Tuesday, June 25, 2013

Parpol Gagal Mendorong ke Arah Perubahan

15 TAHUN REFORMASI


KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Bersama menggelar demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (19/5). Aksi bersama itu untuk memperingati 15 tahun tumbangnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto dan mulainya era Reformasi.

Jakarta, Kompas - Selama 15 tahun ini, reformasi gagal memberikan perubahan substansial terhadap kehidupan rakyat. Reformasi memang telah menghasilkan rezim demokrasi, keterbukaan, dan kebebasan politik, tetapi pemerintah dan elite partai politik gagal menjadikan ruang politik tersebut untuk mendorong perubahan.
Partai politik yang memiliki peran strategis dan penting dalam demokrasi justru terus berkutat dalam urusan pertarungan politik kekuasaan dan jabatan demi mendapatkan keuntungan untuk segelintir elite.
Demikian penilaian Imparsial terhadap 15 tahun reformasi, sebagaimana disampaikan Direktur Program Imparsial Al Araf dan Koordinator Peneliti Gufron Mabruri dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (19/5).
Menurut Al Araf, parpol mengalami deviasi dalam hal fungsi dan tujuan. Itu tecermin dalam praktik politik elite dan anggota partai yang menduduki jabatan tertentu dalam struktur partai atau kenegaraan. Partai kenyataannya menjadi alat politik kekuasaan semata dan instrumen eksploitasi sumber daya.
Selain itu, lanjutnya, ketidakjelasan ideologi partai membuat tidak jelas pula apa yang diperjuangkan. Tujuan partai bukannya memajukan rakyat, melainkan mencari keuntungan yang bisa dinikmati elite. Di bidang legislasi, hal itu berimplikasi pada meruaknya politik transaksional antara parlemen dan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Akibatnya, muncullah kemudian UU Sumber Daya Alam, UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, dan lain-lain yang tidak berpihak kepada rakyat.
Deviasi itu juga berdampak pada penegakan hukum dan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu. Sulit bagi penegak hukum untuk membongkar kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Catatan baik di bidang penegakan hukum muncul dengan kehadiran dan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi.
Gufron Mabruri menyoroti intoleransi dan maraknya kekerasan beragama di sejumlah daerah. Ia mencontohkan sejumlah kasus penyerangan dan perusakan tempat ibadah kelompok Ahmadiyah dan Syiah serta penutupan gereja di beberapa tempat.
Gejala intoleransi sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, Namun, ketika intoleransi tersebut bertransformasi menjadi kekerasan, seperti perusakan atau pengusiran terhadap kelompok tertentu, hal itu menunjukkan adanya variabel lain yang berkelindan dan mendorong kekerasan tersebut terjadi.
”Ada dugaan terjadi aliansi dengan elite politik demi kepentingan politik elektoral. Pada tahun 2008, isu mengenai Ahmadiyah meningkat. Saya khawatir, menjelang Pemilu 2014, isu itu digunakan lagi dalam konteks untuk mengambil keuntungan politik, yaitu mengambil suara pemilih di Indonesia,” ungkapnya.
Menurut catatan Imparsial, hingga Mei 2013 ini setidaknya terdapat sembilan kasus intoleransi besar. Sementara itu, kekerasan yang dilakukan anggota TNI sejak 2004 sebanyak 29 kasus, termasuk dua yang terakhir di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, dan di markas polisi di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Sejak 2004, kasus-kasus yang dilakukan anggota kepolisian lebih dari 100 kasus. (ana)


No comments:

Post a Comment