Oleh: Profesor Yao Yang, Universitas Peking
Jumat, 28 Juni 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000000800150
Kepemimpinan yang kuat adalah salah satu kunci yang membawa China pada
kondisi seperti sekarang.Selama dua pekan pertama Juni 2013, China menjadi tuan
rumah dialog antarmasyarakat dengan mengundang sejumlah perwakilan dari
negara-negara Asia Tenggara. Dengan tajuk ”China-South East Asia High-Level
People to People Dialogue”, China sesungguhnya hanya ingin menegaskan bahwa
mereka kini adalah salah satu kekuatan utama dunia, ekonomi dan politik.
Dengan mengusung subtema Chinese Dream, mereka juga berambisi
menyatakan kepada dunia bahwa bangsa China punya mimpi sendiri untuk kembali
memasuki masa kejayaan, masa kemakmuran yang berkelanjutan.
Sekitar 300 orang utusan dari sejumlah negara memulai rangkaian acara
yang padat di kota Nanning yang merupakan ibu kota daerah otonom Guangxi
Zhuang. Bukan tanpa alasan kota yang terkenal dengan taman dan hutan kotanya
ini dipakai sebagai tempat pembukaan. China ingin menunjukkan, pembangunan yang
gemerlap tidak melulu terjadi di Beijing, Shanghai, Guangzhou, Shenzhen, atau
kota-kota besar lainnya. ”Kemakmuran sudah relatif merata di negeri itu.
Silakan Anda lihat sendiri,” ujar Liu Qiabao, anggota Politbiro Partai Komunis
China (CPC).
Dialog antarmasyarakat pada level tinggi ini terbilang cukup efektif
sebagai media hubungan masyarakat (humas) Pemerintah China dalam
mengomunikasikan kemajuan-kemajuan ekonomi dan terutama stabilitas politiknya
kepada dunia. Paling tidak pada level tetangga terdekat, negara-negara kawasan
Asia Tenggara. Sebab, di antara ratusan delegasi dari 13 negara itu terdapat
kalangan media, tokoh politik, perwakilan tokoh-tokoh muda, dan penggerak
lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Dibungkus dialog yang bertujuan meningkatkan kerja sama antarlembaga
pemerintah, LSM, dan kepemudaan, forum ini sejatinya digunakan untuk
mengomunikasikan hasil-hasil pembangunan ekonomi China yang memang luar biasa
pesat kemajuannya sejak tiga dasawarsa terakhir. ”Dalam dialog seperti ini
memang tidak pernah akan menyentuh substansi masalah antara China dan
negara-negara Asia Tenggara, seperti isu Laut China Selatan, apalagi poin-poin
penyelesaiannya,” ujar Ikrar Nusa Bhakti, pengamat politik yang juga tampil
sebagai pembicara.
Menurut Ikrar, China memang sedang getol-getolnya menggiring dunia
dengan fakta-fakta bahwa mereka sekarang ini adalah sebuah negara dengan
kekuatan ekonomi raksasa sehingga segala apa pun yang mereka lakukan bukan
hanya berpengaruh terhadap tingkat regional, tetapi juga global.
Pertumbuhan ekonomi
Sejak era kepemimpinan Deng Xiaoping yang meluncurkan reformasi ekonomi
pada 1992, China membuka seluas-luasnya kesempatan bagi rakyat untuk menjadi
kaya dengan mengombinasikan sistem kapitalis dan sosialis. Dalam dua dekade
setelahnya, pertumbuhan ekonomi China mencatat angka fantastis, bahkan pernah
mencapai digit ganda.
Dalam sepuluh tahun terakhir, sampai dengan kepemimpinan Hu Jintao yang
berakhir November tahun lalu, besaran ekonomi China meroket empat kali lipat
dihitung dalam dollar AS. Jaring pengaman sosial saat ini mencapai 95 persen
penduduk dengan tekanan pada perlindungan kesehatan. Padahal, pada tahun 2000,
lingkup jaring pengaman sosial baru mencapai 15 persen dari total penduduk.
