Tuesday, June 25, 2013

Sistem Korup Harus Dibongkar

Oleh Hendardi

Pemberantasan korupsi di Indonesia terperangkap di jalan buntu. Sekelompok elite politik yang awalnya gencar berkampanye melawan korupsi kini justru diterpa dugaan korupsi, suap, dan pemalsuan. Demikian juga mereka yang terkesan bersih, peduli, dan profesional, mulai terungkap dugaan kolusi dalam jaringan bisnis mereka.

Berbagai kasus korupsi terus marak, dari pusat hingga daerah, dalam berbagai cabang lembaga negara. Parlemen tak sepi dugaan korupsi, suap, dan pemerasan. Di dalam tubuh pemerintah, korupsi jauh lebih banyak. Kasus terakhir adalah kecurigaan atas rekening para kepala daerah. Belakangan tak hanya polisi, jaksa, hakim, dan KPK yang tertimpa isu korupsi, tetapi juga Mahkamah Konstitusi.

Bagaimana seharusnya kita memahami persoalan korupsi agar lebih mangkus membongkarnya? Apa faktor dominan yang membentuk dan mempertahankan praktik dan kebiasaan korupsi?

Landasan korupsi

Berbagai bentuk penyelewengan untuk memperkaya diri atau memupuk kepentingan kelompok di Indonesia kerap tanpa hukuman atas pelakunya bahkan tanpa persoalan. Tentu ini tak bisa ditinjau hanya berdasarkan jumlah kasus. Pertanyaannya, mengapa korupsi begitu marak? Mengapa penegakan hukum dalam memberantas kejahatan korupsi kian mandul?

Maraknya korupsi, suap, dan pemerasan dalam aparatur negara punya landasan sejarah. Orde Baru Soeharto adalah lingkungan pokok yang telah membentuk sistem, praktik, dan kebiasaan korupsi di Indonesia. Kekuasaan politik dalam menguasai sistem negara ia petik dari hasil penggulingan Soekarno, disusul dengan pembantaian massal dan diskriminasi sosial-politik.

Dominasi rezim Soeharto dibentuk atas dasar empat hal. Pertama, memastikan posisi kekuasaan politiknya tanpa oposisi serta membentengi dan menindas oposisi yang muncul dengan kekuatan politik militer dan intelijen. Maka, tak satu pun kekuatan di luarnya dapat menandingi dominasinya yang nyaris sepenuhnya dalam politik. Hanya gerakan mahasiswa, buruh, dan tani yang sesekali mengekspresikan resistensi mereka.

Kedua, tanpa halangan apa pun dari politik, rezim Soeharto dapat menguasai sumber dan akses negara untuk mendanai dan memodali jaringan patronase bisnis keluarga dan kroni-kroninya. Dengan penyelewengan besar-besaran keuangan, sumber, dan akses negara, jaringan patronase bisnis ini melahirkan sejumlah perusahaan raksasa yang populer dengan sebutan konglomerat. Mereka tumbuh sebagai lapisan orang terkaya di Indonesia.

Ketiga, sumber dan akses negara lainnya yang lebih kecil dialokasikan untuk kelompok perwira militer dan kepolisian. Mereka dapat memupuk kepentingan bisnis dan dana di luar anggaran negara. Beberapa operasi politik militer menggunakan anggaran yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Pemupukan kepentingan ini menyulitkan penyerahan bisnis militer kepada negara atau pemerintah sebagai bagian dari reformasi TNI.

Keempat, pemerintah Orde Baru memetik rezeki nomplok dari lonjakan harga minyak dan gas bumi pada akhir 1973. Selain mengalirkan dana besar-besaran bagi pembentukan konglomerat, juga pada produk-produk industri perakitan otomotif dan elektronik—dengan menerapkan kebijakan proteksi tarif—diborong oleh negara. Para pegawai lapisan birokrasi pemerintah dibiarkan memungut hasil korupsi atau penyelewengan anggaran karena mereka juga bagian dari konsumen penting produk industri itu.

Terbentuknya sistem korup itu terus bertahan kendati ”uang minyak” kian merosot dan deregulasi ekonomi terpaksa diberlakukan sejak awal 1980-an untuk penyesuaian dengan neraca pembayaran. Rezim Soeharto hanya melebarkan proyek investasi asing melalui industrialisasi orientasi ekspor dengan landasan upah buruh yang rendah dan jam kerja yang panjang. Selain itu, tersua intensifikasi investasi di sektor perkebunan dan kehutanan.

Perlu gerakan

Tahun 1997 krisis finansial—merosot tajamnya nilai tukar rupiah—berdampak secara politik. Dengan tekanan internasional, rezim Soeharto tak lagi bisa dipertahankan setelah mengeruk begitu banyak sumber kekayaan publik. Dari bawah, gerakan mahasiswa memberi tekanan atas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Soeharto lengser menandai reformasi politik.

Pasca-Soeharto situasi politik berubah, tetapi justru tak mengubah sistem korup yang telah terbentuk dan bertahan selama rezim Soeharto. Kekuasaan negara tetap sebagai arena alokasi sumber daya dan akses negara. Banyak partai muncul yang tak berakar pada kepentingan rakyat atau konstituen, tetapi lebih sebagai artikulasi kepentingan elite politiknya.

Uniknya, sistem pemerintahan presidensial yang terbentuk didasarkan atas kepentingan koalisi. Realitas ini juga diikuti dengan pemerintahan daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sebagai bagian dari proyek desentralisasi. Atas dukungan koalisi, mereka berbagi kursi jabatan di bawahnya sehingga pemerintahan yang terbentuk dan beroperasi kerap menghadapi inkonsistensi.

Pada masa Soeharto korupsi dan kolusi tersentralisasi di bawah pemerintahannya. Kini justru terdesentralisasi: tak hanya korupsi dan kolusi politik-bisnis yang tersebar ke daerah-daerah, dengan kemunculan predator baru dan calo politik makin maraklah jaringan ”mafia peradilan” dan berbagai proyek keamanan.

Tanpa kepemimpinan moral dan politik antikorupsi, berbagai elemen negara dan kelompok hanya memperebutkan sumber daya dan akses negara dalam memupuk dan mempertahankan kepentingan mereka. Dengan perebutan dan kerakusan mereka, sumber daya negara akan mengecil dan dipastikan memperburuk kondisi sosial-ekonomi.

Keprihatinan itu tak akan membuat kita lebih baik jika tanpa memberi tekanan kepada mereka yang telah dirugikan dan dibenamkan oleh sistem korup. Menghadapi persoalan ini, tak banyak artinya respons berdasarkan kasus per kasus. Harus disusun respons secara sistematis.

Maka, gerakan yang dibangun harus berakar pada kepentingan orang banyak dengan mengartikulasikan tuntutan yang mencerminkannya. Ia harus dapat terkait dengan elemen masyarakat yang lebih luas: tak hanya terkucil dalam gerakan antikorupsi, tetapi juga gerakan hak asasi manusia, mahasiswa, buruh, tani, serta kaum miskin kota. Dengan inilah sistem korup lebih mungkin dibongkar.


HENDARDI Ketua Badan Pengurus SETARA Institute

No comments:

Post a Comment