by Frans Dionesa's Weblog. Ide, Catatan dan
Pemikiran
Otonomi Daerah yang
dilaksanakan di Indonesia saat ini adalah otonomi bertingkat. Dengan titik
berat pada daerah kabupaten atau kota. Format inilah yang menjadi biang tidak
efektifnya implementasi desentralisasi di Indonesia. Pada dasarnya
desentralisasi mempunyai dua tujuan yakni dalam rangka effisiensi struktural
dan mewujudkan demokrasi lokal. Pertanyaan besarnya adalah apakah implementasi
desentralisasi (baca : otonomi daerah) yang diterapkan saat ini telah
mewujudkan effisiensi struktural dan demokrasi lokal?
Dari segi effisiensi struktural jelas
penerapan otonomi bertingkat berimplikasi panjangnya jejang koordinasi
pemerintahan. Titik berat otonomi pada daerah tingkat dua telah menyebabkan
daerah berlomba-lomba memekarkan daerahnya, sampai dengan saat ini terdapat 497
Daerah Kabupaten dan Kota dan tampaknya masih akan terus bertambah. Kabupaten
dan Kota tersebut kemudian juga memekarkan lagi kecamatan, kelurahan dan
desa-desanya. Banyaknya jumlah kabupaten kota tentunya menyebabkan struktur
organisasi pemerintahan secara nasional semakin besar dan harus lebih banyak
lagi dana yang harus digelontorkan oleh pusat ke daerah. Penulis tidak
bermaksud mengatakan bahwa banyaknya anggaran yang harus digelontorkan oleh
pemerintah pusat ke daerah sesuatu yang negatif, tapi apakah benar dana
tersebut digunakan untuk kepentingan rakyat? Fakta dan data menunjukkan bahwa
dana alokasi ke daerah sebagian besar digunakan untuk membiayai birokrasi lokal
(termasuk DPRD) bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bayangkan berapa
besar biaya untuk membangun gedung pemda daerah-daerah pemekaran, berapa besar
biaya untuk operasional pemerintahan, berapa besar biaya untuk membayar gaji
anggota DPRD Kabupaten Kota se Indonesia yang jumlahnya hampir 17.000,-an.
Sangat jelas bahwa birokrasi kita menjadi semakin gemuk ibarat kapal besar yang
berjalan lamban karena kebanyakan muatan dan penumpang. Sungguh sangat tidak
effisien!
Sejak otonomi daerah dicanangkan
sampai saat ini memang masyarakat di daerah diliputieuphoria demokrasi.
Pemilihan kepala daerah langsung sebagai wujud nyata demokrasi tersebut masih
menyisakan persoalan “politik uang”. Belum lagi ditinjau dari sudut effisiensi
biaya yang besar untuk menyelenggarakannya. Implikasinya jelas lahirnya
pemimpin daerah yang beorientasi transaksional. Pemimpin Daerah yang lahir dari
proses ini sebagian besar adalah pendekar “Wiro Sableng” Kapak Maut 212,
maksudnya 2 tahun pertama bekerja untuk mengembalikan modal, 1 tahun mengabdi
(untung masih sempat!), 2 tahun berikutnya mengumpulkan modal untuk pemilihan
berikutnya! Terbukti banyak sekali incumbent yang berhasil terpilih
kembali dengan pola ini. Jelas bahwa “demokrasi yang sebenarnya” belum terwujud
di daerah, demokrasi di daerah saat ini adalah demokrasi traksaksional,
demokrasi yang semu.
Bertitik tolak dari kondisi
tersebut di atas format otonomi daerah terutama titik berat otonomi daerah pada
daerah kabupaten dan kota harus dirombak dan dirubah. Proses revisi
Undang-Undang Otonomi daerah saat ini hendaknya bukan hanya proses inkremental
sebagaimana yang disebut kementerian dalam negeri, harus ada keberanian untuk
merombak format ini! Jika tidak, yakin dan percayalah revisi ini hanya akan
menghasilkan Undang-Undang yang perlu direvisi kembali 5 atau 7 tahun ke depan.
Lalu sampai kapan kita akan menemukan format otda yang pas jika proses
perbaikannya hanya inkremental belaka!
