Thursday, June 27, 2013

Menggugat Format Otonomi Daerah!

Jan 22nd, 2013  http://fransdionesa.staff.ipdn.ac.id/?p=364
by Frans Dionesa's Weblog. Ide, Catatan dan Pemikiran




Otonomi Daerah yang dilaksanakan di Indonesia saat ini adalah otonomi bertingkat. Dengan titik berat pada daerah kabupaten atau kota. Format inilah yang menjadi biang tidak efektifnya implementasi desentralisasi di Indonesia. Pada dasarnya desentralisasi mempunyai dua tujuan yakni dalam rangka effisiensi struktural dan mewujudkan demokrasi lokal. Pertanyaan besarnya adalah apakah implementasi desentralisasi (baca : otonomi daerah) yang diterapkan saat ini telah mewujudkan effisiensi struktural dan demokrasi lokal?

Dari segi effisiensi struktural jelas penerapan otonomi bertingkat berimplikasi panjangnya jejang koordinasi pemerintahan. Titik berat otonomi pada daerah tingkat dua telah menyebabkan daerah berlomba-lomba memekarkan daerahnya, sampai dengan saat ini terdapat 497 Daerah Kabupaten dan Kota dan tampaknya masih akan terus bertambah. Kabupaten dan Kota tersebut kemudian juga memekarkan lagi kecamatan, kelurahan dan desa-desanya. Banyaknya jumlah kabupaten kota tentunya menyebabkan struktur organisasi pemerintahan secara nasional semakin besar dan harus lebih banyak lagi dana yang harus digelontorkan oleh pusat ke daerah. Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa banyaknya anggaran yang harus digelontorkan oleh pemerintah pusat ke daerah sesuatu yang negatif, tapi apakah benar dana tersebut digunakan untuk kepentingan rakyat? Fakta dan data menunjukkan bahwa dana alokasi ke daerah sebagian besar digunakan untuk membiayai birokrasi lokal (termasuk DPRD) bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bayangkan berapa besar biaya untuk membangun gedung pemda daerah-daerah pemekaran, berapa besar biaya untuk operasional pemerintahan, berapa besar biaya untuk membayar gaji anggota DPRD Kabupaten Kota se Indonesia yang jumlahnya hampir 17.000,-an. Sangat jelas bahwa birokrasi kita menjadi semakin gemuk ibarat kapal besar yang berjalan lamban karena kebanyakan muatan dan penumpang. Sungguh sangat tidak effisien!

Sejak otonomi daerah dicanangkan sampai saat ini memang masyarakat di daerah diliputieuphoria demokrasi. Pemilihan kepala daerah langsung sebagai wujud nyata demokrasi tersebut masih menyisakan persoalan “politik uang”. Belum lagi ditinjau dari sudut effisiensi biaya yang besar untuk menyelenggarakannya. Implikasinya jelas lahirnya pemimpin daerah yang beorientasi transaksional. Pemimpin Daerah yang lahir dari proses ini sebagian besar adalah pendekar “Wiro Sableng” Kapak Maut 212, maksudnya 2 tahun pertama bekerja untuk mengembalikan modal, 1 tahun mengabdi (untung masih sempat!), 2 tahun berikutnya mengumpulkan modal untuk pemilihan berikutnya! Terbukti banyak sekali incumbent yang berhasil terpilih kembali dengan pola ini. Jelas bahwa “demokrasi yang sebenarnya” belum terwujud di daerah, demokrasi di daerah saat ini adalah demokrasi traksaksional, demokrasi yang semu.

Bertitik tolak dari kondisi tersebut di atas format otonomi daerah terutama titik berat otonomi daerah pada daerah kabupaten dan kota harus dirombak dan dirubah. Proses revisi Undang-Undang Otonomi daerah saat ini hendaknya bukan hanya proses inkremental sebagaimana yang disebut kementerian dalam negeri, harus ada keberanian untuk merombak format ini! Jika tidak, yakin dan percayalah revisi ini hanya akan menghasilkan Undang-Undang yang perlu direvisi kembali 5 atau 7 tahun ke depan. Lalu sampai kapan kita akan menemukan format otda yang pas jika proses perbaikannya hanya inkremental belaka!

