Oleh: Reza Syawawi
SABTU, 13 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001048147
Alokasi dana bantuan sosial di kementerian, lembaga, pemerintah daerah
menjadi salah satu sektor yang padanya paling banyak ditemukan penyelewengan,
korupsi.
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan
pemerintah tahun 2012 menemukan adanya kelemahan dalam pengendalian belanja
bantuan sosial (bansos). Kelemahan itu sudah dimulai sejak penganggaran,
pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban. Bahkan, dalam hasil pemeriksaan tahun
anggaran 2012, ditemukan Rp 31,66 triliun bansos yang bermasalah (Kompas,
13/6).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya mengamini temuan BPK itu.
Ia menyatakan bahwa selama hampir sembilan tahun berkuasa, penyimpangan
keuangan negara di sektor pengelolaan dana bansos masih terjadi. Di sektor lain
penyimpangan serupa juga terjadi: sektor pengadaan barang dan jasa, pengelolaan
pajak, dan perizinan.
Minim aksi
Fakta penyimpangan dana bansos ini begitu nyata terlihat dari beberapa
kasus korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di
pihak lain, terdapat beberapa hasil investigasi lembaga masyarakat sipil dalam
penyaluran dana bansos yang dilaporkan ke KPK, tetapi tak menunjukkan
perkembangan apa pun.
Biasanya penyimpangan dana bansos dilakukan menjelang pemilihan umum
kepala daerah: banyak dimanfaatkan petahana sebagai sarana kampanye gratisan.
Hasil investigasi dalam penyaluran dana bansos menjelang pilkada di Banten
(ICW) dan DKI Jakarta (IBC) yang dilaporkan ke KPK menjadi contoh paling
konkret betapa dana bansos sangat mudah diselewengkan.
Pengakuan presiden atas kelemahan dalam pengelolaan dana bansos yang
mengarah pada penyimpangan dan korupsi tidak dijawab dengan sebuah kebijakan
nyata. Sejak periode pertama pemerintahan SBY, dalam Rencana Aksi Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi (RAN-PK), tak satu pun instrumen pencegahan korupsi
di sektor pengelolaan dana bansos yang digagas.
Pada periode kedua presiden juga terlihat ”gagap” dalam memperbaiki
mekanisme pengelolaan dana bansos. Tiga tahun berturut-turut (2011, 2012, dan
2013) presiden bahkan telah menghasilkan Inpres Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi (Inpres No 9/2011, Inpres No 17/2011, dan Inpres No 1/2013), tetapi tak
satu pun rencana aksi atau aksi yang dikhususkan memperbaiki politik alokasi
dana bansos. Padahal, dari aspek kewenangan, pemerintah menjadi regulator
tunggal dalam pengelolaan dana bansos. Pemerintah melalui Kementerian Dalam
Negeri berwenang merumuskan dan menetapkan aturan teknis mengenai pedoman
pemberian dana bansos itu.
Di tingkat lokal Permendagri No 32/2011 jo Permendagri No
39/2012 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari
APBD sama sekali tak menutup ruang penyalahgunaan dana bansos di daerah.
Padahal, pemerintah memiliki ruang diskresi yang sangat kuat menetapkan
kriteria ketat terhadap pengelolaan dana bansos. Sayang, pemerintah tak
mengambil pilihan itu.
Di tingkat kementerian/instansi vertikal, hal serupa terjadi.
Pemerintah seolah-olah melanggengkan praktik penyelewengan dana bansos karena
mungkin saja berkepentingan terhadap alokasi dana itu. Jamak dipahami bahwa
bansos sering digunakan pemimpin kementerian/lembaga/pemda untuk kepentingan
kegiatan politiknya. Sangat sulit mengukur keefektifan dan akuntabilitas
penyaluran dana bansos itu.
Merujuk pada tujuan alokasi dana bansos dalam skema anggaran
negara/daerah, sebetulnya praktik selama ini memang sarat penyimpangan. Bansos
merupakan pemberian uang/barang dari pemerintah kepada individu, keluarga,
kelompok dan/atau masyarakat dengan periode tertentu dan selektif serta
bertujuan melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Ke tujuan semula
Pemerintah pusat sebagai regulator cenderung memberikan diskresi yang
begitu besar kepada pemimpin lembaga/kepala daerah menentukan kepada siapa dana
bansos diberikan. Padahal, di sinilah letak potensi penyalahgunaan kewenangan
oleh pemimpin lembaga/kepala daerah, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan
politik.
Fakta bahwa alokasi bansos yang setiap tahun mengalami peningkatan
adalah bukti kuat bahwa instrumen ini sengaja dibuat dan dicitrakan sebagai
bantuan untuk masyarakat dengan nama ”bantuan sosial”. Namun, dalam praktiknya,
digunakan penguasa untuk kepentingan politiknya. Pemerintah pusat seyogianya
melakukan evaluasi menyeluruh atas praktik pengelolaan dana bansos.
Dana bansos harus dikembalikan ke tujuan semula: membantu masyarakat
yang rentan terhadap risiko sosial sehingga benar-benar bisa dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat, bukan melanggengkan kekuasaan.
Reza Syawawi - Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency
International Indonesia
No comments:
Post a Comment