9 Agustus 2012 | 2:38 WIB
Ada kecenderungan konflik agraria terus meningkat. Banyak diantara
konflik itu sudah terjadi sejak jaman orde baru. Namun, beberapa konflik itu
mulai meletus pasca reformasi tahun 1998.
“Adanya ruang demokrasi memungkinkan massa rakyat untuk menuntut
kembali tanah-tanahnya yang dirampas oleh rezim orde baru,” kata Ketua Umum
Serikat Tani Nasional (STN), Yoris Sindhu Sunarjan, di Jakarta, Rabu
(8/8/2012).
Namun, kata Yoris, konflik agraria makin meningkat seiring dengan
kebijakan negara untuk meliberalkan sektor agraria. Ada ekspansi kapital
besar-besaran dan proses itu memerlukan akses tanah yang makin banyak.
Menurut Yoris, dalam kerangka menampung kepentingan ekspandi modal,
pemerintah menciptakan regulasi untuk memudahkan perampasan tanah-tanah rakyat
untuk kepentingan korporasi.
Yoris menyebut beberapa regulasi yang melegalkan perampasan tanah
rakyat, yakni UU penanaman modal, UU pengadaan tanah untuk pembangunan, UU
kehutanan, dan Perpres pengadaan tanah.
Dalam keadaan seperti itu, kata Yoris, posisi BPN dan pemerintah
kebanyakan memfasilitasi modal untuk merampas tanah rakyat. Inilah yang memicu
perlawanan rakyat dimana-mana. “Hak hidup mereka dirampas paksa,” tegasnya.
Lebih lanjut, Yoris mengatakan, situasi itulah yang mendorong BPN
membuat MOU dengan Polri. Yoris menilai, MOU itu telah menempatkan kepolisian
sebagai penjaga kepentingan perusahaan.
“Lihat saja, polisis selalu memposisikan perlawanan petani itu sebagai
tindakan pidana. Akibatnya, banyak petani yang mengalami kriminalisasi.
Padahal, akar persoalannya perampasan tanah rakyat oleh korporasi,” kata Yoris.
Yoris pun mendesak agar MOU BPN dan Polri itu segera dicabut.
Sebaliknya, dalam kerangka penyelesaian konflik agraria, Yoris mengusulkan
pembentukan Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria.
Yoris menjelaskan, panitia ini akan bekerja dengan mendahulukan dialog
dan negosiasi. Dalam proses itu, landasan hukum yang dipakai adalah pasal 33
UUD 1945 dan UU Pokok Agraria (UUPA) 1960.
No comments:
Post a Comment