Oleh: Moh Mahfud MD
Senin, 8 Juli 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000000953236
Melihat semua langkah dan hasil upaya pemberantasan korupsi selama Era
Reformasi, rasanya kita menjadi pesimistis untuk bisa mengatasi korupsi di
Indonesia.
Padahal, kita melakukan reformasi, utamanya, untuk memberantas korupsi
agar negara ini bisa berjalan baik. Sekarang korupsi terasa semakin menggunung
dan kita mati langkah untuk memeranginya.
Mungkin ada baiknya kita segera memilih langkah dan strategi baru
memerangi korupsi, yakni memutuskan hubungan dengan korupsi-korupsi masa lalu.
Sebab, sulitnya menangani kasus-kasus korupsi saat ini karena kita tersandera
masa lalu. Setiap kita akan bersikap tegas terhadap korupsi, selalu saja muncul
hadangan karena yang harus ditindak dan yang harus menindak sering kali
sama-sama terlibat korupsi di masa lalu. Ini terjadi karena pada masa lalu
korupsi sudah sistemik sehingga penggawa yang tidak ikut korupsi tak bisa survive.
Akibat hadangan yang seperti itu, maka—selain korupsi-korupsi lama tak
terselesaikan—semakin hari selalu muncul korupsi baru yang jumlah ataupun
caranya begitu fantastis.
Sementara saling kunci dan saling sandera terus
berlangsung sehingga penanganan korupsi semakin tak memberi arah yang jelas.
Masa transisi untuk institusionalisasi penegakan dan penegak hukum semakin
kabur pula. Oleh sebab itu, jalan terbaik untuk mengatasi situasi ini adalah segera
memutus hubungan dengan korupsi masa lalu. Caranya adalah dengan menyelesaikan
atau menganggap selesai secara ”luar biasa” kasus-kasus korupsi di masa lalu
itu. Setelah itu, sejak titik penyelesaian itu, kita mulai langkah-langkah baru
yang lebih tegas.
Lustrasi dan pemutihan
Berdasarkan teori dan pengalaman di negara-negara lain, ada dua
alternatif yang ditawarkan untuk menggunting atau memutus hubungan dengan
korupsi-korupsi masa lalu itu, yaitu amputasi dan ampuni.
Dengan amputasi dimaksudkan kita perlu membuat kebijakan lustrasi
nasional (national lustration policy), semacam pemotongan satu atau dua
generasi untuk para pemain dan pejabat-pejabat lama. Semua politikus dan
pejabat pemerintah dari rezim korup yang sudah dijatuhkan harus diberhentikan
dengan undang-undang dari semua jabatan publik tanpa pengadilan hukum.
Asumsinya, karena korupsi masa lalu itu bersifat sistemik sehingga tak
bisa dihindarkan oleh mereka yang ingin kariernya terjamin, maka semua yang
terlibat politik dan pemerintahan pada masa itu dianggap tercemar sehingga
harus diseleksi ulang dan diganti dengan pemain-pemain atau pejabat-pejabat
yang baru. Ada yang harus dilarang untuk aktif selamanya dan ada yang diberi kurun
tertentu, misalnya selama sepuluh atau lima tahun tak boleh aktif di politik
atau ikut dalam pemerintahan.
Beberapa negara di Amerika Latin menempuh kebijakan lustrasi ini.
Pejabat-pejabat baru itu diseleksi dari mereka yang benar-benar bersih
sebagai generasi baru dalam politik dan pemerintahan yang menjamin keterputusan
hubungan dengan korupsi masa lalu. Persoalannya adalah pilihan lustrasi ini
akan sulit diambil karena mereka yang harus memberi persetujuan atas kebijakan
lustrasi ini boleh jadi adalah mereka yang akan terkena lustrasi dan harus
keluar dari panggung politik dan pemerintahan. Sulit membayangkan ada politikus
dan pejabat pemerintah yang mau menyetujui undang-undang yang akan mencopot
dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, ada alternatif kedua, yakni menggabungkan pengalaman
Afrika Selatan dan China dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan
menghukum para koruptor dengan membuat kebijakan mengampuni, rekonsiliasi, atau national
pardon. Dalam kebijakan yang demikian, semua pelaku korupsi masa lalu
kesalahannya diputihkan, dianggap selesai, dan tidak perlu diajukan ke
pengadilan. Dapat juga disertai pemberian kesempatan mengembalikan kekayaan
secara sukarela. Namun, sejak titik dinyatakannya pemutihan itu, ada ancaman
hukuman berat apabila melakukan korupsi, yakni dihukum seumur hidup atau lebih
berat dari itu.
Terarah dan tegas
Dengan pemutihan atau pengampunan ini, selanjutnya para politikus dan
pejabat harus ikut berperang melawan korupsi tanpa harus tersandera oleh
korupsi-korupsinya di masa lalu. Hakim, jaksa, dan polisi yang korup di masa
lalu, misalnya, tidak perlu takut diungkit-ungkit korupsinya ketika menangani
kasus korupsi.
Tak mudah bagi kita untuk menentukan mana yang harus kita pilih,
lustrasi (amputasi) ataukah pemutihan (ampunan), sebab keduanya berisiko besar.
Akan tetapi, tidak tepat juga kalau kita menangani kasus korupsi dengan
cara berputar-putar secara tak jelas seperti sekarang. Sebuah kebijakan yang
lebih terarah dan tegas memang sudah diperlukan.
Moh Mahfud MD - Guru Besar Hukum Tata Negara
No comments:
Post a Comment