Tuesday, August 6, 2013

Cendana yang Mengundang Perubahan

JEJAK PERADABAN



Cendana dan kisah perburuan komoditas itu oleh bangsa-bangsa di dunia telah menorehkan Nusa Tenggara Timur di dalam sejarah dunia. Sayangnya, kini cendana tidak sepopuler dari abad ke-14 sampai abad ke-16. Keharuman cendana lenyap bersamaan dengan kepunahannya di daratan Pulau Solor, Flores Timur, abad ke-15.

Pulau Solor hanya sebuah pulau kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan panjang sekitar 60 km dan lebar terjauh sekitar 20 km, membentang dari timur ke barat. Nama Pulau Solor begitu tenar pada abad ke-15, sampai semua literatur tua berbahasa Portugis menyebut pulau-pulau sekitar Pulau Solor—seperti Adonara, Flores, Lembata, dan Alor—dengan julukan Kepulauan Solor.
Peneliti persekolahan di Flores, Eduard Jebarur Pr, menyebutkan, Portugis tidak hanya berdagang cendana (Santalum album) di Pulau Solor dan sekitarnya, tetapi juga menyebarkan agama Katolik.

Misi dagang cendana di Solor pada 1500-an berdampak positif. Lewat cendana, masyarakat belajar berdagang, memiliki alat tukar resmi berupa mata uang dan barang. Sejumlah teknologi modern diperkenalkan waktu itu, seperti meriam dan senjata api.
Di bidang religius diajarkan agama Katolik Roma. Sejumlah tradisi lokal diangkat melalui inkulturasi dan inisiasi. Prosesi penyembahan terhadap Nubanara, kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi yang diungkapkan lewat batu kecil di rumah-rumah adat milik suku-suku di Larantuka, diinkulturasikan.
Penyembahan ini kemudian berkembang menjadi prosesi tahunan Semana Santa pada setiap Jumat Agung di Larantuka. Kegiatan ini menjadi salah satu tujuan kunjungan wisatawan di Flores, NTT.

Namun, kehadiran pedagang Portugis waktu itu juga membawa masalah, yakni penebangan dan pembalakan hutan cendana di Solor secara liar tanpa budidaya. Tidak hanya batang pohon cendana, akar cendana pun diambil. Wangi cendana waktu itu memikat pedagang Portugis untuk terus melakukan penebangan, apalagi cendana di wilayah itu sedang diincar VOC.
Karena cendana mulai berkurang, sejumlah pedagang meninggalkan kawasan tersebut. Namun, biarawan Katolik tetap bertahan menyebarkan agama Katolik. Benih-benih kekatolikan saat itu sedang tumbuh subur. Sekitar 300 penduduk asli di Pulau Solor dibaptis menjadi Katolik.

Pada 1561, tiga misionaris Dominikan, yakni Pastor Antonio da Cruz, Pastor Simao das Chagas, dan Bruder Fransisco Alexio, tiba di Pulau Solor dan menetap di Lohayong, Solor Timur.
Untuk mengamankan diri dari serangan penduduk lokal, mereka mendirikan benteng sederhana dari kayu. Pada 1566, benteng itu diganti dengan beton dan menampung sekitar 2.000 penghuni. Mereka adalah pastor, serdadu yang menikah dengan penduduk lokal, para biarawan, dan penduduk lokal yang sudah Katolik.
Sejumlah bangunan didirikan di dalam benteng itu, yakni rumah warga, biara, dan kapel. Pada 1596 didirikan pula sebuah seminari, sekolah ini setingkat sekolah dasar untuk calon pastor dengan 40 peserta.
Namun, orang Portugis di benteng ini tidak selalu tenang. Pada 1613, Benteng Lohayong diserang VOC di bawah pimpinan Apolonius Scotte. Penghuni benteng menyerah, 20 April 1613, dan sekitar 1.000 orang lari meninggalkan Lohayong dan berdiam di Larantuka, Pulau Flores, sekitar 50 mil (sekitar 80 km) dari Lohayong.

