ANALISIS POLITIK
Oleh YUDI LATIF
SELASA, 30 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001366522
Klaim moral pertama dari
dasar keberadaan negara adalah kesanggupannya melindungi warga dari mara
bahaya (harm). Jika gagal memenuhi hal itu, negara tersebut kehilangan
legitimasinya.
Peristiwa demi peristiwa
kekerasan yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini
memperlihatkan situasi mengerikan. Negara tidak saja gagal melindungi warganya,
tetapi juga gagal melindungi dirinya sendiri. Ekspresi kekerasan mengemuka
dalam ragam bentuk: kekerasan warga atas warga; kekerasan antarsindikat;
kekerasan negara atas warga; kekerasan warga (teroris) atas negara; serta
kekerasan antaraparat negara (tentara versus polisi, polisi versus polisi).
Dengan membuncahnya aneka
ekspresi kekerasan tersebut, negara mengingkari demokrasi dan konstitusi.
Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, bertentangan dengan spirit dan
substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life)
dengan seperangkat institusinya merupakan suatu sarana non-kekerasan.
Di bawah kondisi demokratis,
kepentingan dan kekuasaan tidak bisa diperoleh melalui jalan pemaksaan, tetapi
melalui jalan konsensus yang memerlukan penghormatan publik atas rule of
law. Demokrasi merupakan suatu sistem pembagian kekuasaan secara legal yang
aktornya sama-sama menghindari bahaya kekerasan dan juga diuntungkan oleh
ketiadaan kekerasan.
Demokrasi Indonesia yang
didarahi aneka bentuk kekerasan mengindikasikan bahwa pelaksanaannya belum
mampu mentransformasikan gerak sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik
menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Pergeseran
dari Orde Baru ke Orde Reformasi hanyalah peralihan dari situasi otoriter
menuju situasi lemah otoritas (hukum) dengan risiko yang lebih mengerikan.
Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills memperlihatkan potret yang
mengerikan bahwa penduduk di bawah sistem demokrasi lemah otoritas berpeluang
mati lebih besar ketimbang di bawah sistem kediktatoran. Sebagai contoh,
harapan hidup warga negara demokratis Haiti hanya mencapai 57 tahun
dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah kediktatoran Kuba yang mencapai
77 tahun.
Demokrasi memang bermaksud
menghilangkan pemerintahan otoriter, tetapi tidak bisa ditegakkan tanpa wibawa
otoritas. Tanpa wibawa otoritas negara hukum (nomokrasi), demokrasi bisa
mengarah kepada anarki, yang dapat merebakkan ragam ekspresi kekerasan. Di
dalam merebaknya ekspresi kekerasan, demokrasi melakukan tindakan bunuh diri.
Dengan merebaknya ekspresi
kekerasan, negara juga mengingkari tugas konstitusionalnya: ”melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Lebih dari itu, nyaris
tidak ada perbantahan antara teoretikus negara lintas zaman dan lintas
ideologis, mulai dari Niccolo Machiavelli, John Stuart Mill, hingga pengusung
indikator gross national happiness, dalam menempatkan tugas perlindungan
negara atas warga di jantung dari segala kontrak negara dengan rakyatnya.
Pentingnya proteksi warga
dari bahaya juga menjadi latar yang membentuk liberalisme modern. Dalam
tulisan-tulisan John Stuart Mill ditekankan, satu-satunya justifikasi bagi
tindakan melawan yang lain adalah perlindungan diri (self-protection) dan
satu-satunya rintangan atas kebebasan yang bisa dijustifikasi adalah rintangan
untuk mencegah bahaya bagi orang lain. Kebebasan (mengekspresikan) agama,
misalnya, bisa dibatasi oleh perlindungan atas keselamatan publik (public
safety), ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public health),
moral publik (public morals), serta perlindungan hak dan kemerdekaan (rights
and freedom).
Perlindungan atas
keselamatan warga dan negara penting karena ketertiban dan keselamatan sangat
esensial, bukan saja agar hidup berjalan, melainkan juga agar rakyat bisa hidup
secara baik. Data komparatif lintas negara membenarkan bahwa stabilitas dan
ketertiban politik, pemerintahan hukum dan keadilan, sangat menentukan bagi
pencapaian kebahagiaan. Tingkat kebahagiaan bangsa tertinggi pada umumnya
ditemukan di negara-negara demokrasi yang stabil, seperti Norwegia, Swiss, dan
Denmark, yang mengindikasikan betapa pentingnya pemerintahan yang kuat, stabil,
protektif, dan legitimate bagi kebajikan dan kebahagiaan hidup warga
(Geoff Mulgan, 2006).
Para pendiri bangsa secara
visioner telah menempatkan tugas perlindungan negara atas segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah sebagai dasar legitimasi negara yang pertama. Masalahnya,
dalam semangat penyelenggara negara yang lebih mengutamakan kepentingan dan
keselamatan dirinya, kepentingan dan keselamatan warga bisa saja dikorbankan.
Di dalam kepentingan sempit penguasa zalim, negara tidak saja gagal melindungi
korban, tetapi bisa saja memihak elemen-elemen kekerasan demi keberlangsungan
kekuasaan. Maka, dalam demokrasi yang menghendaki pemuliaan hak-hak asasi
manusia, nyawa manusia di negeri ini justru kian murah.
Praktik demokrasi yang gagal
melindungi warga dari segala bentuk kekerasan adalah praktik demokrasi kriminal
yang tak patut dipertahankan. Demokrasi yang dirayakan dengan kekerasan tidak
saja membinasakan demokrasi itu sendiri, tetapi juga mendelegitimasi negara,
yang akan menjatuhkan konsepsi negara paripurna menjadi kekacauan paripurna.
(Yudi Latif, Pemikir
Kebangsaan dan Kenegaraan)
No comments:
Post a Comment