SELASA, 30 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001367207
Ahmad, tukang ojek yang biasa mangkal di dekat gedung
Mahkamah Agung ini, gelagapan saat tiba-tiba dihentikan sejumlah orang di
kawasan silang Monumen Nasional, Kamis (25/7) sekitar pukul 12.15. Ahmad pun menjelaskan
kepada orang-orang tersebut bahwa cicilan kredit sepeda motornya telah lunas.
Rupanya dia mengira beberapa orang yang menghentikan laju ojeknya
adalah debt collector. Ahmad tidak tahu bahwa orang-orang tersebut adalah
penyelidik dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Sasaran mereka pun bukan
Ahmad, melainkan penumpang Ahmad, Djodi Supratman.
Djodi diincar penyelidik KPK sejak Rabu. KPK menerima informasi bahwa
pegawai MA tersebut bakal menerima uang dari seorang pengacara dari kantor
hukum terkenal. Belakangan diketahui Djodi diduga menerima uang dari Mario C
Bernardo, pengacara pada kantor hukum Hotma Sitompoel & Associates di Jalan
Martapura Nomor 3, Jakarta Pusat.
Rabu itu, KPK sebenarnya sudah mengendus adanya kemungkinan penyerahan
uang dari Mario kepada Djodi. KPK juga sudah mengetahui ada sejumlah pihak lain
di luar Mario dan Djodi yang terlibat dalam penyerahan uang tersebut. Dari
informasi yang diperoleh KPK, Mario dan Djodi sebenarnya tak berhubungan
langsung. Ada sejumlah orang yang menjadi perantara di antara keduanya.
Transaksi pertama terjadi pada Rabu. Terjadi apa yang diduga penyerahan
uang suap, sebesar Rp 50 juta. Kali ini Djodi yang menggunakan jasa ojek ketika
mendatangi kantor Mario lolos dari sergapan KPK. Namun, ada informasi penting
yang diperoleh penyelidik KPK hari Rabu itu. Sebuah pesan komunikasi tersadap,
pihak perantara yang menghubungkan Djodi dengan Mario menyebutkan bahwa besok
(Kamis) akan ada lagi uang yang diserahkan. Tak mau kehilangan buruan, para
petugas KPK ”menongkrongi” kantor Hotma Sitompoel & Associates sejak pagi.
Sekitar pukul 11.30, Djodi datang menumpang ojek. Dia membawa sebuah
tas. Tak berapa lama di dalam kantor, Djodi keluar dan isi tasnya terlihat
menonjol. Petugas KPK tahu pasti telah terjadi penyerahan uang. Petugas KPK pun
mengikuti Djodi yang pergi menggunakan ojek dan kemudian menghentikan ojek itu
di kawasan silang Monas.
Djodi pun tak bisa berkelit ketika di dalam tas yang dia bawa tersebut,
petugas KPK menemukan sejumlah uang. Saat itu Djodi mengaku sebagian uang
tersebut adalah miliknya.
Begitu memastikan uang telah berpindah tangan ke Djodi, sebagian
petugas KPK kembali ke Jalan Martapura Nomor 3. Untuk memastikan Mario masih di
kantornya, seorang petugas menyamar menjadi calon klien dan hendak menemui
Mario. Begitu Mario muncul, petugas KPK langsung menangkapnya.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, penangkapan Mario dan Djodi
terkait dengan pengurusan perkara penipuan dengan terdakwa Hutomo Wijaya
Ongowarsito yang kini dalam tahap kasasi di MA.
Seolah perkara ini tak ada hubungannya karena Mario ternyata bukan
pengacara yang menangani kasus tersebut. Djodi yang pegawai Badan Pendidikan
dan Pelatihan MA pun tak berhubungan langsung dengan perkara tersebut. Namun,
justru inilah letak hebatnya mafia hukum di Indonesia. Pengacara yang tak
terlibat dalam sebuah perkara bisa saja menjadi bagian dari mafia peradilan
untuk mengurus perkara tersebut.
”Pengacara itu biasanya juga investasi ke orang-orang tertentu. Dia
bisa investasi ke orang PTUN. Nah, mungkin yang lain yang enggak investasi di
PTUN, pas punya perkara di sana bisa minta bantuannya,” kata pengacara yang
juga pernah meneliti praktik mafia peradilan di Indonesia, Taufik Basari.
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah,
mengungkapkan, sejak awal sebelum ada perkara, modus membangun hubungan baik
sudah biasa terjadi. Pihak advokat dapat berperan di sini dalam membangun
relasi dengan polisi, jaksa, hakim, dan pegawai badan peradilan. ”Praktik mafia
hukum yang pernah kami petakan terjadi dari hulu sampai hilir,” kata Febri. (KHAERUDIN)
No comments:
Post a Comment