Oleh Iwan Pranoto
Jumat, 26
April 2013 http://cetak.kompas.com/read/2013/04/25/02083562/kepemimpinan.berbudaya.nalar
Dalam film berdasar kisah nyata, October Sky, diceritakan gelora
seorang pelajar bernama Homer Hickam dan beberapa karibnya dalam
berilmu-pengetahuan pada sekitar 1957.
Dengan dibantu seorang guru ilmu alam yang penuh gairah mengajar, para
pelajar di daerah pertambangan miskin Collingwood, Amerika Serikat, itu
tiba-tiba tersadar atas hasratnya berilmu-pengetahuan. Jika semula capaian
hidup sebatas menjadi petambang atau atlet, tiba-tiba gagasan menjadi ilmuwan
begitu menarik dalam benak pelajar di seluruh pelosok.
Pemantiknya adalah kejadian luar biasa Uni Soviet yang berhasil
melontarkan pesawat luar angkasa Sputnik yang mengorbit Bumi disertai
pemberitaan media yang meluas. Di langit Oktober yang sejuk dan cerah,
masyarakat awam, muda dan tua, menengadah ke langit memandang Sputnik yang
sedang mengorbit. Pengalaman mengamati Sputnik yang sekadar setitik kemerlip
melesat di angkasa sambil mengirimkan sinyal radio sepele, ”bip, bip, bip”,
membuat para pelajar tersadar atas kerennya berilmu-pengetahuan.
Dalam kehidupan nyata, Homer kemudian menjadi seorang rekayasawan NASA
yang andal. Semua teman dekatnya juga menjadi orang berhasil. Di tingkat
nasional, saintis dan rekayasawan generasi Homer, yakni generasi 1960-an itu,
menjadi benak janin Apollo, sebuah program kedirgantaraan luar biasa.
Mimpi, upaya, dan keberhasilan manusia menjelajah Bulan ini disebut
sebagai salah satu batu penanda peradaban agung kemanusiaan yang pernah ada
hingga kini. Hampir semua ilmuwan dan pakar sejarah sains sepakat, kejadian
mengorbitnya Sputnik telah membangkitkan kasmaran berilmu-pengetahuan dalam
sanubari para pelajar AS. Hal ini telah mengubah sejarah hidup AS selamanya.
Apa syarat bagi bangkitnya kasmaran berilmu-pengetahuan pada
masyarakat? Dari kisah nyata tersebut, setidaknya dapat dicatat tiga unsur yang
saling terkait.
Pertama, terjadinya sebuah peristiwa luar biasa.
Kedua, berperannya kepemimpinan dalam pendidikan yang melibatkan dan
menyadarkan masyarakat dengan konsekuensi logis atas kejadian luar biasa
tersebut.
Ketiga, berfungsinya media yang mengulas dan memberitakan budaya ilmiah
secara berkelanjutan ke masyarakat.
”Kepemimpinan 2.0”
Dalam suatu kesempatan, Prof Abin Syamsudin Makmun dari Universitas
Pendidikan Indonesia menjelaskan, pembenaran perlunya sebuah kebijakan
pendidikan yang mendasar, seperti sebuah kurikulum baru, memerlukan pemantik
berupa kejadian yang benar-benar luar biasa. Sebutlah seperti krisis Sputnik di
AS tadi, atau jatuhnya bom di Nagasaki, Jepang. Kejadian luar biasa membenarkan
sekaligus membuat upaya perubahan kebijakan pendidikan mendasar akan berhasil.
Untuk Indonesia sekarang, satu calon pemicunya adalah perilaku nirnalar
yang sudah menjangkiti semua lini kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali
masyarakat di dunia pendidikan. Tanpa bermaksud berlebihan, perilaku nirnalar
ini sedikit banyak menjadi penyebab suburnya kekeliruan kolektif, seperti
pengabaian hukum dan aturan yang telah dianggap wajar. Ini unsur pertama.
Unsur kedua, yang diperlukan setelah hadirnya kejadian luar biasa itu
adalah tebersitnya kepemimpinan yang melibatkan. Kepemimpinan ini harus mampu
menggugah seluruh masyarakat atas perlunya perubahan dalam pendidikan dan
keilmuan. Ini yang disebut kepemimpinan 2.0.
