Sunday, July 7, 2013

Setitik Asa di Negeri Seribu Pilkada

PEMILIHAN KEPALA DAERAH


Oleh: SUWARDIMAN 



Indonesia boleh jadi memegang rekor sebagai negara penyelenggara pemilihan umum terbanyak di dunia. Sejak diselenggarakan pertama kali pada Juli 2005, tak kurang dari 1.027 pilkada diselenggarakan di negeri ini. Ironisnya, sebagian besar pilkada yang memakan biaya tinggi itu tak luput dari konflik dan persoalan.
Tahun lalu, ada 73 pilkada yang terdiri dari enam pemilihan gubernur dan 67 pemilihan bupati dan wali kota. Ini berarti, sepanjang 2012 rata-rata berlangsung pilkada setiap lima hari sekali. Bahkan, pada 2013 intensitas pilkada lebih tinggi lagi, setiap dua hari diselenggarakan hajatan demokrasi lokal. Sebanyak 14 provinsi dan 135 kabupaten/kota akan menggelar pilkada.

Namun, pesta demokrasi lokal ini kerap diwarnai konflik yang disertai kekerasan. Periode dua tahun pertama penyelenggaraan pilkada (2005-2007), setidaknya 98 daerah dari 323 daerah yang menyelenggarakan pilkada dirundung masalah. Tak kurang dari penyelenggaraan 21 pilkada berakhir bentrokan dan kerusuhan.
Persoalan ini terus berlangsung. Kekerasan dalam pilkada pada 2013 tergambar dari kasus kerusuhan di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan Kota Palembang, Sumatera Selatan. Bentrokan massa di dua daerah itu terjadi akibat ketidakpuasan massa terhadap hasil pilkada.

Biaya tinggi

Selain biaya sosial yang tinggi, penyelenggaraan pilkada selama ini juga menyedot anggaran negara yang sangat besar. Ongkos satu putaran pilkada berbeda-beda karena tak ada standar khusus yang ditetapkan. Bahkan, untuk daerah yang kondisi geografi dan jumlah pemilihnya cenderung sama, biaya pilkada bisa berbeda secara signifikan.
Hasil pantauan terhadap beberapa daerah yang melangsungkan pilkada pada 2010-2012, tampak jumlah pembiayaan yang bervariasi. Daerah yang memiliki pemilih yang lebih besar belum tentu menghabiskan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang pemilihnya lebih sedikit.

Biaya pengamanan dan pengawasan kadang kala memakan anggaran yang cenderung tinggi dan melebihi biaya operasional pilkada lainnya. Misalnya, Pilkada Kabupaten Gorontalo Utara (September 2013). Awalnya dianggarkan Rp 11,5 miliar, tetapi kemudian naik menjadi Rp 23 miliar atas permintaan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Alasannya, biaya keamanan dan pengawasan yang besar.
Contoh lain, Pilkada Kota Tangerang (September 2013). Anggaran pilkada sebesar Rp 70 miliar digunakan untuk dua putaran. Dari jumlah itu, Rp 8 miliar dialokasikan untuk Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan sentra Gerakan Hukum Terpadu (Gakumdu).

Mahalnya pembiayaan pilkada jadi beban berat APBD. Hal ini memunculkan konsekuensi lain terhadap kebijakan anggaran daerah. Hasil penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menunjukkan, adanya pemangkasan anggaran untuk beberapa pos belanja strategis pada tahun penyelenggaraan pilkada. Fitra menemukan 10 dari 14 daerah yang diteliti memangkas alokasi belanja program, antara lain pendidikan dan kesehatan, untuk alokasi penyelenggaraan pilkada.

Anggaran besar yang dikeluarkan untuk pembiayaan politik ini diharapkan bisa menjadi investasi dalam proses peningkatan kualitas demokrasi. Namun, harapan ini tampaknya masih jauh panggang dari api. Dalam hal peran politik masyarakat, justru terjadi kecenderungan turunnya partisipasi politik.
Sebagai contoh, Kabupaten Banyumas yang pada pilkada tahun 2008 tingkat partisipasi pemilihnya 73 persen, turun jadi 67 persen pada pilkada 2013. Contoh lain kabupaten Kampar, Riau, partisipasi pemilih hanya 56 persen pada Pemilu 2011, padahal sebelumnya mencapai 70 persen.

Alih-alih meningkatkan kualitas demokrasi, fakta lebih kental mendominasi pilkada sebagai politik transaksional dan politik uang. Politik uang menjadi isu yang menyertai nyaris semua pelaksanaan pilkada. Mahalnya biaya yang dikeluarkan para kandidat saat pencalonan, mendorong kepala daerah terpilih melakukan transaksi politik pasca-pilkada.

Efisiensi pilkada

Besarnya anggaran yang membebani keuangan daerah menjadi salah satu argumen kuat efisiensi pilkada. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri menawarkan beberapa alternatif untuk mengubah mekanisme pilkada.
Di antaranya, yang masih diperdebatkan, adalah usulan bupati/wali kota tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh DPRD. Hanya gubernur yang dipilih langsung agar tetap memiliki legitimasi kuat sehingga efektif dalam menjalankan peran koordinatif. Usulan ini mengundang kontroversi, terutama terkait isu langkah mundur demokrasi langsung yang sudah berjalan di Indonesia selama ini.

Alternatif lain yang dianggap lebih mungkin direalisasikan adalah pilkada serentak yang dirancang pemerintah. Namun, alternatif yang ditawarkan ini juga tak bebas dari potensi masalah. Jadwal pilkada yang berbeda-beda akan menyulitkan penentuan titik awal pelaksanaan pilkada serentak.

Di balik sisi kelam pilkada, model pemilihan langsung terbukti juga memberikan peluang munculnya alternatif figur pemimpin baru di daerah. Tercatat sejumlah kepala daerah yang berhasil menunjukkan prestasi mereka membangun daerahnya.
Joko Widodo (Jokowi) dan Tri Rismaharani (Risma) merupakan dua contoh pemimpin yang sukses membangun daerahnya. Sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi berhasil membangun Kota Solo dengan kebijakan yang prorakyat. Jokowi antara lain mampu merelokasi pedagang kaki lima tanpa gejolak. Demikian juga Risma. Ia dinilai berhasil mengubah Kota Surabaya menjadi kota yang bersih dan asri.

Pada akhirnya, tantangan paling besar dari rencana perubahan mekanisme pilkada adalah bagaimana memperbaiki sistem yang ada sekarang tanpa mengubah substansi demokrasi langsung. Peluang munculnya alternatif figur pemimpin daerah yang mau bekerja dan bersih terbuka lebih luas jika rakyat berkesempatan memilih pemimpinnya sendiri.

(Litbang Kompas)



No comments:

Post a Comment