TANAH AIR
Oleh: Defri Werdiono
SABTU, 13 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000000789512
Jarum jam menunjuk pukul 10.30 Wita, tapi Ariffin (60) masih sibuk
menyiapkan dagangannya berupa soto banjar. Sejumlah ketupat yang jadi unsur
utama makanan khas Kalimantan Selatan, ia pindahkan dari keranjang di atas
sepeda motor ke warungnya yang berupa rumah lanting di tepi Sungai Kuin,
Kampung Pangeran, Banjarmasin.
Sesekali rumah lanting yang mengapung itu bergoyang kencang saat ada
perahu kelotok melintas. Bila perahu itu melintas dengan kecepatan tinggi, maka
goyangan rumah juga terasa makin kencang. Bagi mereka yang jarang merasakan
sensasi di rumah berukuran sekitar 6 meter x 8 meter itu pasti terasa cukup
asyik. ”Sebelumnya warung ini dipakai untuk berjualan nasi padang, sekarang
saya menyewanya untuk jualan menu lain,” kata Ariffin, Sabtu (20/4).
Suasana warung cukup lega. Ada beberapa meja makan lesehan yang tertata
rapi. Di sisi warung yang menghadap ke sungai terdapat teras sempit memanjang
yang cukup untuk berdiri dan mengamati aktivitas warga di seberang sungai
maupun perahu kelotok yang sesekali lewat.
Suasana warung makin ramai oleh sejumlah poster bertuliskan ”Warung
Wisata Terapung” yang tertempel di dinding. Di dekat titian terdapat dermaga
kecil dan kelotok yang disewakan kepada pengunjung yang ingin menikmati obyek
wisata lain, seperti pasar apung Muara Kuin atau Pulau Kembang yang banyak
dihuni monyet dan bekantan.
Warung di tepi Jalan Pangeran itu bukan satu-satunya bangunan khas
banjar yang didirikan untuk menunjang pariwisata di Banjarmasin. Warung apung
lainnya yang memanfaatkan rumah lanting ada juga di Sungai Martapura, tepatnya
pinggir Jalan Pierre Tendean. Rumah lanting ini ada sejak sekitar delapan bulan
lalu dan selalu ramai dikunjungi warga setiap hari Minggu.
Mujiyat, Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda
dan Olahraga Kota Banjarmasin, mengatakan, rumah lanting yang memiliki model
bubungan tinggi (salah satu jenis arsitektur rumah khas Banjar) itu sengaja
didirikan untuk melestarikan budaya Banjar yang jumlahnya terus berkurang
digerus zaman dan terus menyusut. Tempat-tempat yang tahun 1970-an dan 1980-an
masih didominasi rumah lanting kini telah dipenuhi rumah-rumah panggung yang
permanen. Jumlah rumah lanting yang tersisa pun tinggal dalam hitungan jari.
Ekonomi di darat
Ma’in (35), warga kampung Kuin Cerucuk, Banjarmasin Barat, menuturkan,
perkembangan ekonomi di darat membuat aktivitas di sungai tak lagi seramai
dulu. Akibatnya, rumah lanting yang keberadaannya memang diperuntukkan sebagai
sarana berniaga, saat ini banyak yang berubah wujud.
”Dulu perahu berlalu-lalang tiada henti sehingga aktivitas ekonomi
hidup. Sekarang perahu-perahu itu masih ada, namun tak seramai dulu,” ucapnya.
Sebagai gantinya, menurut Ma’in kini aktivitas ekonomi banyak bergeser
ke tempat lain di darat, salah satunya kawasan Jalan Ahmad Yani yang kini penuh
oleh pertokoan besar hingga ke arah Kecamatan Gambut di Kabupaten Banjar.
Kuin Cerucuk yang tahun 1980-an ramai oleh pabrik pengolahan kayu dan
menyerap ribuan tenaga kerja asal Jawa, kini pun sepi. Tujuh unit pabrik kayu
yang sempat menjadi magnet orang mencari nafkah juga kini tinggal satu unit.
Akibatnya, pekerja dari Jawa yang dulu banyak, kini pulang atau menyebar ke
daerah lain.
Korban kebijakan
Masalah lain adalah regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah juga
ikut andil dalam penyusutan rumah lanting. Ada kabupaten yang membatasi
keberadaan bangunan tersebut dengan alasan rumah-rumah itu telah mempersempit
alur pelayaran sungai. Tahun 2007, misalnya, ada sejumlah rumah lanting asal
Kabupaten Murung Raya dan Barito Utara di Kalimantan Tengah, yang dijual ke
industri perkayuan di Banjarmasin karena alasan tersebut.
Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin, Taufik Arbain, berpendapat, berkurangnya lanting akibat
pembangunan yang bersifat kontinental yakni berorientasi daratan. Kebijakan
pemerintah cenderung bersifat daratan karena memanfaatkan jalur transportasi
darat. ”Semua ini disebabkan oleh evolusi angkutan darat yang begitu gencar
mengalahkan sarana transportasi sungai yang selama ini berlangsung di Kalsel,”
ujarnya.
Selain itu, persepsi masyarakat Banjar saat ini telah berubah tentang
rumah lanting. Jika masyarakat Banjar masa lalu menganggap lanting sebagai
rumah yang dinamis dan fleksibel, maka masyarakat Banjar modern memandang
lanting sebagai rumah orang miskin. Alasannya, karena lanting tidak memiliki
kuasa atas tanah. Sementara tanah itu bagian dari pada kekuasaan. ”Tidak ada
hari ini orang menjual sungai, kan?” ucapnya.
Cara pandang itu membuat tradisi rumah lanting sulit bangkit kembali.
Kalaupun ada upaya pelestarian tempatnya adalah pada ranah infrastruktur
publik, bukan perumahan yang mendorong orang untuk tinggal sesuai fungsi rumah
pada umumnya.
”Kalaupun upaya pelestarian pemerintah harus merekonstruksi kebijakan
yang berbau kepentingan publik, misalnya untuk restoran atau kafe di pinggir
sungai. Tinggal bagaimana pemerintah merekonstruksi fisik tetap lestari berupa
fisik yang dipadu dengan konsep menjemput zaman hari ini,” tutur Taufik.
Inilah tantangannya yang harus mampu dipenuhi. Bagaimanapun tradisi itu
jangan sampai hilang tidak berbekas.
No comments:
Post a Comment