Konflik agraria dan sengketa
pertanahan di negeri ini merebak di segala sektor dan penjuru yang memicu
konflik sosial lebih luas. Masalah pertanahan bersifat multi-dimensi dan
kompleks sebab aspek sosial, ekonomi, ekologi, politik, dan pertahanan-keamanan berkelindan.
Maraknya konflik dan sengketa
pertanahan belum bisa diselesaikan oleh regulasi dan institusi yang ada.
Penyebab utamanya, ketimpangan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta kekayaan alam
lain sehingga melahirkan rasa ketidakadilan dan ketidakpastian hukum di
masyarakat. Orientasi politik agraria nasional pun cenderung memihak pemodal
besar dan meminggirkan rakyat kecil. Peraturan perundang-undangan keagrariaan
bersifat sektoral, tak sinkron dan tak harmonis sehingga tumpang-tindih regulasi.
Birokrasi pemerintah pengelola keagrariaan pun cenderung ego-sektoral, tak
terkoordinasi dengan solid dan sinergis.
Selain itu, otonomi daerah tanpa
strategi pemberdayaan pemerintah dan masyarakat memicu ketegangan kewenangan
pemerintah pusat dan daerah.
Yang paling pokok, hingga kini
belum ada produk legislasi, regulasi, dan institusi khusus yang berwenang
menangani dan menyelesaikan konflik pertanahan secara komprehensif.
Arah kebijakan baru
Kini, perlu reorientasi politik
dan kebijakan agraria nasional. Orientasi pembangunan perlu diarahkan pada
paradigma dan praktik pembangunan ekonomi populistik dan demokratis yang
mengutamakan semangat gotong royong berdasarkan Pancasila dan konstitusi.
Politik agraria nasional harus
dijauhkan dari kapitalisme dan neoliberalisme. Politik agraria nasional harus
menempatkan rakyat sebagai tuan di atas tanahnya sendiri.
Pada aspek peraturan
perundang-undangan, perlu dikaji ulang dan penataan menyeluruh dengan merujuk
nilai-nilai dasar Pancasila, UUD 1945 (Pasal 33, Ayat (3)), dan UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Presiden hendaknya membentuk
”satgas” yang mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan terkait tanah
dan kekayaan alam yang melibatkan instansi terkait, dibantu pakar dan NGO yang
kompeten. Pembentukan mekanisme dan kelembagaan untuk menangani konflik dan
sengketa pertanahan harus dilandasi dasar hukum yang kokoh.
Birokrasi keagrariaan pemerintah
pun perlu direnovasi. Kewenangan BPN diperkuat dan diperluas, disertai
pembenahan birokrasi dan peningkatan kualitas komitmen aparaturnya. Semua
kementerian terkait yang membidangi pertanahan, pertanian, perkebunan,
kehutanan, pertambangan, kelautan, dan pesisir diarahkan ke satu kebijakan
strategis nasional. Lebih mantap bila dibentuk ”Kementerian Koordinator Agraria
dan Pengelolaan SDA” yang mengonsolidasikan kementerian terkait menuju
efektivitas politik dan kebijakan agraria baru.
Tak kalah penting, penataan ulang
otonomi daerah. Kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dimiliki
pemerintah pusat untuk menjaga integritas NKRI ditegaskan, sambil menata arah
kebijakan desentralisasi yang lebih terintegrasi. Pembagian kewenangan di
bidang pertanahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
diperjelas dan dijalankan secara konsisten.
Kelembagaan khusus
Terkait kelembagaan, tak
terelakkan diperlukan pembentukan kelembagaan khusus untuk menangani dan
menyelesaikan konflik dan sengketa pertanahan secara tuntas, utuh dan
menyeluruh. Paradigmanya: hukum progresif dan keadilan transisional.
Pendekatannya sosial dan budaya yang mengakomodasi kebinekaan sistem penguasaan
dan penggunaan tanah rakyat dipadukan, khususnya masyarakat adat dan lokal.
Ruang mediasi dan mekanisme
resolusi konflik alternatif perlu dibuka agar penyelesaian masalah pertanahan
lebih mengedepankan kebersamaan yang menguntungkan semua pihak secara adil dan
berkepastian hukum.
Mengingat kompleksitas
permasalahan pertanahan dan keterbatasan kapasitas dan respons kelembagaan yang
ada, di sinilah relevansi menghadirkan peradilan khusus keagrariaan. Kini
saatnya merintis pembentukan pengadilan pertanahan, di bawah peradilan umum di
lingkungan Mahkamah Agung. Pengadilan pertanahan ini diisi para hakim dan
aparatus yang terdidik dan terlatih khusus untuk menangani perkara keagrariaan
yang kompleks dan multi-dimensi.
Tentu saja penanganan konflik
agraria dan sengketa pertanahan harus diletakkan dalam konteks pelaksanaan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebagai jalan menuju
perwujudan masyarakat adil, makmur, bahagia dan sejahtera, seperti impian
pendiri republik. Jika pemerintahan sekarang tak sanggup mewujudkannya, ini
pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru yang akan dibentuk melalui Pemilu 2014.
Usep Setiawan - Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan
Agraria
No comments:
Post a Comment