Wednesday, July 10, 2013

Disesalkan, pengesahan UU Anti-Perusakan Hutan.

Berpotensi Tingkatkan Konflik Masyarakat Sekitar Hutan

Oleh: ich 


Jakarta, Kompas Rapat Paripurna DPR, Selasa (9/7), menyetujui Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan untuk disahkan. Penetapan ini disesalkan berbagai pihak karena berpotensi meningkatkan konflik masyarakat sekitar hutan dan menambah kompleksitas upaya memperbaiki tata kelola hutan.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan menyiapkan draf uji materi atas UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Uji materi akan segera diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
”Penyusunan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan tak transparan dan terkesan sembunyi-sembunyi. Substansi dan formal dalam perundang-undangan juga melenceng,” kata Siti Rahma Mary, Koordinator Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik Perkumpulan HuMa, yang juga anggota koalisi itu.

Sejak terindikasi rencana penetapan RUU yang semula bernama RUU Pembalakan Liar dan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H), Koalisi Masyarakat Sipil telah menyatakan sikap menolak pengesahan RUU ini. Keberatan mereka disampaikan langsung kepada Wakil Ketua DPR Pramono Anung dan audiensi dengan tim Panitia Kerja RUU P3H di Komisi IV.
”Masukan dari kami tidak diperhatikan karena RUU tetap disahkan. Hingga kini kami kesulitan mendapatkan draf terbarunya,” katanya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Kehutanan Nasional, dan beberapa pakar agraria/kehutanan juga menolak RUU ini.

UU P3H dinilai mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus konsep hutan yang ditunjuk (UU No 41/1999 tentang Kehutanan). Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan dikeluarkannya hutan adat dari cakupan hutan negara.
Dalam public review RUU P2H yang dieksaminasi oleh lima pakar hutan dan hukum (April 2013) tak merekomendasikan pembahasan RUU dilanjutkan.
”RUU P2H tidak mendesak dan tidak menjawab persoalan yang terjadi di sektor kehutanan. Yang dibutuhkan masyarakat kehutanan saat ini adalah revisi terhadap UU No 41/1999 tentang Kehutanan dengan mengakomodasi kepentingan masyarakat yang turun-temurun memelihara hutan serta melakukan penindakan hukum tegas atas kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh perusahaan,” demikian rekomendasi majelis eksaminasi.

UU P3H diproses sejak tahun 2002. Menurut Ketua Panja Komisi IV DPR Firman Subagyo, UU ini hendak memberikan efek jera bagi perusak hutan, terutama korporasi. Ia menjamin UU ini tak menyasar dan mengarah kepada masyarakat adat yang memanfaatkan hutan.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil mengkhawatirkan implementasi di lapangan mengarah pada masyarakat adat atau lokal sekitar hutan. Siti Rahma menunjukkan pasal 1 angka 6 misalnya, kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok, yang terdiri atas dua orang atau lebih, dan melakukan tindakan yang merupakan satu kesatuan tujuan.
Ini dinilai menciptakan konflik di 30.000 desa di sekitar kawasan hutan yang ditunjuk ataupun ditetapkan pemerintah. Kementerian Kehutanan mengakui, baru 19 juta hektar dari 120 juta hektar kawasan hutan yang telah dikukuhkan. (ICH)

No comments:

Post a Comment