Selasa, 18
September 2012
Resistensi
Polri terhadap investigasi KPK dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan
simulator kemudi di Korps Lalu Lintas mencerminkan masalah utama reformasi
hukum yang berjalan lamban sejak 14 tahun lalu. Padahal, program reformasi
hukum menjadi prioritas, paling banyak menyedot sumber daya, mendapat sorotan
dan dukungan dunia internasional.
Terlalu
banyak pihak yang diuntungkan oleh keadaan hukum yang bobrok. Bukan saja rezim
lama yang masih bercokol di birokrasi, politik, dan bisnis, melainkan juga para
politisi produk reformasi yang perilakunya mereplikasi rezim kleptokrasi lama
yang dikritiknya dulu. Termasuk mereka yang melakukan pelanggaran HAM berat.
Namun, hambatan utama datang dari para mafia hukum itu sendiri.
Kita
tahu banyak aparat hukum senior yang telanjur memiliki rekening gendut. Spirit
untuk memulihkan citra lembaga mereka yang busuk memang sempat muncul dari
segelintir aparat pada awal-awal reformasi, tetapi kemudian tenggelam oleh
semangat membela ”korps” dari mayoritas aparat hitam.
Masalahnya
program reformasi hukum itu lebih fokus membenahi kompetensi kelembagaan
seperti sistem manajemen perkara, sistem merit, revisi peraturan
perundang-undangan, tetapi tidak satu pun pemerintahan pascareformasi yang
berani mencopot aparat hukum yang kotor. Sehingga semua perbaikan kelembagaan
itu tidak banyak memberikan dampak positif di tangan aparat yang kotor.
Pada
era pemerintahan Soeharto, lembaga yudikatif tunduk pada kekuasaan eksekutif.
Maka masalah independensi menjadi target utama reformasi lembaga peradilan.
Namun, belakangan asumsi itu tidak terlalu tepat. Terbukti pada era korupsi
transaktif saat ini siapa pun bisa melumpuhkan hukum asal punya cukup uang,
sama halnya dengan kontrak-kontrak pemerintah akan jatuh kepada penawar paling
besar (the highes bidder). Malah karena telanjur dibikin independen, lembaga
pengadilan seperti punya benteng yang tinggi untuk melindungi diri.
Kemajuan
bukan berarti tidak ada. Setidaknya KPK hingga saat ini dan pengadilan tindak
pidana korupsi sebelum dua tahun terakhir ini cukup membanggakan, meskipun
terus dikeroyok oleh aparat hukum konvensional. Hal itu karena keduanya
terputus dari mata rantai mafia hukum, yang sudah menggurita dalam kelembagaan
konvensional. Maka tidak nalar kalau ada penentangan dari kalangan politisi dan
praktisi hukum terhadap strategi pembenahan hukum seperti ini. Secara teori,
jangkar gerakan antikorupsi harus dilakukan dari luar ketika keinginan untuk
berubah dari internal tidak muncul.
Konservatif
Dunia
advokat pada awal tahun 1970-an, yang dicatat Indonesianis masyhur, Profesor
Daniel S Lev, memiliki jejak rekam menakjubkan dalam pembaruan hukum yang di
antaranya melahirkan gerakan bantuan hukum dengan tokoh Adnan Buyung Nasution,
Yap Thiam Hien, salah seorang motor penggeraknya. Namun, pada era reformasi
tidak banyak gerakan pembaruan hukum yang dimotori organisasi advokat yang bisa
dicatat. Yang mencolok malah kantor-kantor advokat kebanjiran rezeki
kasus-kasus korupsi dan bisnis yang dibongkar oleh gerakan reformasi, yang suka
tidak suka menempatkan mereka berada di seberang arus perubahan. Meskipun ini
soal pilihan, ada juga sedikit advokat yang konsisten tidak mau menangani kasus
korupsi.
Asas
profesionalitas dan kesamaan semua orang di depan hukum adalah alasan yang
sering dikemukakan para advokat ketika membela kasus-kasus korupsi. Dengan
alasan yang sama barangkali para ahli hukum di kampus sulit menolak tawaran
sebagai penasihat atau saksi ahli dari firma hukum bonafide ketika menangani
kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi atau konglomerat.
Kontradiksi
nilai selalu menjadi perdebatan panjang dalam dunia kepengacaraan menyangkut
sumber pembayaran yang mereka terima yang berasal dari kejahatan yang
dibelanya.
Profesi
advokat memang diperlukan. Peristiwa hukum adalah masalah yang kompleks, ada
sebab dan akibat sehingga selalu ada celah-celah atau faktor-faktor yang bisa
dijadikan alasan untuk meringankan pelaku kejahatan sebesar apa pun.
Namun,
dalam pembelaan terhadap kliennya, yang kadang tidak terbatas di ruang
pengadilan, cenderung konservatif terhadap upaya-upaya pembaruan hukum yang
diperlukan.
Tidak
ada gerakan yang kuat dan masif dari para ahli serta praktisi hukum untuk
mengadopsi asas pembuktian terbalik atau asas retroaktif dalam revisi
undang-undang tindak pidana korupsi, penerapan prinsip free bargaining atau
free agreement dalam pembuatan undang-undang perlindungan saksi, yang semuanya
dipercaya secara empiris sangat efektif untuk memerangi kejahatan terorganisasi
seperti korupsi.
Resistensi
Belakangan
ada resistensi sangat kuat dari para praktisi hukum dan politisi di DPR dalam
penerapan undang-undang pencucian uang terhadap kasus-kasus korupsi.
Hingga
hari ini tak sedikit yang masih berpandangan bahwa pembentukan KPK di luar
sistem serta memasalahkan kewenangan penuntutan KPK. Padahal, kehadiran
lembaga-lembaga state auxiliary body semacam itu di mana saja telah lumrah
menyubstitusi kelembagaan konvensional guna mengatasi kejahatan-kejahatan
modern yang sudah mengakar dalam institusi konvensional itu sendiri. Termasuk
di negara-negara maju yang sistem demokrasinya sudah berjalan dengan baik.
Fakultas
hukum harus mengambil tanggung jawab terhadap keadaan hukum yang dalam beberapa
tahun belakangan ini menduduki peringkat terburuk di antara negara tetangga.
Barangkali
kampus harus melengkapi kemampuan teknis para mahasiswanya dengan nilai-nilai
idealisme profesi, keadilan, dan kemanusiaan sehingga mereka tidak memperkuat
mafia hukum.
Gagasan-gagasan
pembaruan sistem hukum nasional mestinya datang dari fakultas hukum. Bagi
masyarakat awam, sistem hukum apa yang mau dianut tidaklah penting, mau kucing
belang atau putih asal bisa menangkap tikus.
Seperti
kata almarhum Profesor Satjipto Rahardjo, hukum harus mengabdi untuk
menghadirkan kesejahteraan manusia, bukan sebaliknya manusia mengabdi pada
hukum seperti menyembah berhala.
Teten
Masduki Sekretaris Jenderal Transparency
International Indonesia
No comments:
Post a Comment