Tuesday, June 25, 2013

Sudahi Korupsi, Tuntutan yang Terus Berulang

15 TAHUN REFORMASI


Satu per satu elite partai politik dan pejabat publik ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga terlibat korupsi. Telah cukup banyak politisi dan pejabat publik yang korupsi masuk bui. Proyek pemerintah triliunan rupiah menjadi sasaran empuk praktik korupsi mengisap uang rakyat.
Dalam perjalanan 15 tahun Reformasi, penangkapan politisi dan pejabat publik yang terlibat praktik korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi kegetiran yang dipertontonkan. Di sisi lain, rakyat kecil makin sulit mendapatkan penghidupan layak karena impitan kebutuhan dan lapangan kerja yang terbatas.
Itulah ironi perjalanan Reformasi. Maraknya politisi dan pejabat publik yang jadi tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi menunjukkan, nilai-nilai moral pejabat publik rontok sampai ke titik terendah.
Politisi dalam sistem politik saat ini boleh dikatakan haus kekuasaan dan kursi di lembaga legislatif. Namun, kekuasaan yang ingin diraih tidak sepenuhnya didasarkan pada motivasi luhur untuk membangun bangsa dan negara.
Sebaliknya, kekuasaan yang diperoleh cenderung disalahgunakan untuk kepentingan individual dan golongan, yaitu mendapatkan uang dan kekayaan. Mungkin benar istilah kekuasaan cenderung korup (power tends to corrupt).
Beberapa kalangan menilai, sistem politik yang membuat politik uang terjadi dan menjadi subur. Ada anekdot ”malaikat yang jadi politisi pun akan terjerat korupsi”. Mengapa?
Sejumlah kalangan menilai, tidak adanya mekanisme pengawasan terhadap pendanaan parpol, mekanisme kontrol dalam pemilihan kepala daerah atau penentuan calon anggota legislatif yang diduga sarat dengan ”biaya politik” yang besar, sampai pengawasan terhadap perencanaan anggaran di DPR.
Pengamat politik J Kristiadi menilai, perjalanan Reformasi selama 15 tahun ini dapat dikatakan sudah sesat. Medan politik dan sistem politik terjebak dalam pertarungan kekuasaan minus roh yang menggerakkan nurani elite politik berbuat amanah. Ranah politik makin terjebak dalam pusaran pertarungan kepentingan kekuasaan.
Dominasi politik uang yang jadi tolok ukur dominan, lanjut Kristiadi, membuat rakyat bukan lagi warga negara yang mempunyai kedaulatan, hak, dan kewajiban menentukan kebijakan negara. Warga negara cenderung menjadi konsumen yang tunduk dan didikte kepentingan kekuasaan yang berkolaborasi dengan kapital.
Dalam sebuah seminar pekan lalu, mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri mengemukakan, paham global, seperti liberalisme dan kapitalisme, juga telah merasuki partai sehingga melemahkan perannya. Dengan pengaruh paham ini, elite politik cenderung memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan golongan dan partai daripada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Menurut Kiki, masuknya paham liberalisme dan kapitalisme ke dalam parpol tecermin dari produk perundang-undangan yang mengancam sumber daya ekonomi Indonesia. Ia mencontohkan undang-undang mengenai investasi. Kiki juga menyebutkan berbagai kondisi bangsa yang dapat memperlemah Indonesia, seperti fenomena oportunis dan pragmatis elite partai.
Lalu, bagaimana Indonesia dapat keluar dari spiral praktik korupsi, terutama dalam korupsi politik? Mungkin diperlukan ”pertobatan” nasional dari pimpinan dan pengurus parpol. Pimpinan dan pengurus politik, termasuk pejabat publik, perlu berikrar dengan tingkat kesadaran yang tinggi. Ikrarnya, ”cukup sudah” drama politisi dan pejabat publik ditangkap dan masuk penjara karena terlibat korupsi.
Untuk itu, diperlukan pembaruan total dalam sistem politik dan kepartaian. Kalangan menteri, misalnya, tidak berasal dari parpol karena proses tawar-menawar politik. Ketentuan seperti itu dapat ditegaskan dalam produk perundang-undangan. Atau, bagaimana membangun sistem audit dana parpol.
Kristiadi menambahkan, beberapa terobosan untuk menekan akselerasi korupsi politik adalah memperjelas dan memerinci sumbangan kepada parpol, baik uang, pinjaman, maupun fasilitas lain. Prinsip transparansi seharusnya diterapkan secara tegas dalam laporan keuangan parpol. Setiap aktivitas keuangan, misalnya, harus dilakukan melalui rekening bank yang ditunjuk.
Banyak terobosan yang dapat dipikirkan, diatur, dan diimplementasikan. Namun, apa pun yang diatur, praktik korupsi politik memang harus dihentikan. Masih lekat teringat tuntutan Reformasi 15 tahun silam, hentikan praktik korupsi. Tuntutan itu kini justru berulang melihat kenyataan. (Ferry Santoso)


No comments:

Post a Comment