15 TAHUN REFORMASI
Rabu,
22 Mei 2013 http://cetak.kompas.com/read/2013/05/22/02030672/sudahi.korupsi.tuntutan.yang.terus.berulang.
Satu per satu elite partai politik dan
pejabat publik ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga terlibat
korupsi. Telah cukup banyak politisi dan pejabat publik yang korupsi masuk bui.
Proyek pemerintah triliunan rupiah menjadi sasaran empuk praktik korupsi
mengisap uang rakyat.
Dalam perjalanan 15 tahun Reformasi,
penangkapan politisi dan pejabat publik yang terlibat praktik korupsi oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi kegetiran yang dipertontonkan. Di sisi
lain, rakyat kecil makin sulit mendapatkan penghidupan layak karena impitan
kebutuhan dan lapangan kerja yang terbatas.
Itulah ironi perjalanan Reformasi. Maraknya
politisi dan pejabat publik yang jadi tersangka, terdakwa, dan terpidana
korupsi menunjukkan, nilai-nilai moral pejabat publik rontok sampai ke titik
terendah.
Politisi dalam sistem politik saat ini boleh
dikatakan haus kekuasaan dan kursi di lembaga legislatif. Namun, kekuasaan yang
ingin diraih tidak sepenuhnya didasarkan pada motivasi luhur untuk membangun
bangsa dan negara.
Sebaliknya, kekuasaan yang diperoleh
cenderung disalahgunakan untuk kepentingan individual dan golongan, yaitu
mendapatkan uang dan kekayaan. Mungkin benar istilah kekuasaan cenderung korup
(power tends to corrupt).
Beberapa kalangan menilai, sistem politik
yang membuat politik uang terjadi dan menjadi subur. Ada anekdot ”malaikat yang
jadi politisi pun akan terjerat korupsi”. Mengapa?
Sejumlah kalangan menilai, tidak adanya
mekanisme pengawasan terhadap pendanaan parpol, mekanisme kontrol dalam
pemilihan kepala daerah atau penentuan calon anggota legislatif yang diduga
sarat dengan ”biaya politik” yang besar, sampai pengawasan terhadap perencanaan
anggaran di DPR.
Pengamat politik J Kristiadi menilai,
perjalanan Reformasi selama 15 tahun ini dapat dikatakan sudah sesat. Medan
politik dan sistem politik terjebak dalam pertarungan kekuasaan minus roh yang
menggerakkan nurani elite politik berbuat amanah. Ranah politik makin terjebak
dalam pusaran pertarungan kepentingan kekuasaan.
Dominasi politik uang yang jadi tolok ukur
dominan, lanjut Kristiadi, membuat rakyat bukan lagi warga negara yang
mempunyai kedaulatan, hak, dan kewajiban menentukan kebijakan negara. Warga negara
cenderung menjadi konsumen yang tunduk dan didikte kepentingan kekuasaan yang
berkolaborasi dengan kapital.
Dalam sebuah seminar pekan lalu, mantan Wakil
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri
mengemukakan, paham global, seperti liberalisme dan kapitalisme, juga telah
merasuki partai sehingga melemahkan perannya. Dengan pengaruh paham ini, elite
politik cenderung memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan golongan dan
partai daripada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Menurut Kiki, masuknya paham liberalisme
dan kapitalisme ke dalam parpol tecermin dari produk perundang-undangan yang
mengancam sumber daya ekonomi Indonesia. Ia mencontohkan
undang-undang mengenai investasi. Kiki juga menyebutkan berbagai kondisi
bangsa yang dapat memperlemah Indonesia, seperti fenomena oportunis dan
pragmatis elite partai.
Lalu, bagaimana Indonesia dapat keluar dari
spiral praktik korupsi, terutama dalam korupsi politik? Mungkin diperlukan
”pertobatan” nasional dari pimpinan dan pengurus parpol. Pimpinan dan pengurus
politik, termasuk pejabat publik, perlu berikrar dengan tingkat kesadaran yang
tinggi. Ikrarnya, ”cukup sudah” drama politisi dan pejabat publik ditangkap dan
masuk penjara karena terlibat korupsi.
Untuk itu, diperlukan pembaruan total dalam
sistem politik dan kepartaian. Kalangan menteri, misalnya, tidak berasal dari
parpol karena proses tawar-menawar politik. Ketentuan seperti itu dapat
ditegaskan dalam produk perundang-undangan. Atau, bagaimana membangun sistem
audit dana parpol.
Kristiadi menambahkan, beberapa terobosan
untuk menekan akselerasi korupsi politik adalah memperjelas dan memerinci
sumbangan kepada parpol, baik uang, pinjaman, maupun fasilitas lain. Prinsip
transparansi seharusnya diterapkan secara tegas dalam laporan keuangan parpol.
Setiap aktivitas keuangan, misalnya, harus dilakukan melalui rekening bank yang
ditunjuk.
Banyak terobosan yang dapat dipikirkan,
diatur, dan diimplementasikan. Namun, apa pun yang diatur, praktik korupsi
politik memang harus dihentikan. Masih lekat teringat tuntutan Reformasi 15
tahun silam, hentikan praktik korupsi. Tuntutan itu kini justru berulang
melihat kenyataan. (Ferry Santoso)
No comments:
Post a Comment