Penulis mendukung usulan merubah format otonomi daerah yakni dititikberatkan pada daerah propinsi. Ada dua alasan yakni pertama; dalam rangka effisiensi struktural pemerintahan dan kedua mewujudkan demokrasi lokal yang sebenarnya. Apabila otonomi daerah dititikberatkan pada daerah propinsi. effisiensi struktural akan terwujud, koordinasi menjadi efektif karena pemerintah pusat cukup mengoordinasikan dan berkoordinasi dengan gubernur saja dan gubernur cukup mengoordinasikan dan berkoordinasikan dengan Bupati dan Walikota di wilayahnya. Tidak seperti sekarang garis koordinasi menjadi tidak jelas dan tidak efektif, Bupati dan Walikota merasa tidak cukup berkoordiansi dengan Gubernur sehingga berkeliaran di Jakarta untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Bahkan banyak Bupati dan Walikota yang “melambung” melompati Gubernur dan merasa tidak ada gunanya berkoordinasi dengan Gubernur! Sehingga tidak heran Bupati dan Walikota lebih sering berada di Jakarta di banding di Daerahnya sendiri. Dimana-mana di dunia ini sistem pemerintahan ada jenjang dan hirarki. Di lain pihak Gubernur seperti tidak punya cukup kewenangan dan tidak punya daya untuk mengatur Bupati dan Walikota di wilayahnya. Posisi Gubernur menjadi ambiqu apakah dia wakil pemerintah pusat atau wakil daerahnya? mungkinkah efektif pada satu peran melekat dua kepentingan?!

Hal yang harus dipahami bahwa demokrasi lokal pada akhirnya harus bermuara pada kesejahteraan rakyat. Untuk apa kita berdemokrasi jika tidak bisa menyejahterakan rakyat. Untuk itu Kabupaten dan Kota seharusnya diposisikan sebagai garis depan pelayanan publik dengan otonomi terbatas. Bupati dan Walikota bisa lebih fokus pada tugas utamanya menyejahterakan rakyat apabila tidak direcoki dengan sebuah lembaga yang bernama DPRD Kabupaten/Kota. Dengan otonomi terbatas Bupati dan Walikota bisa lebih berkonsentrasi pada usaha-usaha bagaimana mengusahakan kemajuan daerah, bukan hanya bisa menjadikan daerah obyek usahanya. Lembaga DPRD pada tingkat Kabupaten Kota juga tidak efektif, fenomena menunjukkan oknum anggota DPRD bukannya mengawasi kinerja ekskutif malah berkolaborasi untuk “memanfaatkan” anggaran daerah bagi kepentingan mereka. Belum lagi fungsi legislasi yang tidak optimal, kalaupun ada hasilnya justru melahirkan perda-perda bermasalah. Saat ini terdapat lebih dari  497 DPRD Kabupaten/Kota dengan sekitar 17.000 anggota. Bayangkan berapa besar anggaran yang harus disiapkan oleh pemerintah untuk menyediakan dana operasional lembaga ini dan membayar gaji anggota-anggotanya. Faktor kalinya sangat besar, jika dibanding dengan DPRD propinsi yang hanya 33 lembaga.

Proses pemilukada saat ini yang sangat transaksional juga karena faktor skala politik yang kecil. Banyak Kabupaten dan Kota terutama di luar jawa yang jumlah pemilihnya hanya hitungan belasan ribu saja. Logikanya adalah sangat mungkin untuk menyiapkan dana membeli suara mereka. Tapi jika pemilukada hanya ada pada tingkat propinsi tentu praktek jual beli suara akan sulit karena jumlah pemilih mencapai jutaan. Pemilukada pada tingkat Kabupaten dan Kota juga menimbulkan lebih banyak konflik antar kelompok atau golongan pendukung calon. Hal ini karena faktor kedekatan psikologis mereka dengan jago yang mereka dukung, sehingga hubungan lebih bersifat emosional! Implikasi lebih lanjutnya konstituen menjadi tidak rasional dalam memilih. Sekalipun mereka tidak memiliki kedekatan emosional, maka transaksional dan untung rugilah yang dijadikan dasar bagi mereka dalam memilih Bupati atau Walikota. Proses seperti inilah yang akhirnya menghasilkan raja-raja kecil di daerah.

Sampai kapan proses demokrasi yang tidak sehat ini akan dibiarkan!

Jawabnya : sampai kita berani merombak format otonomi daerah!



No comments:

Post a Comment