Meski begitu, kepemimpinan Hu Jintao tetap meninggalkan sejumlah
persoalan, antara lain jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin yang
menganga lebar, di samping korupsi tetap menjadi ancaman.
Sejumlah masalah kebangsaan yang muncul dalam satu dekade terakhir,
antara lain, tanah-tanah yang dikuasai pengembang (yang biasanya dekat dengan
petinggi CPC), korupsi oleh pejabat-pejabat pemerintahan lokal, regulasi
mengenai polusi industri, kondisi kerja yang buruk, serta problem etnis
minoritas, terutama Tibet dan Uighurs.
Para sosiolog yang selama ini terbilang kritis memperkirakan, akibat
dari kondisi-kondisi ini, terjadi lebih dari 180.000 demonstrasi skala kecil
pada 2010 atau melonjak dua kali lipat dari angka pada 2005.
Pada periode saat duet Presiden Hu Jintao dan Perdana Menteri (Premier)
Wen Jiabao berkuasa, politik cukup bergejolak sehingga mengganggu liberalisasi
ekonomi. ”Bukannya semakin meliberalisasi ekonomi, pemerintah justru
meningkatkan kontrol politik. Ini situasi yang sangat absurd untuk kondisi saat
ini,” ujar penggiat sosial Zhang Yihe, seperti dikutip Time, Oktober
tahun lalu.
Meski begitu, suksesi yang mulus dari duet Hu Jintao-Wen Jiabao kepada
duet Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang, November lalu,
dipercaya akan membawa perubahan sangat drastis pada cara-cara China kembali mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi pada era 1990-an.
Para ekonom mengatakan, perekonomian China mengalami perlambatan,
tetapi rata-rata pertumbuhannya masih di atas 7 persen per tahun selama 10
tahun terakhir. Tahun lalu, China ”hanya” bertumbuh 7,8 persen dan itu
merupakan pertumbuhan terendah dalam 13 tahun terakhir atau sejak 1999. Tahun
lalu, produk domestik bruto (PDB) China mencapai 51,93 triliun yuan (sekitar Rp
80.000 triliun). Bandingkan dengan PDB Indonesia yang ”hanya” Rp 8.200 triliun
atau sepersepuluhnya.
Stabilitas politik
Kalangan pengamat Barat memperkirakan, Xi Jinping yang sejak awal
bertekad tetap mempertahankan kombinasi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
politik akan membawa China ke arah kemajuan ekonomi yang lebih langgeng.
Seperti halnya Hu Jintao, stabilitas politik tetap menjadi kunci bagi
pemerintahan Xi Jinping dan demokrasi dikendalikan dengan cara yang lebih
elegan.
Kalangan media mengaku tidak terlalu mempersoalkan demokrasi terkendali
seperti yang didengungkan para petinggi CPC. Mereka beranggapan, situasi
demokrasi dan kebebasan pers sudah pada taraf ”cukup nyaman” meski masih ada
pengekangan, misalnya pemblokiran situs-situs media sosial, seperti Twitter dan
Facebook. ”Kami punya microblog, saluran aspirasi yang bebas digunakan
kalangan jurnalis untuk menyalurkan berbagai pendapat tentang macam-macam
persoalan,” ujar seorang jurnalis grup penerbitan People Daily.
Meski begitu, demokrasi dalam struktur masyarakat China tetaplah sebuah
demokrasi yang tersentral, seperti yang dikatakan Gao Yongzhong, Direktur Pusat
Penelitian dan Sejarah CPC. Ibaratnya, pemerintah memberikan jalan kepada siapa
pun untuk menjadi kaya, tetapi rakyat tidak boleh mempertanyakan kebijakan
politik pemimpin.
Profesor Yao Yang, pengajar di Universitas Peking, mengatakan, China
bisa sampai dalam taraf seperti sekarang karena mempunyai kepemimpinan yang
kuat dan solid. Menurut dia, masalah terbesar yang dihadapi negara-negara yang
mengklaim sangat demokratis adalah tidak ada kepemimpinan yang kuat.
”Contohnya adalah beberapa negara Eropa Barat. Mereka tidak punya
pemimpin yang mampu mengatakan, ’Dengarkan saya! Saya akan membawa kalian
keluar dari masalah’,” ujar Yao yang meraih gelar doktor ilmu ekonomi di
Universitas Wisconsin, Madison, Amerika Serikat.