Larantuka mengambil alih kegiatan keagamaan, perdagangan, dan misi Katolik. Sekolah seminari di Solor pun dipindahkan ke Larantuka.
Pastor Sanders OP membantu pusat misi Katolik di Posto, Larantuka, dengan sasaran utama pembentukan dan pembinaan kaum muda waktu itu. Ia membuka sekolah sederhana dengan bahasa pengantar Melayu pasaran dengan pengajar antara lain beberapa guru agama dari Maluku.

Sekolah untuk pribumi

Pemerintah Belanda pada 1854 menginstruksikan agar didirikan sekolah bagi masyarakat pribumi sebagai peluang bagi Portugis mendirikan sekolah resmi. Pastor Fransen OP melihat peluang ini untuk mendirikan sebuah sekolah dan gereja. Namun, gedung gereja lebih dulu dibangun berukuran 10 meter x 30 meter dengan bahan dari kayu.
Pada 3 Desember 1862 sebuah sekolah didirikan pertama kali dengan jumlah murid 25 orang, terdiri dari 24 pria dan satu perempuan, putri dari raja Larantuka.

Sekolah terus berkembang. Pada 1863, Pastor Fransen mendapat seorang rekan kerja, pastor dari SJ, yakni Gregorius Metz SJ. Pastor ini meletakkan dasar karya SJ di NTT. Dengan bekal pengalaman yang memadai, ia mengembangkan sekolah di Larantuka.
Kedua misionaris ini bekerja keras di bidang pendidikan dan agama. Mereka mendirikan sebuah asrama, menampung 30 siswa, dari 50 siswa yang ada. Di asrama itu anak-anak belajar teratur dan mendapatkan sejumlah pengetahuan dan pengalaman baru.
Pada 1870, Pastor Johannes Meijer SJ yang memiliki pengetahuan cukup di bidang pertanian diutus ke Larantuka. Ia bertugas secara khusus membantu meningkatkan taraf hidup penduduk pribumi. Pada 1872, ia membangun pertanian (sawah) di Konga dan Oka, sekitar 20 km arah barat Larantuka. Kawasan pertanian itu masih bertahan sampai hari ini.

Pada 1869, penyakit cacar melanda Larantuka. Dua siswa dikirim belajar menjadi mantri cacar di Kupang. Seusai pendidikan, kedua tenaga mantri cacar ini memberikan vaksin kepada semua penduduk di Larantuka hingga akhirnya Larantuka bebas dari wabah tersebut.
Wabah cacar ini mendorong para misionaris awal mengusahakan tenaga dokter tetap. Pada 1869, Michael Lobata, warga Larantuka, dikirim ke Jawa untuk belajar sebagai dokter selama dua tahun. Lobato kembali ke Larantuka dan bekerja sebagai dokter.
Pusat misi Katolik di Larantuka boleh disebut sudah memadai. Agama Katolik, sekolah, pertanian, dan kesehatan sudah layak dikembangkan dan disebarluaskan di daratan Flores, Timor, dan Sumba.

Pemerhati masalah kebudayaan NTT, Messak Toy, mengatakan, puluhan tahun kemudian pengajar agama dari Larantuka dan Sikka mengajarkan agama dan pendidikan di seluruh daratan Flores dan Timor. Benteng Portugis, Concordia di Kupang, sebagai bukti kehadiran Portugis di seluruh daratan Timor.
Sebelum pemerintah membangun pendidikan, kesehatan, dan pertanian di NTT, misi Katolik dan zending sudah meletakkan dasar pendidikan, kesehatan, dan pertanian di NTT. Namun, setelah konsentrasi misi dan zending dibatasi, di wilayah ini bidang itu justru terabaikan oleh pemerintah. (KORNELIS KEWA AMA)



No comments:

Post a Comment