Perlu Ada Efisiensi Biaya Politik
SABTU, 13 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001084180
JAKARTA, KOMPAS — Biaya kampanye pemilihan umum kepala daerah yang mahal memicu kepala
daerah terpilih untuk korupsi ketika menjabat. Hingga Juni 2013, dari 524
kepala daerah, 297 orang terlibat masalah hukum, baik sebagai saksi, tersangka,
terdakwa, dan terpidana. Dari jumlah itu, 80 persen di antaranya terlibat dalam
kasus korupsi.
Jumlah itu meningkat dibandingkan pada Februari 2013, yaitu 291 orang.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, korupsi meningkat sejak
diberlakukannya pilkada langsung pada 2004. ”Korupsi itu untuk menutup biaya
kampanye yang mahal,” kata Gamawan, Jumat (12/7), di Jakarta.
Untuk mengatasi hal itu, Kementerian Dalam Negeri mengupayakan
pembenahan sistem pilkada agar biaya kampanye tidak terlalu tinggi dan
menerapkan pilkada secara tidak langsung, yaitu melalui DPRD.
Namun, usulan pemerintah itu tidak disetujui mayoritas fraksi di Komisi
II DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Mayoritas fraksi
menginginkan kepala daerah dipilih satu paket atau berpasangan dengan wakil
kepala daerah.
Selain itu, Kemendagri juga mengupayakan masa orientasi dan pembekalan
bagi kepala daerah selama tiga minggu. ”Materi pembekalan, antara lain, tentang
pemerintahan dan keuangan,” ujar Gamawan.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Febi Yonesta, penting
ada pengawasan yang serius dari Kemendagri terhadap praktik korupsi di daerah.
”Ini bentuk korupsi politik yang sudah mengakar di daerah terkait biaya politik
yang tinggi. Peran inspektorat harus ditingkatkan,” katanya.
Secara terpisah, anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, juga
mengatakan, banyaknya korupsi kepala daerah karena tidak optimalnya keberadaan
Badan Pengawas Daerah serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
”Pengawasan dari parlemen di daerah juga tidak optimal, selain tidak
berjalannya mekanisme pengawasan internal partai,” ujar Emerson.
Parahnya, kata Emerson, pendidikan politik di tingkat masyarakat juga
belum tuntas sehingga dalam catatan ICW ada lebih dari 10 kepala daerah yang
tersandung kasus korupsi tetap dipilih kembali oleh rakyat.
”Supaya korupsi oleh kepala daerah dapat ditekan, maka dapat dilakukan
dengan efisiensi biaya politik dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak.
Kemudian, melarang pembiayaan bantuan sosial selama pemilihan berlangsung,”
ujar Emerson.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon Kurnia Palma
mengatakan, para calon kepala daerah perlu mengubah pola pikirnya untuk
berkampanye. ”Seharusnya mereka memaparkan visi-misi, tidak membagi-bagikan
uang dan barang,” kata Alvon. (K06/RYO)
No comments:
Post a Comment