Oleh: Herry Tjahjono
Kompas, Selasa, 6 Agustus 2013
Sejak memasuki bulan Ramadhan, tingkat kehadiran anggota DPR di rapat
paripurna semakin memprihatinkan.
Untuk rapat paripurna dengan tujuh agenda penting (misalnya, laporan
Komisi XI mengenai hasil pembahasan calon deputi gubernur Bank Indonesia;
laporan Komisi I mengenai hasil pembahasan calon anggota Komisi Penyiaran
Indonesia; dan pengesahan pembentukan Pansus RUU tentang Keuangan Negara),
seperti pada 11 Juli 2013, tercatat 240 anggota DPR yang absen. Pada April
lalu, tercatat 471 anggota DPR membolos rapat paripurna.
Berita basi sekaligus menyebalkan! Basi karena seringnya membolos.
Menyebalkan karena dikritik sepedas apa pun mereka tetap ndablek! Dan,
jangan lupa, perilaku membolos rapat itu hanya salah satu kebobrokan perilaku
sebagian anggota DPR. Masih banyak perilaku lain yang tak kalah menyedihkan.
Sebutlah seperti perilaku korupsi, tidak produktif padahal digaji mahal, dan
hedonisme (pelesiran misalnya).
Sementara itu, saat-saat ini partai-partai politik sudah mulai sibuk
belingsatan mengintip dan menyeleksi para calon anggota legislatif (caleg).
Sebuah proses seleksi kepemimpinan politik sedang dipersiapkan habis-habisan,
tanpa pernah mau peduli kualitas minus para calegnya selama ini. Selama ini
rakyat menonton mereka, selama ini pula perilaku mereka berulang.
Kualitas keinsanian
Perilaku para anggota DPR yang notabene para pemimpin bangsa itu
berhubungan dengan kualitas keinsanian sebagai manusia. Kualitas keinsanian
seorang manusia seharusnya semakin tinggi seiring tingginya status sosial
mereka, seperti para pemimpin bangsa.
Kualitas keinsanian manusia atau pemimpin itu didasarkan pada dua
pedoman hidup (dan kerja) yang saling terkait satu sama lain, yaitu pedoman:
manfaat dan (rasa) malu. Fondasi dari konsep kualitas keinsanian itu merupakan
pernyataan Dr Chaterine Roberts: ”Manusia, melalui pengetahuan keinsanian yang
unggul, bisa mengetahui arti menjadi seorang manusia, yaitu jika ia bisa
memberikan sumbangsih atau manfaat bagi kehidupan dan pekerjaannya. Dengan
sumbangsih itu, ia seinsani-insaninya manusia, alangkah indahnya!”
Artinya, jika seseorang merasa malu jika tidak memberikan manfaat bagi
kehidupan dan pekerjaannya, ia layak disebut manusia atau pemimpin yang insani.
Namun, sebaliknya, jika seseorang sama sekali tak merasa malu meski tak
memberikan manfaat, ia kurang atau tidak insani. Baiklah kita kupas satu demi
satu.
Pertama, manusia atau pemimpin besar (great people/leader). Termasuk
dalam golongan ini adalah mereka yang memiliki tingkat kontribusi positif,
optimal. Manusia atau pemimpin golongan ini sangat unik karena mereka sangat
mudah merasa malu; ambang rasa malunya sangat rendah. Jika sedikit saja tidak
memberikan manfaat, ia buru-buru merasa malu.
Moral kerja dan hidup mereka adalah dengan selalu melekatkan makna di
balik setiap pekerjaan atau yang dilakukannya. Mereka tidak mau menjadi parasit
atau sekadar bekerja.
Sedikit saja tidak memberikan sumbangsih atau manfaat, mereka akan
merona mukanya, merasa malu. Mereka selalu mencari tujuan yang lebih tinggi
(higher purpose) dari setiap pekerjaan atau apa pun yang menjadi tugas dan
tanggung jawabnya. Itulah yang mereka anggap sebagai makna dalam bekerja dan
kehidupan. Dan, sumbangsih atau manfaat itu sendiri dianggap sebagai salah satu
makna terluhur dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan.
Itu sebabnya manusia golongan ini selalu memberikan sumbangsih atau
manfaat maksimal, optimal, jauh melebihi yang mereka dapatkan. Mereka adalah
manusia yang berbuah, bagi pekerjaan dan kehidupan. Mereka inilah yang disebut
manusia atau pemimpin yang insaniah. Semakin mudah malu dan besar manfaatnya,
maka semakin insaniah mereka.
Kedua, manusia atau pemimpin buruk (bad people/leader). Orang-orang ini
mempunyai ambang rasa malu yang (sangat) tinggi, bergerak dari titik susah
merasa malu sampai tidak punya malu. Ambang rasa malu yang tinggi itu juga
terkait dengan sumbangsih atau manfaat bagi hidup dan pekerjaan mereka.
Tegasnya, mereka tak mudah malu atau bahkan tak punya malu jika tidak
memberikan manfaat (sumbangsih) sama sekali bagi hidup dan pekerjaannya.
Golongan ini biasanya memiliki tingkat kontribusi nihil atau minus.
Moral hidup dan kerja mereka berkebalikan dengan para manusia atau pemimpin
besar. Moral hidup mereka adalah justru kehidupan dan pekerjaan itulah yang
harus memberikan manfaat bagi dirinya. Maka, biasanya pula, manusia atau
pemimpin buruk ini tak lebih dari parasit, benalu kehidupan.
Bahkan ketika mereka menjadi parasit bagi kehidupan dan pekerjaannya,
rasa malunya juga lenyap. Bagi mereka, bukan mereka yang harus melekatkan makna
terhadap hidup dan pekerjaan, melainkan sebaliknya: hidup dan pekerjaanlah yang
harus memberikan makna bagi mereka. Itu sebabnya mereka sering disebut manusia
tak bermakna, manusia tanpa makna. Mereka tak pernah mencari tujuan lebih
tinggi dari kehidupan dan pekerjaannya. Mereka ini termasuk manusia atau
pemimpin yang kurang dan bahkan tidak insaniah.
Manusia tanpa makna
Maka secara sederhana bisa disimpulkan: manusia atau pemimpin yang
tidak insaniah identik dengan manusia tanpa makna, tanpa manfaat, dan tanpa
malu. Apa yang bisa diharapkan dari manusia atau pemimpin semacam itu? Kini
kita bisa menilai sendiri, termasuk golongan manakah para anggota DPR yang
dimaksudkan di atas. Dengan kasatmata pula kita bisa menilai para pemimpin
bangsa ini di dimensi lainnya: eksekutif ataupun yudikatif.
Mengingat itu semua, saya jadi teringat ucapan Buya Hamka berikut:
”Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar
bekerja, kera juga bekerja!”
Tiba-tiba saya ingin belajar jadi manusia pemalu, asal bermanfaat bagi
kehidupan dan pekerjaan saya.
(Herry Tjahjono, Terapis Budaya Perusahaan dan
Motivator Budaya)
No comments:
Post a Comment