Sabtu, 6 Juli 2013
Jika suatu negara sungguh-sungguh
ingin berdiri di atas kaki sendiri alias berdikari, belajarlah kepada Swedia.
Negara di kawasan Skandinavia ini adalah negeri yang istimewa.
Negara yang berpenduduk sekitar 9,5
juta jiwa ini berubah dari salah satu negara miskin di Eropa menjadi salah satu
negara termaju dan termakmur di dunia.
Swedia adalah negara yang tak
pernah terlibat satu perang pun dalam 200 tahun terakhir, dan di era modern ini
memiliki hubungan yang sangat erat dengan kekuatan-kekuatan utama dunia Barat.
Namun, negara itu tetap mempertahankan industri pertahanannya yang kuat.
Di saat industri dirgantara di
negara-negara Eropa lainnya terguncang, Swedia masih memproduksi dan terus
mengembangkan pesawat tempur Saab JAS-39 Gripen. Swedia adalah tempat kelahiran
nama-nama besar industri manufaktur, seperti Volvo, Scania, Electrolux,
Ericsson, dan IKEA.
Namun, negeri itu juga tak ”lupa”
menelurkan nama-nama masyhur industri kebudayaan. Siapa tak kenal ABBA, Ingrid
Bergman, The Cardigans, Stellan Skarsgard, Roxette, dan Yngwie Malmsteen yang
semuanya dari Swedia itu?
Apa kunci semua itu? Salah satunya
adalah inovasi. Mulai dari penemu dinamit Alfred Nobel
sampai co-founder Skype, Niklas Zennstrom, Swedia seperti tak pernah
kehabisan inovator ulung dari penduduk yang jumlahnya masih kalah jauh dengan
penduduk Jakarta.
Tema inovasi, yang disebut sebagai
”Swedish Way”, itulah yang ditampilkan dalam resepsi Hari Nasional Swedia di
Jakarta, 11 Juni silam.
”Ini merupakan kisah sukses Swedia.
Seratus tahun lalu kami berada di antara negara miskin. Kami memiliki semangat
mekanik yang kami kembangkan dengan sangat baik. Kami bisa mengembangkannya
tanpa terganggu karena posisi netral pada Perang Dunia I, Perang Dunia II,
sehingga pada akhir tahun 1940-an, kami tidak harus membangun lagi negara
seperti sebagian negara lain di Eropa,” tutur Ny Ewa Polano, Duta Besar Swedia
untuk Indonesia.
Menurut Polano, rahasia di balik
kisah sukses itu adalah demokrasi yang stabil dan dukungan pemerintah kepada
masyarakat, misalnya, dengan pendidikan bermutu tinggi yang gratis. ”Kami juga
mengalokasikan banyak dana untuk penelitian dan pengembangan, (yakni) sekitar
3,6 persen dari GNP (produk nasional bruto),” imbuh duta besar yang sangat
ramah itu.
Indonesia memiliki kesempatan emas
untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari Swedia, pada saat hubungan kedua
negara saat ini sangat baik. ”Hubungan kedua negara belum pernah sedekat
seperti saat ini, yang merupakan berita baik. Swedia semakin menyadari dalam
beberapa tahun terakhir betapa pentingnya Indonesia, sangat besar, sangat
impresif dalam banyak hal,” kata Polano.
(ANTONY LEE/DAHONO FITRIANTO)
No comments:
Post a Comment