak di 12 dusun di Desa Mambalan tidak ada yang bersekolah.
Oleh karena itulah, melalui awig-awig kemudian ditetapkan pula bahwa setiap orangtua harus mendorong anak-anaknya untuk belajar di sekolah. Bila awig-awig tersebut tidak diindahkan oleh warga desa, tokoh agama dan adat, kepala dusun, serta kepala desa akan mendatangi orangtua bersangkutan.
Kemudian orangtua itu diingatkan akan sanksi yang bakal ditimpakan kepadanya, seperti tidak dilayani keperluan administrasi untuk mendapatkan subsidi beras miskin atau kartu keluarganya bisa ditahan.
”Bisa juga warga tidak menghadiri acara hajatan orangtua bersangkutan dan di halaman rumahnya dipasangi bendera hitam. Bendera hitam itu baru dibuka setelah orangtua tersebut mau menyekolahkan anaknya,” kata Rais.

Membatasi waktu kunjungan

Sanksi nyaris serupa diberlakukan pula dalam bidang kesehatan. Pasalnya, ibu melahirkan umumnya lebih suka ditolong dukun tatkala bersalin. Alasannya, selama tenaga sang ibu belum pulih sehabis melahirkan, sang dukunlah yang mengurus semua keperluan rumah tangga yang bersangkutan.
Untuk semua jasanya itu, biasanya sang dukun dibayar oleh keluarga yang membutuhkan itu dengan 5 kilogram beras dan uang sekitar Rp 2.000. Layanan seperti itu tidak didapatkan warga bila si ibu melahirkan di puskesmas atau ditolong bidan. Karena itu, tidak mengherankan bila angka kematian bayi dan ibu di Desa Mambalan relatif tinggi.
Ketentuan lainnya menyangkut upaya untuk menekan perkawinan usia dini. Aturan tersebut terutama diperuntukkan bagi lelaki yang midang atau mengunjungi pacar. Waktu untuk mengunjungi pacar itu dibatasi sampai pukul 22.00.
Sementara untuk menunda usia pernikahan kaum perempuan di Desa Mambalan, diminta agar mereka yang berusia SD, SMP, dan SMA harus menunda untuk menikah.
Penundaan perkawinan itu dalam adat Sasak Lombok disebut kawin gantung. Dalam penundaan perkawinan ini biasanya waktu ijab kabul kemudian dilakukan setelah mereka lulus sekolah, atau setidaknya lebih siap secara fisik dan mental.
Memang, Rais mengakui bahwa ada tiga kepala keluarga yang melanggar aturan pernikahan dini tersebut. Pasalnya, orangtua pihak keluarga perempuan yang berasal dari Desa Mambalan dan pihak keluarga lelaki tanpa sepengetahuan warga telah melangsungkan pernikahan tersebut. Konsekuensinya, tiga kepala keluarga itu diusir dari kampong mereka.
Namun, umumnya aturan itu bisa berjalan efektif sebab warga sendiri yang merasakan langsung sanksi tersebut. Hasilnya, selama tahun 2008-2013 tidak ada lagi anak usia sekolah yang menganggur, sekitar 90 persen ibu di desa ini mau menimbangkan bayinya ke posyandu, dan persalinan pun umumnya ditolong petugas kesehatan dan dukun terlatih.

Menjual kemiskinan

Rais bercerita, mereka harus menempuh jalan panjang sebelum berhasil mencapai kondisi masyarakat desa seperti sekarang ini. Misalnya, dia sempat dituduh sebagian warga hendak membangkitkan feodalisme karena bersikeras mengangkat dan menerapkan aturan adat dalam kehidupan sosial.
Rais juga pernah diancam hendak diusir dari desanya karena dia dituding sebagian warga mau ”menjual kemiskinan” lewat Lembaga Adat Paer Mambalan yang dibentuk dan diketuainya.
Tudingan itu ternyata keliru karena lembaga tersebut belakangan juga difungsikan sebagai pusat pengaduan masyarakat yang bermanfaat, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat juga membantu Rais melakukan pendampingan bagi warga. Beberapa puskesmas pun bekerja sama dengan Rais guna memantapkan program standar pelayanan minimum.
Tahun 2012, lembaga adat yang dipimpin oleh Rais tersebut mendapat alokasi anggaran Rp 7 juta dari Alokasi Dana Desa (ADD). Dana tersebut kemudian dia gunakan antara lain untuk program sosialisasi yang berkaitan dengan bidang kesehatan, mulai dari biaya membuat akta kelahiran dan akta pernikahan, penyuluhan gizi, sampai kesehatan reproduksi.
Dari pengalamannya selama ini, Rais ingin menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesulitan hidup bisa diatasi sendiri oleh masyarakat tersebut asalkan disertai kesungguhan untuk melepaskan diri dari belenggu kesusahan yang dihadapi.
Dia membuktikannya sendiri. ”Mustahil saya meraih penghargaan MDG tanpa dukungan penuh warga desa kami,” kata Rais.
—————————
Raden Mohamad Rais
Lahir: Desa Mambalan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 31 Desember 1965
Istri: Jero Marni
Anak: 7 orang
Pendidikan:
SD sampai kelas III tahun 1974
Paket A lulus tahun 2000
Paket B lulus tahun 2002
Paket C lulus tahun 2004



No comments:

Post a Comment