Oleh Premita Fifi Widhiawati
Jumat, 10 Mei
2013 http://cetak.kompas.com/read/2013/05/10/02332748/metamorfosis.pesohor.ke.politisi.
Beberapa waktu lalu, Rumah Kebangsaan menyelenggarakan diskusi bertema
”Dilematika Politisi Pesohor dalam Rekrutmen Partai Politik”.
Keterlibatan pesohor dalam politik sesungguhnya bukan hal baru. Sejak
Pemilu 1979, semua partai politik peserta pemilu pada saat itu—Golongan Karya,
Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan—secara konsisten
mengajak pesohor, terutama penyanyi, dalam setiap kampanye.
Selama kurun waktu sekitar 20 tahun, kiprah pesohor dalam politik tidak
lebih dari sekadar pemikat massa dalam kampanye (mass getter). Kehadiran mereka
diharapkan dapat menarik peminat untuk berduyun-duyun hadir di lokasi kampanye,
tempat para petinggi dan politisi parpol menyuarakan visi dan misi partai di
sela-sela ketidaksabaran massa menunggu penampilan pesohor berikutnya.
Bermetamorfosis
Menjelang Pemilu 2004, porsi kerja pesohor meningkat dari hanya pemikat
massa menjadi pemikat suara (vote getter). Para pesohor diberi ”sedikit” ruang
untuk berbicara atas nama partai yang didukungnya dengan harapan penggemarnya
terpikat untuk memilih parpol yang mendukung penampilan sang pesohor.
Salah satu pesohor yang sukses mendulang suara dalam posisi vote getter
adalah bintang film Nurul Arifin yang didukung Partai Golkar. Namun, dengan
sistem keterwakilan sesuai urut giliran di parpol, pada 2004 Nurul belum
diberi kesempatan ke DPR.
Pemilu 2009 menjadi tonggak penting bagi keterwakilan pesohor dalam
parlemen. Melalui sistem pemilihan proporsional langsung, para pesohor tidak
lagi hanya menjadi pemikat massa ataupun pemikat suara. Mereka pun tampil
langsung membawa diri mereka menjadi calon anggota legislatif. Sebuah fenomena
baru yang terbukti ampuh dalam meraup kursi bagi parpol.
Tak kurang 15 pesohor masuk dan berkiprah di parlemen. Mereka tersebar
hampir ke semua parpol. Bahkan, beberapa parpol terwakili lebih dari satu
pesohor. Misalnya, di Partai Demokrat ada Vena Melinda dan Angelina Sondakh. Di
Partai Amanat Nasional ada Primus Yustisio dan Eko Hendro Purnomo.
Proses panjang perubahan fungsi para pesohor bagi parpol dapat
diibaratkan sebagai kuasi metamorfosis, dari fungsi sebagai pemikat massa
secara perlahan sekali berubah menjadi pemikat suara. Kemudian, secara
tiba-tiba para pesohor melakukan quantum leap menjadi wakil rakyat.
Perubahan fungsi para pesohor secara mendadak-serentak tak dapat
dilepaskan dari ketakmatangan proses kaderisasi di tubuh parpol. Ketidaksiapan
ini bergulir dari waktu ke waktu, dan tanpa disadari tiba giliran untuk mengisi
daftar calon anggota legislatif (DCS). Parpol lantas mengalami ”gugup
demokrasi” saat tersadar, mereka tak punya stok kader yang cukup mumpuni untuk
diajukan dalam DCS.
Banyak faktor yang menyebabkan parpol mengalami gugup demokrasi. Hal
itu terkuak dalam Diskusi Rumah Kebangsaan pada Februari. Dari semua wakil
parpol yang menjadi pembicara pada saat itu, semua bersuara sama, parpol tidak
siap dengan sistem rekrutmen yang matang dan terstruktur untuk memunculkan
kader-kader pilihan.
Salah satu faktor sangat penting dan belum mampu dilakukan secara
maksimal oleh parpol adalah proses perekrutan yang adil, terbuka, terpadu, dan
konsisten bagi para kader.
Alih-alih melakukan perekrutan secara proporsional dengan mengedepankan
asas kapabilitas, kualitas, dan integritas, parpol cenderung sentralistis dan
lebih mengedepankan faktor suka dan tidak suka dalam proses penentuan caleg.
Kondisi tersebut diperparah adanya kesenjangan antarpengurus parpol
yang disibukkan dengan day to day politics (meminjam istilah Bima Arya dari
PAN) sehingga nyaris tidak sempat melakukan pembaikan internal parpol,
apalagi mendekatkan diri dengan para kader di daerah dan konstituen.
Akibatnya, ketika tiba giliran pengisian DCS—atas nama demokrasi dan
pemerataan kesempatan berpolitik—parpol melakukan pola perekrutan terbuka.
Sayang sekali, pola yang seharusnya membuka jalan bagi calon-calon potensial
itu justru menjadi ajang mencari pekerjaan karena tidak dibarengi sistem saring
caleg yang baik dari parpol.
Dari 560 anggota DPR saat ini, tak lebih dari 47 orang yang tidak
berminat mencalonkan diri kembali. Artinya, lebih dari 90 persen anggota
parlemen maju kembali. Dapat dikatakan, mereka ini sudah siap, antara lain
secara finansial dan penggalangan terhadap konstituen.
Caleg bermasalah
Melihat hal ini, tak ayal timbul keprihatinan bagi kita semua jika kita
mengingat ”rapor buruk” yang dimiliki sebagian besar anggota DPR. Parpol pun
seperti tak kapok mengusung caleg bermasalah. Berbagai alasan dapat saja dikemukakan
parpol untuk membenarkan tindakan mereka, tetapi rakyat seharusnya lebih pandai
memilah dan menentukan wakilnya.
Jika UU Pemilu masih memungkinkan caleg bermasalah maju dalam pemilu
legislatif, rakyatlah yang harus menjadi pintu gerbang terakhir sebagai penentu
siapa yang berhak menjadi anggota DPR mewakili rakyat. Catat dan ingat-ingat
nama, daerah pemilihan, dan parpol yang mengusung caleg bermasalah. Jangan
pilih mereka!
Premita Fifi Widhiawati - Aktivis Rumah Kebangsaan; Pendiri
Lembaga Edukasi, Bantuan, dan Advokasi Hukum Jurist Makara
No comments:
Post a Comment