Senin,
23 Agustus 2010 | 02:43 WIB Hendardi
Oleh Hendardi
Sejarah korupsi dan kolusi penguasa-pengusaha
di Indonesia rupanya telah berlangsung sejak sebelum berdirinya Republik
Indonesia 65 tahun lalu.
Sesudah kemerdekaan, hanya berganti aktor
saja. Dari bentang kekuasaan politik ini muncul sejumlah kelompok yang di
dalamnya berlangsung praktik penimbunan korupsi.
Timbunan korupsi
Pada 1950, setelah kembalinya kedaulatan Republik, pemerintahan parlementer dan sistem multipartai juga diwarisi. Para pejabat pemerintah mengusung program Ekonomi Benteng guna membentuk lapisan pengusaha nasional yang kuat sebagai reaksi atas dominasi pengusaha Belanda dan Tionghoa.
Persoalannya, program itu ditandai dengan
kolusi pejabat dan pengusaha sehingga relasi patronasi bisnis (business
patronage) menjadi bibit pokok bagi penimbunan korupsi. Program ini lebih
banyak gagal karena banyak pemilik lisensi ekspor-impor menjualnya ke pihak
asing dan Tionghoa.
Sejak 1957 terjadi ”nasionalisasi” atau
pengambilalihan perusahaan Belanda oleh sejumlah serikat buruh. Tapi,
pengambilalihan ini justru beralih tangan lagi ke kelompok perwira militer
Angkatan Darat. Pemupukan patronasi bisnis menguat dan penimbunan korupsi mulai
tak terhindarkan.
Setelah 1965, pengaruh militer dalam politik
dan bisnis pun meningkat. Orde Baru menikmati tiga sumber uang: utang luar
negeri, modal asing, dan ”uang minyak” (petrodollar). Dugaan korupsi sukar
disembunyikan ketika Pertamina dililit utang 10,4 miliar dollar AS pada 1975.
Tren perusahaan negara sebagai ”sapi perahan”
korupsi dan kolusi para pejabat dan pengusaha mencapai puncak timbunannya pada
era Orde Baru. Selain Pertamina, juga perusahaan tambang lainnya, Bulog, PLN,
dan bank-bank pemerintah menjadi ladang penimbunan korupsi yang berkerumun di
sekitar Istana Cendana.
Sejumlah pejabat yang berlatar militer
mempunyai semacam ”kewenangan” untuk mengeluarkan ”surat sakti” atau
katebeletje, baik kredit raksasa tanpa agunan atau tender proyek triliunan
rupiah. Keterlibatan pejabat politik seperti ini gagal menciptakan kepercayaan
bisnis dalam jangka panjang.
Pengurasan sumber-sumber kekayaan Republik
diiringi dengan penimbunan korupsi dan kolusi, bahkan juga nepotisme Orde Baru.
Ketika diterpa krisis moneter pada paruh akhir 1997, skandal keuangan (BLBI)
sebesar Rp 144,5 triliun pun terkuak. Krisis ini pula yang berdampak terhadap
tumbangnya rezim Soeharto.
Reformasi telah mengubah format politik dan
menggeser beberapa kelompok bisnis domestik. Format ini menaikkan peran
parlemen dan partai politik, juga meningkatnya independensi pengadilan dan
aparat penegak hukum. Tapi, terjadi pula perluasan timbunan korupsi. Salah satu
yang terpenting, belakangan adalah kasus Bank Century Rp 6,7 triliun.
Republik juga menggelar hajatan politik
desentralisasi atau otonomi daerah. Sejak 1999, telah mekar 7 provinsi, 164
kabupaten, dan 34 kota sehingga total menjadi 524 pemerintah daerah. Tetapi,
dari pemekaran ini juga tercatat sedikitnya tertimbun 1.891 kasus korupsi.
Bahkan Presiden Yudhoyono menyebut 80 persen daerah pemekaran mengalami
kegagalan.
Hukum dan peradilan
Kendati persoalan itu tak lepas dari kepentingan politik-ekonomi yang beroperasi, tetapi meningkatnya peran parlemen tetap masih belum cukup menyetujui dan memberlakukan sebuah UU Antikorupsi yang menganut prinsip pembuktian terbalik.
Begitu juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang dibentuk pada 2002, pengadilannya masih terbatas, belum menyebar ke
seluruh provinsi. Timbunan korupsi dalam Republik tak hanya melalui jalur
pemerintah dan parlemen, tetapi juga melalui jalur peradilan.
Aparat penegak hukum dan kehakiman mewarisi jaringan
mafia peradilan. Mereka menyelewengkan jabatan atau wewenang dan melakukan
tindak pemerasan, atau menerima suap dari pihak yang tersandung kasus. Dan tak
jarang, suatu perkara mempunyai harga tertentu untuk diselesaikan. Karena
perkara bisa didagangkan sebagai ”komoditas hukum”, bermekaran mereka yang
disebut makelar kasus (markus). Dengan ini, rantai jaringan mafia peradilan pun
bertambah. Kegerahan orang atas keberadaan mafia ini menyajikan guyonan KUHP
(kasih uang habis perkara/give me money and that is that).
Realitas kondisi Republik dengan timbunan
korupsi yang tersebar di berbagai tingkat tata negara ataupun meluas ke
berbagai daerah, boleh jadi cermin dari wajah dan tubuh kita yang buruk berkaca
di dalamnya.
Dari refleksi ini pula diharapkan muncul
inspirasi dan aspirasi yang menghidupkan moralitas dan komitmen antikorupsi
yang tak merasa khawatir dengan gugatan atau tuntutan yang mengatasnamakan
”nama baik”.
Hendardi Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
No comments:
Post a Comment