15 TAHUN REFORMASI
Senin,
20 Mei 2013 http://cetak.kompas.com/read/2013/05/20/02272796/parpol.gagal.mendorong.ke.arah.perubahan
KOMPAS/WISNU
WIDIANTORO
Buruh yang tergabung dalam Komite Aksi
Bersama menggelar demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat,
Minggu (19/5). Aksi bersama itu untuk memperingati 15 tahun tumbangnya rezim
Orde Baru di bawah Soeharto dan mulainya era Reformasi.
Jakarta,
Kompas - Selama 15 tahun ini, reformasi gagal memberikan perubahan
substansial terhadap kehidupan rakyat. Reformasi memang telah menghasilkan
rezim demokrasi, keterbukaan, dan kebebasan politik, tetapi pemerintah dan
elite partai politik gagal menjadikan ruang politik tersebut untuk mendorong
perubahan.
Partai
politik yang memiliki peran strategis dan penting dalam demokrasi justru terus
berkutat dalam urusan pertarungan politik kekuasaan dan jabatan demi
mendapatkan keuntungan untuk segelintir elite.
Demikian
penilaian Imparsial terhadap 15 tahun reformasi, sebagaimana disampaikan
Direktur Program Imparsial Al Araf dan Koordinator Peneliti Gufron Mabruri
dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (19/5).
Menurut
Al Araf, parpol mengalami deviasi dalam hal fungsi dan tujuan. Itu tecermin
dalam praktik politik elite dan anggota partai yang menduduki jabatan tertentu
dalam struktur partai atau kenegaraan. Partai kenyataannya menjadi alat politik
kekuasaan semata dan instrumen eksploitasi sumber daya.
Selain
itu, lanjutnya, ketidakjelasan ideologi partai membuat tidak jelas pula apa
yang diperjuangkan. Tujuan partai bukannya memajukan rakyat, melainkan mencari
keuntungan yang bisa dinikmati elite. Di bidang legislasi, hal itu berimplikasi
pada meruaknya politik transaksional antara parlemen dan pemerintah yang tidak
berpihak kepada rakyat. Akibatnya, muncullah kemudian UU Sumber Daya Alam, UU
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, dan lain-lain yang tidak berpihak
kepada rakyat.
Deviasi
itu juga berdampak pada penegakan hukum dan penyelesaian kasus pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) pada masa lalu. Sulit bagi penegak hukum untuk membongkar
kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Catatan baik di bidang penegakan hukum
muncul dengan kehadiran dan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi.
Gufron
Mabruri menyoroti intoleransi dan maraknya kekerasan beragama di sejumlah
daerah. Ia mencontohkan sejumlah kasus penyerangan dan perusakan tempat ibadah
kelompok Ahmadiyah dan Syiah serta penutupan gereja di beberapa tempat.
Gejala
intoleransi sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, Namun, ketika
intoleransi tersebut bertransformasi menjadi kekerasan, seperti perusakan atau
pengusiran terhadap kelompok tertentu, hal itu menunjukkan adanya variabel lain
yang berkelindan dan mendorong kekerasan tersebut terjadi.
”Ada
dugaan terjadi aliansi dengan elite politik demi kepentingan politik elektoral.
Pada tahun 2008, isu mengenai Ahmadiyah meningkat. Saya khawatir, menjelang
Pemilu 2014, isu itu digunakan lagi dalam konteks untuk mengambil keuntungan
politik, yaitu mengambil suara pemilih di Indonesia,” ungkapnya.
Menurut
catatan Imparsial, hingga Mei 2013 ini setidaknya terdapat sembilan kasus
intoleransi besar. Sementara itu, kekerasan yang dilakukan anggota TNI sejak
2004 sebanyak 29 kasus, termasuk dua yang terakhir di Lembaga Pemasyarakatan
Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, dan di markas polisi di Ogan Komering Ulu, Sumatera
Selatan. Sejak 2004, kasus-kasus yang dilakukan anggota kepolisian lebih dari
100 kasus. (ana)
No comments:
Post a Comment