Sabtu, 10 Maret 2012 , 09:58:00 WIB
Laporan:
Hendry Ginting
RMOL.
Konflik agraria atau sengketa lahan di Indonesia merupakan puncak gunung es
dari berbagai masalah agraria yang terus terjadi sejak jaman kolonial sampai
setelah 66 tahun merdeka.
Menurut Hajriyanto , konflik agraria yang paling dominan bersifat vertikal yaitu antara masyarakat, pemerintah dan swasta, khususnya kasus klaim atas tanah perkebunan atau pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sementara konflik horizontal misalnya kepemilikan sertifikat tanah ganda atau kepemilikan beberapa sertifikat atas sebidang tanah.
"Yang paling mencuat beberapa tahun tahun terakhir tentu saja konflik antara masyarakat (adat atau transmigran) dan perusahaan, " ujar Hajriyanto saat bicara dalam press gathering di Hotel Sheraton Senggigi, NTB, Sabtu (10/3).
Hajriyanto mengungkapkan Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sepanjang 1970-2001 terjadi sengketa agraria sebanyak 1.753 kasus, yang meliputi 10,9 juta hektar dengan korban 1.9 juta keluarga. Sepanjang 2011 terjadi 163 konflik pertanahan dengan rincian 97 kasus di sektor perkebunan. 36 di kehutanan, 8 pertambangan dan 1 kasus di sektor tambak dan pesisir. Dan dengan korban 22 jiwa dan 3 korban, dengan 106 konflik, pada 2010.
Maraknya sengketa tanah itu berakar bukan hanya masah hukum, melainkan juga politik pertanahan, ledakan jumlah penduduk, kemiskinan dan faktor budaya. Secara hukum kata politisi Partai Golkar itu, membuktikan sistem peraturan UU agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.
"Padahal pengelolaan sumber daya agraria dan alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan mutlak dilakukan secara terkordinasi, tepadu dan menampung dinamika Karenanya Tap MPR IX/MPR/2001 ini dimaksudkan untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan SDA, " katanya. [dry]
No comments:
Post a Comment