Penulis mendukung usulan merubah
format otonomi daerah yakni dititikberatkan pada daerah propinsi. Ada dua
alasan yakni pertama; dalam rangka effisiensi struktural pemerintahan dan kedua
mewujudkan demokrasi lokal yang sebenarnya. Apabila otonomi daerah
dititikberatkan pada daerah propinsi. effisiensi struktural akan terwujud,
koordinasi menjadi efektif karena pemerintah pusat cukup mengoordinasikan dan
berkoordinasi dengan gubernur saja dan gubernur cukup mengoordinasikan dan
berkoordinasikan dengan Bupati dan Walikota di wilayahnya. Tidak seperti
sekarang garis koordinasi menjadi tidak jelas dan tidak efektif, Bupati dan
Walikota merasa tidak cukup berkoordiansi dengan Gubernur sehingga berkeliaran
di Jakarta untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Bahkan banyak Bupati
dan Walikota yang “melambung” melompati Gubernur dan merasa tidak ada
gunanya berkoordinasi dengan Gubernur! Sehingga tidak heran Bupati dan Walikota
lebih sering berada di Jakarta di banding di Daerahnya sendiri. Dimana-mana di
dunia ini sistem pemerintahan ada jenjang dan hirarki. Di lain pihak Gubernur
seperti tidak punya cukup kewenangan dan tidak punya daya untuk mengatur Bupati
dan Walikota di wilayahnya. Posisi Gubernur menjadi ambiqu apakah dia wakil
pemerintah pusat atau wakil daerahnya? mungkinkah efektif pada satu peran
melekat dua kepentingan?!
Hal yang harus dipahami bahwa
demokrasi lokal pada akhirnya harus bermuara pada kesejahteraan rakyat. Untuk
apa kita berdemokrasi jika tidak bisa menyejahterakan rakyat. Untuk itu
Kabupaten dan Kota seharusnya diposisikan sebagai garis depan pelayanan publik
dengan otonomi terbatas. Bupati dan Walikota bisa lebih fokus pada tugas
utamanya menyejahterakan rakyat apabila tidak direcoki dengan sebuah lembaga
yang bernama DPRD Kabupaten/Kota. Dengan otonomi terbatas Bupati dan Walikota
bisa lebih berkonsentrasi pada usaha-usaha bagaimana mengusahakan kemajuan
daerah, bukan hanya bisa menjadikan daerah obyek usahanya. Lembaga DPRD pada
tingkat Kabupaten Kota juga tidak efektif, fenomena menunjukkan oknum anggota
DPRD bukannya mengawasi kinerja ekskutif malah berkolaborasi untuk
“memanfaatkan” anggaran daerah bagi kepentingan mereka. Belum lagi fungsi
legislasi yang tidak optimal, kalaupun ada hasilnya justru melahirkan
perda-perda bermasalah. Saat ini terdapat lebih dari 497 DPRD
Kabupaten/Kota dengan sekitar 17.000 anggota. Bayangkan berapa besar anggaran
yang harus disiapkan oleh pemerintah untuk menyediakan dana operasional lembaga
ini dan membayar gaji anggota-anggotanya. Faktor kalinya sangat besar, jika
dibanding dengan DPRD propinsi yang hanya 33 lembaga.
Proses pemilukada saat ini yang
sangat transaksional juga karena faktor skala politik yang kecil. Banyak
Kabupaten dan Kota terutama di luar jawa yang jumlah pemilihnya hanya hitungan
belasan ribu saja. Logikanya adalah sangat mungkin untuk menyiapkan dana membeli
suara mereka. Tapi jika pemilukada hanya ada pada tingkat propinsi tentu
praktek jual beli suara akan sulit karena jumlah pemilih mencapai jutaan.
Pemilukada pada tingkat Kabupaten dan Kota juga menimbulkan lebih banyak
konflik antar kelompok atau golongan pendukung calon. Hal ini karena faktor
kedekatan psikologis mereka dengan jago yang mereka dukung, sehingga hubungan
lebih bersifat emosional! Implikasi lebih lanjutnya konstituen menjadi tidak
rasional dalam memilih. Sekalipun mereka tidak memiliki kedekatan emosional,
maka transaksional dan untung rugilah yang dijadikan dasar bagi mereka dalam
memilih Bupati atau Walikota. Proses seperti inilah yang akhirnya menghasilkan
raja-raja kecil di daerah.
Sampai kapan proses demokrasi yang
tidak sehat ini akan dibiarkan!
Jawabnya : sampai kita berani
merombak format otonomi daerah!
No comments:
Post a Comment