Friday, July 12, 2013

Efek Pergeseran Pusat Ekonomi

TANAH AIR

Oleh: Defri Werdiono 


  Jarum jam menunjuk pukul 10.30 Wita, tapi Ariffin (60) masih sibuk menyiapkan dagangannya berupa soto banjar. Sejumlah ketupat yang jadi unsur utama makanan khas Kalimantan Selatan, ia pindahkan dari keranjang di atas sepeda motor ke warungnya yang berupa rumah lanting di tepi Sungai Kuin, Kampung Pangeran, Banjarmasin.
Sesekali rumah lanting yang mengapung itu bergoyang kencang saat ada perahu kelotok melintas. Bila perahu itu melintas dengan kecepatan tinggi, maka goyangan rumah juga terasa makin kencang. Bagi mereka yang jarang merasakan sensasi di rumah berukuran sekitar 6 meter x 8 meter itu pasti terasa cukup asyik. ”Sebelumnya warung ini dipakai untuk berjualan nasi padang, sekarang saya menyewanya untuk jualan menu lain,” kata Ariffin, Sabtu (20/4).
Suasana warung cukup lega. Ada beberapa meja makan lesehan yang tertata rapi. Di sisi warung yang menghadap ke sungai terdapat teras sempit memanjang yang cukup untuk berdiri dan mengamati aktivitas warga di seberang sungai maupun perahu kelotok yang sesekali lewat.
Suasana warung makin ramai oleh sejumlah poster bertuliskan ”Warung Wisata Terapung” yang tertempel di dinding. Di dekat titian terdapat dermaga kecil dan kelotok yang disewakan kepada pengunjung yang ingin menikmati obyek wisata lain, seperti pasar apung Muara Kuin atau Pulau Kembang yang banyak dihuni monyet dan bekantan.
Warung di tepi Jalan Pangeran itu bukan satu-satunya bangunan khas banjar yang didirikan untuk menunjang pariwisata di Banjarmasin. Warung apung lainnya yang memanfaatkan rumah lanting ada juga di Sungai Martapura, tepatnya pinggir Jalan Pierre Tendean. Rumah lanting ini ada sejak sekitar delapan bulan lalu dan selalu ramai dikunjungi warga setiap hari Minggu.
Mujiyat, Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kota Banjarmasin, mengatakan, rumah lanting yang memiliki model bubungan tinggi (salah satu jenis arsitektur rumah khas Banjar) itu sengaja didirikan untuk melestarikan budaya Banjar yang jumlahnya terus berkurang digerus zaman dan terus menyusut. Tempat-tempat yang tahun 1970-an dan 1980-an masih didominasi rumah lanting kini telah dipenuhi rumah-rumah panggung yang permanen. Jumlah rumah lanting yang tersisa pun tinggal dalam hitungan jari.

Ekonomi di darat

Ma’in (35), warga kampung Kuin Cerucuk, Banjarmasin Barat, menuturkan, perkembangan ekonomi di darat membuat aktivitas di sungai tak lagi seramai dulu. Akibatnya, rumah lanting yang keberadaannya memang diperuntukkan sebagai sarana berniaga, saat ini banyak yang berubah wujud.
”Dulu perahu berlalu-lalang tiada henti sehingga aktivitas ekonomi hidup. Sekarang perahu-perahu itu masih ada, namun tak seramai dulu,” ucapnya.
Sebagai gantinya, menurut Ma’in kini aktivitas ekonomi banyak bergeser ke tempat lain di darat, salah satunya kawasan Jalan Ahmad Yani yang kini penuh oleh pertokoan besar hingga ke arah Kecamatan Gambut di Kabupaten Banjar.
Kuin Cerucuk yang tahun 1980-an ramai oleh pabrik pengolahan kayu dan menyerap ribuan tenaga kerja asal Jawa, kini pun sepi. Tujuh unit pabrik kayu yang sempat menjadi magnet orang mencari nafkah juga kini tinggal satu unit. Akibatnya, pekerja dari Jawa yang dulu banyak, kini pulang atau menyebar ke daerah lain.

Korban kebijakan

Masalah lain adalah regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah juga ikut andil dalam penyusutan rumah lanting. Ada kabupaten yang membatasi keberadaan bangunan tersebut dengan alasan rumah-rumah itu telah mempersempit alur pelayaran sungai. Tahun 2007, misalnya, ada sejumlah rumah lanting asal Kabupaten Murung Raya dan Barito Utara di Kalimantan Tengah, yang dijual ke industri perkayuan di Banjarmasin karena alasan tersebut.
Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Taufik Arbain, berpendapat, berkurangnya lanting akibat pembangunan yang bersifat kontinental yakni berorientasi daratan. Kebijakan pemerintah cenderung bersifat daratan karena memanfaatkan jalur transportasi darat. ”Semua ini disebabkan oleh evolusi angkutan darat yang begitu gencar mengalahkan sarana transportasi sungai yang selama ini berlangsung di Kalsel,” ujarnya.
Selain itu, persepsi masyarakat Banjar saat ini telah berubah tentang rumah lanting. Jika masyarakat Banjar masa lalu menganggap lanting sebagai rumah yang dinamis dan fleksibel, maka masyarakat Banjar modern memandang lanting sebagai rumah orang miskin. Alasannya, karena lanting tidak memiliki kuasa atas tanah. Sementara tanah itu bagian dari pada kekuasaan. ”Tidak ada hari ini orang menjual sungai, kan?” ucapnya.
Cara pandang itu membuat tradisi rumah lanting sulit bangkit kembali. Kalaupun ada upaya pelestarian tempatnya adalah pada ranah infrastruktur publik, bukan perumahan yang mendorong orang untuk tinggal sesuai fungsi rumah pada umumnya.
”Kalaupun upaya pelestarian pemerintah harus merekonstruksi kebijakan yang berbau kepentingan publik, misalnya untuk restoran atau kafe di pinggir sungai. Tinggal bagaimana pemerintah merekonstruksi fisik tetap lestari berupa fisik yang dipadu dengan konsep menjemput zaman hari ini,” tutur Taufik.
Inilah tantangannya yang harus mampu dipenuhi. Bagaimanapun tradisi itu jangan sampai hilang tidak berbekas.



No comments:

Post a Comment