Bahkan, menurut Yao, Presiden Amerika Serikat Barack Obama tidak mampu
melakukan hal ini dalam dua tahun pertama masa pemerintahannya sehingga banyak
kehilangan peluang membenahi perekonomian. ”Padahal, dia mendapat dukungan yang
amat besar dari rakyat, kongres, dan senat. Namun, dia tetap kehilangan banyak
kesempatan untuk berbenah,” kata Yao.
Empat elemen dasar
Selain kepemimpinan yang kuat, menurut Yao, China juga mengadopsi empat
elemen dasar pembangunan, yakni kesetaraan masyarakat, sistem penghargaan
berdasarkan prestasi, pragmatisme, dan pemerintahan yang tidak membeda-bedakan
kelompok masyarakat. China punya kebijakan yang solid.
Yang terpenting adalah keadilan sosial. ”Korea dan Jepang juga
mendapatkan manfaat luar biasa dari kebijakan pembangunan yang dimulai dengan
keadilan sosial masyarakat,” katanya.
Yang kedua adalah mekanisme saat orang-orang yang bekerja keras akan
mendapatkan imbalan yang lebih baik. Misalnya, seorang profesor di universitas
akan mendapatkan gaji yang kira-kira besarnya lima kali lipat dari gaji seorang
dosen biasa.
Di arena politik, sistem promosi juga berdasarkan kinerja. ”Saya tidak
mengatakan bahwa lobi politik tidak berpengaruh pada sistem promosi, dan itu
terjadi di hampir semua negara. Namun, di China, sistem promosi berdasarkan
penilaian kinerja lebih mendominasi. Misalnya, Anda seorang wali kota dan kota
yang Anda pimpin mengalami kemajuan ekonomi yang pesat, promosi Anda sudah
dijamin dengan itu,” ujar Yao.
Di China, peraturan dan kebijakan yang pragmatis menjadi pilar ketiga.
Di banyak negara dengan sistem politik yang rumit, seperti India, pembangunan
terkendala politisi yang lebih banyak berdebat tentang cara dan sistem
ketimbang bekerja. Terlalu banyak partai politik sehingga setiap faksi
mempunyai agenda masing-masing. Rakyat tidak mempunyai pandangan pragmatis
bagaimana mereka harus keluar dari problem-problemnya. Di China, ini semua
praktis tidak ada karena kebijakan pragmatis.
Hal yang sama terjadi pada partai politik, dalam hal ini partai
penguasa, CPC. Ketika China memulai reformasi ekonomi, banyak sekali resistensi
karena sudah puluhan tahun menjalankan kebijakan yang tertutup. ”Tanpa
pandangan pragmatisme untuk menunjukkan fakta-fakta, saya tidak yakin China
akan menjadi seperti sekarang,” ucap Yao.
Bagi China, saat ini, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah
pertumbuhan ekonomi. Tanpa pertumbuhan tidak mungkin ada kemakmuran yang bisa
dibagikan merata kepada seluruh rakyat. China pernah mengalami kegagalan karena
pada masa lalu tidak bisa menentukan arah, apakah mengambil langkah sosialisme atau
kapitalisme.
China pernah mengalami masa-masa berat karena kalah berkompetisi di
antara pilihan, jalan sosialisme atau kapitalisme. Oleh karena itu, China
berubah.
Akan tetapi, perubahan tidak hanya dialami China. Setiap negara harus
berubah karena tanpa perubahan, tanpa pertumbuhan, setiap pemerintahan akan
mengalami tekanan.
Pemimpin yang kuat akan meletakkan semua masalah di atas meja, kemudian
mengatakan, kita harus menyelesaikan ini semua dengan prioritas pembangunan
ekonomi. Untuk menjalankan ini, pemerintah harus punya kekuatan dan
mempertahankannya. Untuk menjalankan ini, satu-satunya jalan adalah dengan
merealisasikan hasil-hasil pembangunan ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
v
No comments:
Post a Comment