PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Oleh: SUWARDIMAN
Jumat, 28 Juni 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000000801843
Indonesia boleh jadi memegang rekor
sebagai negara penyelenggara pemilihan umum terbanyak di dunia. Sejak
diselenggarakan pertama kali pada Juli 2005, tak kurang dari 1.027 pilkada
diselenggarakan di negeri ini. Ironisnya, sebagian besar pilkada yang memakan biaya
tinggi itu tak luput dari konflik dan persoalan.
Tahun lalu, ada 73 pilkada yang
terdiri dari enam pemilihan gubernur dan 67 pemilihan bupati dan wali kota. Ini
berarti, sepanjang 2012 rata-rata berlangsung pilkada setiap lima hari sekali.
Bahkan, pada 2013 intensitas pilkada lebih tinggi lagi, setiap dua hari
diselenggarakan hajatan demokrasi lokal. Sebanyak 14 provinsi dan 135
kabupaten/kota akan menggelar pilkada.
Namun, pesta demokrasi lokal ini
kerap diwarnai konflik yang disertai kekerasan. Periode dua tahun pertama
penyelenggaraan pilkada (2005-2007), setidaknya 98 daerah dari 323 daerah yang
menyelenggarakan pilkada dirundung masalah. Tak kurang dari penyelenggaraan 21
pilkada berakhir bentrokan dan kerusuhan.
Persoalan ini terus berlangsung.
Kekerasan dalam pilkada pada 2013 tergambar dari kasus kerusuhan di Kota
Palopo, Sulawesi Selatan, dan Kota Palembang, Sumatera Selatan. Bentrokan massa
di dua daerah itu terjadi akibat ketidakpuasan massa terhadap hasil pilkada.
Biaya tinggi
Selain biaya sosial yang tinggi,
penyelenggaraan pilkada selama ini juga menyedot anggaran negara yang sangat
besar. Ongkos satu putaran pilkada berbeda-beda karena tak ada standar khusus
yang ditetapkan. Bahkan, untuk daerah yang kondisi geografi dan jumlah
pemilihnya cenderung sama, biaya pilkada bisa berbeda secara signifikan.
Hasil pantauan terhadap beberapa
daerah yang melangsungkan pilkada pada 2010-2012, tampak jumlah pembiayaan yang
bervariasi. Daerah yang memiliki pemilih yang lebih besar belum tentu
menghabiskan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang pemilihnya
lebih sedikit.
Biaya pengamanan dan pengawasan
kadang kala memakan anggaran yang cenderung tinggi dan melebihi biaya
operasional pilkada lainnya. Misalnya, Pilkada Kabupaten Gorontalo Utara
(September 2013). Awalnya dianggarkan Rp 11,5 miliar, tetapi kemudian naik
menjadi Rp 23 miliar atas permintaan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Alasannya,
biaya keamanan dan pengawasan yang besar.
Contoh lain, Pilkada Kota Tangerang
(September 2013). Anggaran pilkada sebesar Rp 70 miliar digunakan untuk dua putaran.
Dari jumlah itu, Rp 8 miliar dialokasikan untuk Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) dan sentra Gerakan Hukum Terpadu (Gakumdu).
Mahalnya pembiayaan pilkada jadi
beban berat APBD. Hal ini memunculkan konsekuensi lain terhadap kebijakan
anggaran daerah. Hasil penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(Fitra) menunjukkan, adanya pemangkasan anggaran untuk beberapa pos belanja
strategis pada tahun penyelenggaraan pilkada. Fitra menemukan 10 dari 14 daerah
yang diteliti memangkas alokasi belanja program, antara lain pendidikan dan
kesehatan, untuk alokasi penyelenggaraan pilkada.
Anggaran besar yang dikeluarkan
untuk pembiayaan politik ini diharapkan bisa menjadi investasi dalam proses
peningkatan kualitas demokrasi. Namun, harapan ini tampaknya masih jauh
panggang dari api. Dalam hal peran politik masyarakat, justru terjadi
kecenderungan turunnya partisipasi politik.
Sebagai contoh, Kabupaten Banyumas
yang pada pilkada tahun 2008 tingkat partisipasi pemilihnya 73 persen, turun
jadi 67 persen pada pilkada 2013. Contoh lain kabupaten Kampar, Riau,
partisipasi pemilih hanya 56 persen pada Pemilu 2011, padahal sebelumnya
mencapai 70 persen.
Alih-alih meningkatkan kualitas
demokrasi, fakta lebih kental mendominasi pilkada sebagai politik transaksional
dan politik uang. Politik uang menjadi isu yang menyertai nyaris semua
pelaksanaan pilkada. Mahalnya biaya yang dikeluarkan para kandidat saat
pencalonan, mendorong kepala daerah terpilih melakukan transaksi politik
pasca-pilkada.
Efisiensi pilkada
Besarnya anggaran yang membebani
keuangan daerah menjadi salah satu argumen kuat efisiensi pilkada. Pemerintah
melalui Kementerian Dalam Negeri menawarkan beberapa alternatif untuk mengubah
mekanisme pilkada.
Di antaranya, yang masih
diperdebatkan, adalah usulan bupati/wali kota tidak lagi dipilih langsung oleh
rakyat, tetapi oleh DPRD. Hanya gubernur yang dipilih langsung agar tetap
memiliki legitimasi kuat sehingga efektif dalam menjalankan peran koordinatif.
Usulan ini mengundang kontroversi, terutama terkait isu langkah mundur
demokrasi langsung yang sudah berjalan di Indonesia selama ini.
Alternatif lain yang dianggap lebih
mungkin direalisasikan adalah pilkada serentak yang dirancang pemerintah.
Namun, alternatif yang ditawarkan ini juga tak bebas dari potensi masalah.
Jadwal pilkada yang berbeda-beda akan menyulitkan penentuan titik awal
pelaksanaan pilkada serentak.
Di balik sisi kelam pilkada, model
pemilihan langsung terbukti juga memberikan peluang munculnya alternatif figur
pemimpin baru di daerah. Tercatat sejumlah kepala daerah yang berhasil
menunjukkan prestasi mereka membangun daerahnya.
Joko Widodo (Jokowi) dan Tri
Rismaharani (Risma) merupakan dua contoh pemimpin yang sukses membangun
daerahnya. Sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi berhasil membangun Kota
Solo dengan kebijakan yang prorakyat. Jokowi antara lain mampu merelokasi
pedagang kaki lima tanpa gejolak. Demikian juga Risma. Ia dinilai berhasil
mengubah Kota Surabaya menjadi kota yang bersih dan asri.
Pada akhirnya, tantangan paling besar
dari rencana perubahan mekanisme pilkada adalah bagaimana memperbaiki sistem
yang ada sekarang tanpa mengubah substansi demokrasi langsung. Peluang
munculnya alternatif figur pemimpin daerah yang mau bekerja dan bersih terbuka
lebih luas jika rakyat berkesempatan memilih pemimpinnya sendiri.
(Litbang Kompas)
No comments:
Post a Comment