Saturday, July 6, 2013

Mafia Ikan Merajalela. Upaya Memantapkan Indonesia Negara Maritim Terancam


TUAL, KOMPAs Perikanan tangkap di Indonesia sarat dengan sedikitnya tiga persoalan utama, yakni pencurian ikan, penyimpangan lisensi, dan penyalahgunaan bahan bakar minyak. Jika ketiga hal itu tak segera dibenahi oleh pemerintah dan aparat keamanan, upaya memantapkan Indonesia sebagai negara maritim hanya retorika.
Dugaan itu disampaikan Presiden Direktur PT Maritim Timur Jaya (MTJ) Lesmana Kartasumitra kepada Kompasdi Tual, Maluku, Jumat (5/7). PT MTJ adalah perusahaan perikanan terpadu yang beroperasi di Indonesia timur sejak 1995.
”Bila pemerintah pusat dan daerah tidak tegas untuk menata perikanan tangkap, secara tak langsung hilirisasi industri yang digembar-gemborkan belakangan ini hanya omong kosong,” ujar Lesmana.
Dalam amatannya sebagai pelaku usaha perikanan, Lesmana melihat praktik pemindahan muatan kapal penangkap ikan di tengah laut masih terjadi. Sejumlah kapal berbendera Indonesia, seusai menangkap ikan, memindahkan muatan ke kapal lain untuk dijual kepada asing. Praktik seperti ini layak dikategorikan pencurian ikan (illegal fishing) sebab terjadi transaksi jual beli ikan di wilayah perairan Indonesia tanpa disertai dokumen yang sah dan kontrol institusi resmi di negeri ini.
Menurut Lesmana, pangkal dari praktik pemindahan muatan kapal ikan itu adalah tren penyimpangan lisensi dan izin zonasi. Ada kecenderungan kapal asing yang dibeli oleh pengusaha dalam negeri tetap mempekerjakan tenaga kerja asing. Selanjutnya, dengan memakai bendera Indonesia, kapal itu bebas berkeliaran di perairan Indonesia tanpa merasa takut ditangkap oleh aparat keamanan.
Mereka beroperasi sebagai pemegang izin perikanan tangkap, tetapi tidak melengkapi diri dengan fasilitas yang layak. Lesmana menambahkan, diduga ada mafia yang melibatkan aparat pemerintah pusat dan daerah dalam kasus ini.
Contohnya, di Maluku terdapat sejumlah perusahaan ikan tangkap yang hanya memiliki kapal, tetapi tidak memiliki unit pengolahan ikan (UPI). Mereka enggan berinvestasi untuk pengolahan. Fasilitas cold storage(gudang pembekuan) ikan hanya menyewa milik pemerintah daerah dengan tarif hanya Rp 10.000 per meter persegi per tahun. Kondisi ini jauh dari prinsip hilirisasi dan penyerapan tenaga kerja.
Penyimpangan izin dan lisensi lain berupa pelanggaran zonasi. Misalnya, izin operasional untuk Lampung, tetapi kapal beroperasi di Sorong, Papua, atau Laut Arafura. Penyimpangan bahan bakar minyak (BBM) ditandai dengan penjualan BBM bersubsidi kepada pihak lain di perbatasan.
”Perlu ketegasan untuk memberantas mafia ini sehingga perusahaan perikanan yang melengkapi diri dengan fasilitas pengolahan terpadu tidak merasa diperlakukan tidak adil,” kata Lesmana.

Nelayan tak gentar

Sementara itu, sejumlah nelayan di Tual tidak merasa gentar menghadapi masa paceklik akibat cuaca buruk. Sebab, PT MTJ di Dullah Utara, Tual, menjamin seluruh ikan tangkapan nelayan sekitar dibeli untuk diolah dan disimpan. Sebaliknya, kalau nelayan mendapatkan order pembelian ikan dari juragan antardaerah, perusahaan itu siap menjual kembali hasil ikan olahan bernilai tambah dengan harga bersaing.
Haji Lamani (51), nelayan binaan PT MTJ, mengungkapkan, kini seluruh ikan tangkapannya bernilai ekonomi menyusul jaminan penyerapan dari perusahaan swasta nasional itu. Perusahaan juga menampung hasil budidaya rumput laut dari warga.
”Saat dilanda paceklik, kami tertolong oleh MTJ yang menyerap seluruh hasil tangkapan berapa pun volume dan apa pun jenisnya,” kata Lamani. Kapalnya menjelajahi perairan Kepulauan Kei dan Laut Arafura.
Ikan tembang yang dulu terbuang dan kurang diminati warga karena bertulang serabut, misalnya, kini bisa dijual seharga Rp 500 per kilogram. Harga itu sudah menutupi biaya operasional pelayaran. Sekali berlayar (dalam masa dua pekan), Lamani membawa pulang 5-10 ton berbagai jenis ikan. Sekali berlayar dengan perahu mesin 20 tenaga kuda (PK), dia memerlukan biaya Rp 500.000, termasuk untuk BBM dan bekal logistik untuk lima awak.
Hal senada disampaikan nelayan lain, Jalauddin Yamlean (39) dan M Gufron (34). Mereka kini merasa tenang berlayar.
Dalam kunjungan ke Tual, Kamis dan Jumat, Duta Besar China untuk Indonesia Liu Jianchao dan pengusaha Tommy Winata berkomitmen mendorong transformasi teknologi dalam memberi nilai tambah komoditas hasil laut di daerah itu.
(nar)



No comments:

Post a Comment