15 TAHUN REFORMASI
FERRY SANTOSO
Rabu,
15 Mei 2013 http://cetak.kompas.com/read/2013/05/15/02520881/intoleransi.ancaman.paling.nyata.
Salah satu agenda
besar reformasi yang digulirkan sejak 1998 adalah membangun demokrasi sehingga
Indonesia dapat menjadi negara modern, maju, dan beradab.
Akan tetapi, dalam
15 tahun perjalanan reformasi, aksi kekerasan yang melanggar hak asasi manusia,
khususnya warga minoritas, dapat mengancam kehidupan demokrasi ke depan. Nuansa
kehidupan yang demokratis dan menjunjung tinggi kebinekaan dan keberagaman
sebagai ”takdir” bangsa ini sempat terasa pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kebijakan Gus Dur
terkait demokrasi, kebinekaan, dan toleransi ibarat angin segar.
Pasca-pemerintahan Gus Dur, dalam perjalanan reformasi, ancaman terhadap
kehidupan demokrasi justru semakin terasa.
Berbagai kelompok
vigilante dan kelompok intoleran semakin menunjukkan eksistensi. Berbagai
kekerasan dengan berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan terkesan
menjadi tidak terkendali. Kelompok-kelompok intoleran atau kelompok vigilante
dinilai kerap mengganggu atau melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Hak dasar sebagai warga negara, yaitu bebas dari rasa takut dan mendapat
perlindungan, semakin dilanggar.
Di sisi lain,
peran negara (state), yang seharusnya mampu melindungi segenap warga negara,
menjadi sangat lemah, bahkan dinilai tidak hadir dalam menjaga kerukunan hidup
beragama dan berkeyakinan.
Sebagai contoh,
kasus warga Ahmadiyah di beberapa tempat, kasus warga Syiah di Sampang, kasus
pembangunan gereja di beberapa tempat, kasus sengketa lahan, sampai konflik
antarkelompok preman.
Sebagai gambaran,
dari data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pada
periode Januari-Mei 2013 terjadi 46 kasus dugaan pelanggaran dan kekerasan
kehidupan beragama dan berkeyakinan. Artinya, dalam sebulan terjadi sembilan
kali kasus pelanggaran dan kekerasan kehidupan beragama dan berkeyakinan atau
dalam seminggu terjadi dua kasus.
Sayangnya, elite
politik dan pejabat negara saat ini yang lahir dari hasil reformasi ibarat
menutup mata terhadap kasus-kasus intoleransi. Perhatian elite politik dan
pejabat negara terhadap kasus-kasus intoleran dinilai sangat rendah.
Direktur Program
Imparsial Al Araf menilai, kasus-kasus kekerasan oleh kelompok intoleran sudah
mengkhawatirkan. Hak-hak dasar kelompok minoritas, seperti hak untuk bebas dari
rasa takut, mendapatkan rasa aman, dan bebas beribadah, makin sulit diwujudkan.
Hal itu dapat
terjadi antara lain, lanjut Al Araf, karena perhatian pemerintah, termasuk
elite politik, terhadap masalah intoleransi sangat rendah. ”Politisi, termasuk
pejabat publik, lebih peduli dengan politik transaksional yang mementingkan
kelompok politik dan partai politik, bukan mementingkan keadilan bagi semua
warga masyarakat,” katanya.
Bahkan, tidak
tertutup kemungkinan kasus-kasus pelanggaran dalam kehidupan beragama dan
berkeyakinan yang mengarah pada aksi kekerasan dilatarbelakangi percaturan
politik di tingkat lokal atau nasional. ”Elite politik kadang permisif terhadap
kelompok intoleran karena tidak mau dianggap berlawanan dengan arus
mainstream,” kata Al Araf.
Namun, realitas
kadang berbeda. Di tengah kasus-kasus intoleran yang menjadi tren dalam
perjalanan 15 tahun reformasi, pemerintah mungkin boleh berbangga. Mengapa?
Lembaga
internasional The Appeal of Conscience Foundation merencanakan memberikan
penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena dinilai mampu
mengembangkan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Akan tetapi,
rencana itu dikecam atau ditentang beberapa kalangan. Koordinator Badan Pekerja
Kontras Haris Azhar menilai, Presiden Yudhoyono mengabaikan atau menutup fakta
intoleransi kehidupan beragama dan berkeyakinan jika tetap menerima penghargaan
sebagai pemimpin yang mengembangkan toleransi di antara umat beragama dari
lembaga tersebut.
Tak sesuai
Pemberian
penghargaan itu dinilai tidak sesuai dengan kondisi atau fakta kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Haris menilai Presiden Yudhoyono
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak menggunakan kekuasaan dan
kewenangan untuk menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan serta memberikan
rasa aman kelompok minoritas.
Dalam kasus-kasus
intoleransi, menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Alvon Kurnia Palma, negara tidak hadir dalam menjaga rasa aman dan nyaman
kelompok minoritas keagamaan untuk beribadah. ”Presiden seharusnya berpihak
secara konkret kepada kelompok minoritas,” kata Alvon.
Sebelumnya, Juru
Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden akan tetap
menerima penghargaan itu. ”Itu bentuk apresiasi dan penghargaan yang didasarkan
penilaian organisasi independen,” ujarnya. Presiden pun mengatakan, jangan ada
kesan pembiaran.
No comments:
Post a Comment