Friday, July 12, 2013

Pilkada Picu Korupsi

Perlu Ada Efisiensi Biaya Politik


JAKARTA, KOMPAS — Biaya kampanye pemilihan umum kepala daerah yang mahal memicu kepala daerah terpilih untuk korupsi ketika menjabat. Hingga Juni 2013, dari 524 kepala daerah, 297 orang terlibat masalah hukum, baik sebagai saksi, tersangka, terdakwa, dan terpidana. Dari jumlah itu, 80 persen di antaranya terlibat dalam kasus korupsi.

Jumlah itu meningkat dibandingkan pada Februari 2013, yaitu 291 orang.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, korupsi meningkat sejak diberlakukannya pilkada langsung pada 2004. ”Korupsi itu untuk menutup biaya kampanye yang mahal,” kata Gamawan, Jumat (12/7), di Jakarta.
Untuk mengatasi hal itu, Kementerian Dalam Negeri mengupayakan pembenahan sistem pilkada agar biaya kampanye tidak terlalu tinggi dan menerapkan pilkada secara tidak langsung, yaitu melalui DPRD.
Namun, usulan pemerintah itu tidak disetujui mayoritas fraksi di Komisi II DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Mayoritas fraksi menginginkan kepala daerah dipilih satu paket atau berpasangan dengan wakil kepala daerah.
Selain itu, Kemendagri juga mengupayakan masa orientasi dan pembekalan bagi kepala daerah selama tiga minggu. ”Materi pembekalan, antara lain, tentang pemerintahan dan keuangan,” ujar Gamawan.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Febi Yonesta, penting ada pengawasan yang serius dari Kemendagri terhadap praktik korupsi di daerah. ”Ini bentuk korupsi politik yang sudah mengakar di daerah terkait biaya politik yang tinggi. Peran inspektorat harus ditingkatkan,” katanya.
Secara terpisah, anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, juga mengatakan, banyaknya korupsi kepala daerah karena tidak optimalnya keberadaan Badan Pengawas Daerah serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. ”Pengawasan dari parlemen di daerah juga tidak optimal, selain tidak berjalannya mekanisme pengawasan internal partai,” ujar Emerson.
Parahnya, kata Emerson, pendidikan politik di tingkat masyarakat juga belum tuntas sehingga dalam catatan ICW ada lebih dari 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi tetap dipilih kembali oleh rakyat.
”Supaya korupsi oleh kepala daerah dapat ditekan, maka dapat dilakukan dengan efisiensi biaya politik dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak. Kemudian, melarang pembiayaan bantuan sosial selama pemilihan berlangsung,” ujar Emerson.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon Kurnia Palma mengatakan, para calon kepala daerah perlu mengubah pola pikirnya untuk berkampanye. ”Seharusnya mereka memaparkan visi-misi, tidak membagi-bagikan uang dan barang,” kata Alvon. (K06/RYO)



No comments:

Post a Comment