Keyakinan atas perlunya seluruh unsur masyarakat bersatu mengembangkan
ilmu pengetahuan harus bertumbuh dari dalam diri masyarakat itu sendiri.
Keyakinan ini tak mungkin dan tak boleh diindoktrinasi. Juga perlu, dihindari
pemakaian bahasa kekuasaan. Sebaliknya, kepemimpinan harus berbahasa yang
melibatkan.
Kekuatan kepemimpinan 2.0 bukan pada kekuasaan, tetapi justru pada
pelibatan masyarakat dalam bernalar. Kepemimpinan yang berbahasa mengancam
jelas tak akan pernah menganyam nalar. Bahasa ancaman hanya cocok untuk situasi
terdesak. Untuk urusan budaya, khususnya pendidikan, bahasa yang digunakan
haruslah bernuansa menyuburkan pernalaran.
Tindakan atau ucapan menyangkal pendapat di masyarakat dengan
meremehkannya sebagai tidak berarti—karena jumlahnya sedikit atau organisasinya
tidak resmi—tentunya bukan ciri kepemimpinan 2.0. Kepemimpinan 2.0 menghargai
persilangan pendapat di masyarakat sebagai lahan subur guna menganyam budaya
bernalar.
Kepemimpinan 2.0 utamanya melibatkan masyarakat untuk bernalar tentang
konsekuensi logis terhadap alasan mengapa perlu ada suatu gerakan pembaruan
budaya belajar dan berilmu-pengetahuan. Kepemimpinan 2.0 menomorsatukan
keterlibatan seluruh masyarakat. Kecuali itu, masyarakat terdidik dan pendidik
tak akan mendukung kebijakan yang tak dimengertinya.
Bencana terburuk sebuah kepemimpinan bukan ketakpatuhan pendidik pada
perintah penguasa, tetapi justru kepatuhan atau keterpaksaan menjalankan
perintah. Bencana kepemimpinan pendidikan adalah saat pendidik dan masyarakat
patuh menjalankan perintah nirnalar. Kepatuhan buta dalam pendidikan merupakan
sebuah jalan bebas hambatan menuju bencana peradaban.
Jika suatu kepemimpinan sampai harus mengecap kelompok masyarakat
terdidik tertentu sebagai tak mengerti, bukankah itu artinya sebuah kegagalan
kepemimpinan? Tentunya ini juga tanda bahwa kepemimpinan 2.0 belum berhasil
disemaikan. Ciri kepemimpinan 2.0 adalah menyokong semua unsur masyarakat untuk
berpendapat sekaligus bekerja bersama pemimpinnya.
Media
Kejadian luar biasa dan kepemimpinan 2.0 butuh unsur ketiga, yakni
media. Dalam kasus Sputnik lima dekade lalu, media cetak dan radio sangat
berperan. Media secara berkelanjutan menggelorakan kasmaran berilmu-pengetahuan
ke seluruh masyarakat. Saat itu, di New York Times ada wartawan sains, Walter
Sullivan, yang mengasuh kolom sains dan gencar mengabarkan perkembangan sains.
Keterlibatan dan peran serta media dalam menggelorakan kasmaran
berilmu-pengetahuan di negara ini juga perlu direncanakan bersama. Sejalan
dengan itu, pada sisi ilmu pengetahuan, perlu upaya sistematis para akademisi
dalam menularkan kegairahannya berilmu-pengetahuan ke masyarakat luas lewat
sajian publik dan tulisan populer.
Dengan tampilan serta bahasa yang menarik, sederhana, menggugah, dan
tak congkak, gerakan ajakan berilmu-pengetahuan ini akan menguat dan merasuk ke
diri para pelajar. Jika ini semua terwujud, ditambah dukungan
pemerintah—seperti melalui beasiswa dan hibah penelitian, dunia pendidikan
dan ilmu pengetahuan di republik ini akan bertumbuh dengan subur.
Iwan Pranoto Guru Besar Matematika ITB
No comments:
Post a Comment