EKOSISTEM PERAIRAN
Senin, 28 Januari 2013
Jakarta, Kompas - Pembiaran pemerintah dan penegak hukum menerapkan
pelarangan penggunaan alat tangkap pukat menyebabkan konflik antarnelayan di
sejumlah daerah. Jika tak ditertibkan, konflik-konflik di pesisir dan laut akan
lebih marak.
Pada 17 Januari 2013, konflik akibat penggunaan pukat terjadi di Aceh.
Warga Aceh Selatan membakar dua kapal pukat yang juga memakai bom ikan milik
warga Sibolga. Terakhir, 21 Januari 2013, nelayan Langkat di Sumatera Utara
membakar kapal pukat ganda yang menyebabkan 22 orang diperiksa polisi.
”Konflik antarnelayan akan terus tanpa ketegasan dan pembiaran,” kata
Dedi Adhuri, peneliti pada Kelompok Studi Maritim Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Jakarta, Sabtu (26/1).
Pembakaran oleh nelayan menunjukkan kondisi frustrasi. Main hakim
sendiri meski terkesan anarkistis, terkait ketidaktegasan aparat hukum dan
pemerintah atas para pengguna pukat/trawl.
”Saya yakin pembakaran itu alternatif terakhir karena tak ada penegakan
hukum. Kalau nelayan akhirnya dikriminalisasi, tidak adil,” katanya. Pengguna
pukat umumnya pengusaha perikanan besar.
Pukat yang dikenalkan pada 1960-1970 dari para nelayan Malaysia sangat
merugikan dari sisi ekologi dan sosial. Jaring pukat membuat segala ukuran
jenis ikan tertangkap.
Pukat yang dioperasikan berkilo-kilometer ini menyapu dasar laut.
Ekosistem dasar laut rusak dan perairan mengalami penangkapan berlebih, seperti
terjadi di sebagian besar wilayah perikanan tangkap di Indonesia saat ini.
Secara hukum, ada Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 yang melarang
penggunaan pukat. Pasal 9 juncto Pasal 85 UU No 45/2009 tentang Perubahan Atas
UU No 31/2004 tentang Perikanan berisi larangan memiliki dan menggunakan alat
tangkap yang mengganggu/merusak keberlanjutan sumber daya ikan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)
Abdul Halim mengatakan, penggunaan pukat/trawl marak di Sumatera Utara, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur. Khusus di Kaltim, dengan
dalih menjaga kedaulatan negara, penggunaan pukat dilegalkan di kawasan yang
berbatasan dengan Malaysia.
Di Kaltim, masalah jadi kompleks karena kapal-kapal itu dimiliki
pengusaha Malaysia dengan anak buah/buruh dari Indonesia. ”Hasil tangkapan
dijual di Malaysia. Ketika ditangkap, yang terjerat hanya anak buah kapal.
Pemodal lolos,” kata Dedi.
Abdul Halim mendesak pemerintah menindak tegas pengguna pukat.
”Pemerintah juga wajib memfasilitasi kelompok nelayan agar mandiri dan bebas
dari utang tengkulak atau pengusaha hitam,” ungkapnya. (ICH)
No comments:
Post a Comment