Friday, June 28, 2013

Pembiaran Penggunaan Pukat Picu Konflik

EKOSISTEM PERAIRAN

Senin, 28 Januari 2013


Jakarta, Kompas - Pembiaran pemerintah dan penegak hukum menerapkan pelarangan penggunaan alat tangkap pukat menyebabkan konflik antarnelayan di sejumlah daerah. Jika tak ditertibkan, konflik-konflik di pesisir dan laut akan lebih marak.
Pada 17 Januari 2013, konflik akibat penggunaan pukat terjadi di Aceh. Warga Aceh Selatan membakar dua kapal pukat yang juga memakai bom ikan milik warga Sibolga. Terakhir, 21 Januari 2013, nelayan Langkat di Sumatera Utara membakar kapal pukat ganda yang menyebabkan 22 orang diperiksa polisi.
”Konflik antarnelayan akan terus tanpa ketegasan dan pembiaran,” kata Dedi Adhuri, peneliti pada Kelompok Studi Maritim Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Jakarta, Sabtu (26/1).

Pembakaran oleh nelayan menunjukkan kondisi frustrasi. Main hakim sendiri meski terkesan anarkistis, terkait ketidaktegasan aparat hukum dan pemerintah atas para pengguna pukat/trawl.
”Saya yakin pembakaran itu alternatif terakhir karena tak ada penegakan hukum. Kalau nelayan akhirnya dikriminalisasi, tidak adil,” katanya. Pengguna pukat umumnya pengusaha perikanan besar.
Pukat yang dikenalkan pada 1960-1970 dari para nelayan Malaysia sangat merugikan dari sisi ekologi dan sosial. Jaring pukat membuat segala ukuran jenis ikan tertangkap.
Pukat yang dioperasikan berkilo-kilometer ini menyapu dasar laut. Ekosistem dasar laut rusak dan perairan mengalami penangkapan berlebih, seperti terjadi di sebagian besar wilayah perikanan tangkap di Indonesia saat ini.

Secara hukum, ada Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 yang melarang penggunaan pukat. Pasal 9 juncto Pasal 85 UU No 45/2009 tentang Perubahan Atas UU No 31/2004 tentang Perikanan berisi larangan memiliki dan menggunakan alat tangkap yang mengganggu/merusak keberlanjutan sumber daya ikan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, penggunaan pukat/trawl marak di Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur. Khusus di Kaltim, dengan dalih menjaga kedaulatan negara, penggunaan pukat dilegalkan di kawasan yang berbatasan dengan Malaysia.

Di Kaltim, masalah jadi kompleks karena kapal-kapal itu dimiliki pengusaha Malaysia dengan anak buah/buruh dari Indonesia. ”Hasil tangkapan dijual di Malaysia. Ketika ditangkap, yang terjerat hanya anak buah kapal. Pemodal lolos,” kata Dedi.
Abdul Halim mendesak pemerintah menindak tegas pengguna pukat. ”Pemerintah juga wajib memfasilitasi kelompok nelayan agar mandiri dan bebas dari utang tengkulak atau pengusaha hitam,” ungkapnya. (ICH)



No comments:

Post a Comment