Fenomena Politikus Lompat Parpol Tak Sehat untuk Demokrasi
Jakarta, Kompas - Perpindahan politikus ke partai lain yang belakangan
ini marak terjadi merupakan fenomena yang lumrah menjelang pemilihan umum.
Namun, perpindahan itu dinilai lebih menonjolkan kepentingan pragmatis,
terutama memburu peluang dan mengejar kekuasaan.
Perpindahan atau dikenal dengan istilah lompat pagar itu kecil sekali
dengan alasan idealis, karena tidak ada perbedaan ideologi yang mencolok
antarpartai.
”Faksionalisme basisnya pragmatis, tidak ada hubungannya dengan
perbedaan ideologi. Mereka yang kalah dalam pertarungan otomatis kehilangan
sumber daya sehingga memutuskan keluar dan berpindah parpol atau membuat parpol
baru,” kata pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah
Mada, AAGN Ari Dwipayana, Minggu (27/1).
”Lompat partai tidak dimaknai sebagai pengkhianatan pada ideologi,
tetapi hanya urusan kepentingan dan peluang,” ujar Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat di Jakarta, Sabtu (26/1).
Perpindahan politikus ke partai politik (parpol) lain, ujar Ari,
biasanya berawal dari perpecahan internal parpol. Perpecahan terjadi lantaran
para pengurus tidak mampu mengelola faksionalisme internal parpol. Perpecahan
berujung pada keluarnya faksi yang tidak puas untuk kemudian berpindah parpol
atau membentuk parpol baru.
Tren perpindahan politikus ke parpol lain atau membentuk parpol baru
mulai muncul sejak awal reformasi. Politikus berpindah parpol, kata Ari, bukan
karena perbedaan ideologi, melainkan karena gagal memperebutkan posisi atau
jabatan strategis dalam parpol.
Maka, pindah parpol atau membuat parpol baru menjadi pilihan paling
rasional. Sebab, kemungkinan besar, mereka akan kembali mendapatkan posisi atau
jabatan strategis dalam parpol baru. Akses politikus untuk memperoleh kekuasaan
kembali terbuka setelah pindah parpol.
Tidak sehat
Fenomena politikus lompat parpol itu, menurut Ari, tidak sehat untuk
demokrasi. Politikus seharusnya mendorong demokratisasi dengan membenahi
persoalan di internal parpol. Tetapi kenyataannya, tidak sedikit politikus yang
memilih lompat parpol untuk menyelamatkan akses kekuasaan yang dimiliki.
Partai Golkar termasuk yang kadernya hengkang ke partai lain. Hal itu,
kata anggota DPR dari Fraksi Golkar Ade Komarudin, bukan merupakan ancaman.
Partai Golkar sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Menurut Ketua Umum
Partai Golkar Aburizal Bakrie, partainya terbuka bagi siapa saja yang ingin
bergabung, termasuk mantan Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem Hary Tanoesoedibjo.
Belakangan ini, meskipun diwarnai pengunduran diri sejumlah
pengurusnya, Partai Nasdem juga menjadi tempat politikus pindah. Komaruddin
melihat partai itu berpeluang menjadi partai alternatif ketika mampu menawarkan
restorasi dan benar-benar menjadi partai rasional, demokratis, dan terbuka.
(NTA/INA/FER)
No comments:
Post a Comment