Oleh Usep Setiawan
Wajah agraria Indonesia diwarnai ketimpangan yang memiskinkan,
mengerasnya konflik, dan rusaknya lingkungan yang membuahkan bencana.
Masalah agraria yang kronis meliputi seluruh sektor dan semua wilayah.
Buruknya rupa agraria Indonesia dibentuk akibat kelakuan instansi/aparat
pemerintah, serta bisnis dan preman dari skala global sampai lokal. Cakupan
area yang diperebutkan jutaan hektar. Di tengah karut-marut wajah agraria,
pemerintah dan DPR tengah menyusun RUU Pertanahan.
Disadari, UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 baru mengatur hal prinsip dan
pokok sehingga perlu operasionalisasi khusus di bidang pertanahan. Di sisi
lain, banyak UU tak sejalan dengan semangat UUPA karena kuatnya egosektoralisme
birokrasi dalam pengelolaan kekayaan alam.
Lantas, apa relevansi RUU Pertanahan? Ketimpangan agraria, konflik
agraria, dan kerusakan lingkungan menanti jawaban. Oleh karena itu, ada tiga
paham (isme) yang harus dibendung: kapitalisme, liberalisme, dan sektoralisme.
Ketiga ”isme” itu menempatkan tanah sebagai komoditas obyek spekulasi. Juga
menjadikan rakyat sebagai buruh di atas tanahnya sendiri, memuja kebebasan
pasar, menggerus peran negara sebagai pengelola urusan rakyat banyak, dan
menjadikan setiap sektor sebagai obyek ekstraksi dan eksploitasi demi akumulasi
kapital besar.
Lima agenda utama
Sejumlah prinsip mestinya melandasi RUU Pertanahan. Di antaranya, tanah
sebagai sumber keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat; pembatasan
pemilikan dan penguasaan tanah individu dan badan usaha; larangan monopoli dan eksploitasi
yang berlebihan; dan keharusan menggunakan tanah untuk keberlanjutan layanan
alam.
Sekurang-kurangnya ada lima agenda strategis yang harus diutamakan.
Pertama, penataan struktur agraria untuk mengakhiri ketimpangan. Ditetapkan
konsep, pengertian, maksud, dan tujuan land reform. Dipastikan juga obyek dan
subyek, serta mekanisme dan kelembagaan land reform. Tak kalah penting, diatur
soal pembiayaan dan kerangka waktu pelaksanaan land reform.
Kedua, penanganan sengketa dan konflik pertanahan. RUU ini mesti
memberikan pemaknaan sengketa dan konflik pertanahan secara jelas dan utuh.
Penting juga diatur prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik pertanahan.
Ketiga, pengakuan dan penguatan hak-hak masyarakat adat. Perlu diatur pemetaan
wilayah/tanah dan subyek/komunitas masyarakat adat. Dibuat juga mekanisme
pendaftaran dan pengakuan wilayah kuasa dan pengelolaan masyarakat adat.
Ditetapkan kebijakan penguatan hak dan pemajuan sosial ekonomi masyarakat adat
dalam pengelolaan tanah dan kekayaan alam.
Keempat, perlindungan dan pemberdayaan petani penggarap. Perlu diatur
identifikasi kelompok/organisasi, serta pembentukan dan pengembangan
kelembagaan petani. Perlu mekanisme pengadaan tanah bagi petani miskin,
misalnya melalui redistribusi. Perlu penyediaan berbagai sarana pendukung untuk
pengusahaan tanah serta membuka jalan penataan produksi dan pemasaran produk
pertanian.
Kelima, sinkronisasi dan harmonisasi dengan regulasi lain dengan
memosisikan UUPA sebagai rujukan. Secara substantif dan strategis, pertanahan
harus ditempatkan sebagai matrik dasar keagrariaan. RUU Pertanahan idealnya
menjadi simpul regulasi sektoral sehingga UU lain dan regulasi di bawah UU
menyesuaikan dengan isi UU Pertanahan. Kelembagaan agraria pun ditata ulang,
misalnya menghidupkan kembali Kementerian Agraria.
RUU Pertanahan perlu jika diletakkan dalam konteks pelaksanaan
Ketetapan MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam. Semangat utama regulasi pertanahan harus memperkuat hak rakyat atas
tanah.
Operasionalkan UUPA
RUU Pertanahan harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah baru.
Perlu juga disinergikan inisiatif DPR yang juga tengah menyusun RUU Pertanahan
dengan agenda-agenda legislasi terkait, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan RUU Desa. Agar RUU Pertanahan
mengakomodasi suara masyarakat banyak, konsultasi publik penting digencarkan.
Legislasi pertanahan harus menjadi karpet merah bagi keadilan agraria. Jika
sebaliknya, RUU ini layak ditolak sebelum telanjur disahkan.
Usep Setiawan - Anggota Dewan Pakar Konsorsium
Pembaruan Agraria
No comments:
Post a Comment