Pemberantasan
korupsi di Indonesia terperangkap di jalan buntu. Sekelompok elite politik yang
awalnya gencar berkampanye melawan korupsi kini justru diterpa dugaan korupsi,
suap, dan pemalsuan. Demikian juga mereka yang terkesan bersih, peduli, dan
profesional, mulai terungkap dugaan kolusi dalam jaringan bisnis mereka.
Berbagai
kasus korupsi terus marak, dari pusat hingga daerah, dalam berbagai cabang
lembaga negara. Parlemen tak sepi dugaan korupsi, suap, dan pemerasan. Di dalam
tubuh pemerintah, korupsi jauh lebih banyak. Kasus terakhir adalah kecurigaan
atas rekening para kepala daerah. Belakangan tak hanya polisi, jaksa, hakim,
dan KPK yang tertimpa isu korupsi, tetapi juga Mahkamah Konstitusi.
Bagaimana
seharusnya kita memahami persoalan korupsi agar lebih mangkus membongkarnya?
Apa faktor dominan yang membentuk dan mempertahankan praktik dan kebiasaan
korupsi?
Landasan
korupsi
Berbagai
bentuk penyelewengan untuk memperkaya diri atau memupuk kepentingan kelompok di
Indonesia kerap tanpa hukuman atas pelakunya bahkan tanpa persoalan. Tentu ini
tak bisa ditinjau hanya berdasarkan jumlah kasus. Pertanyaannya, mengapa
korupsi begitu marak? Mengapa penegakan hukum dalam memberantas kejahatan
korupsi kian mandul?
Maraknya
korupsi, suap, dan pemerasan dalam aparatur negara punya landasan sejarah. Orde
Baru Soeharto adalah lingkungan pokok yang telah membentuk sistem, praktik, dan
kebiasaan korupsi di Indonesia. Kekuasaan politik dalam menguasai sistem negara
ia petik dari hasil penggulingan Soekarno, disusul dengan pembantaian massal
dan diskriminasi sosial-politik.
Dominasi
rezim Soeharto dibentuk atas dasar empat hal. Pertama, memastikan posisi
kekuasaan politiknya tanpa oposisi serta membentengi dan menindas oposisi yang
muncul dengan kekuatan politik militer dan intelijen. Maka, tak satu pun
kekuatan di luarnya dapat menandingi dominasinya yang nyaris sepenuhnya dalam
politik. Hanya gerakan mahasiswa, buruh, dan tani yang sesekali mengekspresikan
resistensi mereka.
Kedua,
tanpa halangan apa pun dari politik, rezim Soeharto dapat menguasai sumber dan
akses negara untuk mendanai dan memodali jaringan patronase bisnis keluarga dan
kroni-kroninya. Dengan penyelewengan besar-besaran keuangan, sumber, dan akses
negara, jaringan patronase bisnis ini melahirkan sejumlah perusahaan raksasa
yang populer dengan sebutan konglomerat. Mereka tumbuh sebagai lapisan orang
terkaya di Indonesia.
Ketiga,
sumber dan akses negara lainnya yang lebih kecil dialokasikan untuk kelompok
perwira militer dan kepolisian. Mereka dapat memupuk kepentingan bisnis dan dana
di luar anggaran negara. Beberapa operasi politik militer menggunakan anggaran
yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Pemupukan kepentingan ini menyulitkan
penyerahan bisnis militer kepada negara atau pemerintah sebagai bagian dari
reformasi TNI.
Keempat,
pemerintah Orde Baru memetik rezeki nomplok dari lonjakan harga minyak dan gas
bumi pada akhir 1973. Selain mengalirkan dana besar-besaran bagi pembentukan
konglomerat, juga pada produk-produk industri perakitan otomotif dan
elektronik—dengan menerapkan kebijakan proteksi tarif—diborong oleh negara.
Para pegawai lapisan birokrasi pemerintah dibiarkan memungut hasil korupsi atau
penyelewengan anggaran karena mereka juga bagian dari konsumen penting produk
industri itu.
Terbentuknya
sistem korup itu terus bertahan kendati ”uang minyak” kian merosot dan
deregulasi ekonomi terpaksa diberlakukan sejak awal 1980-an untuk penyesuaian
dengan neraca pembayaran. Rezim Soeharto hanya melebarkan proyek investasi
asing melalui industrialisasi orientasi ekspor dengan landasan upah buruh yang
rendah dan jam kerja yang panjang. Selain itu, tersua intensifikasi investasi
di sektor perkebunan dan kehutanan.
Perlu
gerakan
Tahun
1997 krisis finansial—merosot tajamnya nilai tukar rupiah—berdampak secara
politik. Dengan tekanan internasional, rezim Soeharto tak lagi bisa
dipertahankan setelah mengeruk begitu banyak sumber kekayaan publik. Dari
bawah, gerakan mahasiswa memberi tekanan atas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Soeharto lengser menandai reformasi politik.
Pasca-Soeharto
situasi politik berubah, tetapi justru tak mengubah sistem korup yang telah
terbentuk dan bertahan selama rezim Soeharto. Kekuasaan negara tetap sebagai
arena alokasi sumber daya dan akses negara. Banyak partai muncul yang tak
berakar pada kepentingan rakyat atau konstituen, tetapi lebih sebagai
artikulasi kepentingan elite politiknya.
Uniknya,
sistem pemerintahan presidensial yang terbentuk didasarkan atas kepentingan
koalisi. Realitas ini juga diikuti dengan pemerintahan daerah, baik tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota, sebagai bagian dari proyek desentralisasi. Atas dukungan
koalisi, mereka berbagi kursi jabatan di bawahnya sehingga pemerintahan yang
terbentuk dan beroperasi kerap menghadapi inkonsistensi.
Pada
masa Soeharto korupsi dan kolusi tersentralisasi di bawah pemerintahannya. Kini
justru terdesentralisasi: tak hanya korupsi dan kolusi politik-bisnis yang
tersebar ke daerah-daerah, dengan kemunculan predator baru dan calo politik
makin maraklah jaringan ”mafia peradilan” dan berbagai proyek keamanan.
Tanpa
kepemimpinan moral dan politik antikorupsi, berbagai elemen negara dan kelompok
hanya memperebutkan sumber daya dan akses negara dalam memupuk dan
mempertahankan kepentingan mereka. Dengan perebutan dan kerakusan mereka,
sumber daya negara akan mengecil dan dipastikan memperburuk kondisi
sosial-ekonomi.
Keprihatinan
itu tak akan membuat kita lebih baik jika tanpa memberi tekanan kepada mereka
yang telah dirugikan dan dibenamkan oleh sistem korup. Menghadapi persoalan
ini, tak banyak artinya respons berdasarkan kasus per kasus. Harus disusun
respons secara sistematis.
Maka,
gerakan yang dibangun harus berakar pada kepentingan orang banyak dengan
mengartikulasikan tuntutan yang mencerminkannya. Ia harus dapat terkait dengan
elemen masyarakat yang lebih luas: tak hanya terkucil dalam gerakan
antikorupsi, tetapi juga gerakan hak asasi manusia, mahasiswa, buruh, tani,
serta kaum miskin kota. Dengan inilah sistem korup lebih mungkin dibongkar.
HENDARDI
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
No comments:
Post a Comment