JEJAK PERADABAN
Kompas, Rabu, 7 Agustus 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001356148
Cendana dan kisah perburuan
komoditas itu oleh bangsa-bangsa di dunia telah menorehkan Nusa Tenggara Timur
di dalam sejarah dunia. Sayangnya, kini cendana tidak sepopuler dari abad ke-14
sampai abad ke-16. Keharuman cendana lenyap bersamaan dengan kepunahannya di
daratan Pulau Solor, Flores Timur, abad ke-15.
Pulau Solor hanya sebuah
pulau kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan panjang sekitar 60 km dan lebar
terjauh sekitar 20 km, membentang dari timur ke barat. Nama Pulau Solor begitu
tenar pada abad ke-15, sampai semua literatur tua berbahasa Portugis menyebut
pulau-pulau sekitar Pulau Solor—seperti Adonara, Flores, Lembata, dan
Alor—dengan julukan Kepulauan Solor.
Peneliti persekolahan di
Flores, Eduard Jebarur Pr, menyebutkan, Portugis tidak hanya berdagang cendana
(Santalum album) di Pulau Solor dan sekitarnya, tetapi juga menyebarkan agama
Katolik.
Misi dagang cendana di Solor
pada 1500-an berdampak positif. Lewat cendana, masyarakat belajar berdagang,
memiliki alat tukar resmi berupa mata uang dan barang. Sejumlah teknologi
modern diperkenalkan waktu itu, seperti meriam dan senjata api.
Di bidang religius diajarkan
agama Katolik Roma. Sejumlah tradisi lokal diangkat melalui inkulturasi dan
inisiasi. Prosesi penyembahan terhadap Nubanara, kepercayaan terhadap Wujud
Tertinggi yang diungkapkan lewat batu kecil di rumah-rumah adat milik suku-suku
di Larantuka, diinkulturasikan.
Penyembahan ini kemudian
berkembang menjadi prosesi tahunan Semana Santa pada setiap Jumat Agung di
Larantuka. Kegiatan ini menjadi salah satu tujuan kunjungan wisatawan di
Flores, NTT.
Namun, kehadiran pedagang
Portugis waktu itu juga membawa masalah, yakni penebangan dan pembalakan hutan
cendana di Solor secara liar tanpa budidaya. Tidak hanya batang pohon cendana,
akar cendana pun diambil. Wangi cendana waktu itu memikat pedagang Portugis
untuk terus melakukan penebangan, apalagi cendana di wilayah itu sedang diincar
VOC.
Karena cendana mulai
berkurang, sejumlah pedagang meninggalkan kawasan tersebut. Namun, biarawan
Katolik tetap bertahan menyebarkan agama Katolik. Benih-benih kekatolikan saat
itu sedang tumbuh subur. Sekitar 300 penduduk asli di Pulau Solor dibaptis
menjadi Katolik.
Pada 1561, tiga misionaris
Dominikan, yakni Pastor Antonio da Cruz, Pastor Simao das Chagas, dan Bruder
Fransisco Alexio, tiba di Pulau Solor dan menetap di Lohayong, Solor Timur.
Untuk mengamankan diri dari
serangan penduduk lokal, mereka mendirikan benteng sederhana dari kayu. Pada
1566, benteng itu diganti dengan beton dan menampung sekitar 2.000 penghuni.
Mereka adalah pastor, serdadu yang menikah dengan penduduk lokal, para
biarawan, dan penduduk lokal yang sudah Katolik.
Sejumlah bangunan didirikan
di dalam benteng itu, yakni rumah warga, biara, dan kapel. Pada 1596 didirikan
pula sebuah seminari, sekolah ini setingkat sekolah dasar untuk calon pastor
dengan 40 peserta.
Namun, orang Portugis di benteng
ini tidak selalu tenang. Pada 1613, Benteng Lohayong diserang VOC di bawah
pimpinan Apolonius Scotte. Penghuni benteng menyerah, 20 April 1613, dan
sekitar 1.000 orang lari meninggalkan Lohayong dan berdiam di Larantuka, Pulau
Flores, sekitar 50 mil (sekitar 80 km) dari Lohayong.
Larantuka mengambil alih
kegiatan keagamaan, perdagangan, dan misi Katolik. Sekolah seminari di Solor
pun dipindahkan ke Larantuka.
Pastor Sanders OP membantu
pusat misi Katolik di Posto, Larantuka, dengan sasaran utama pembentukan dan
pembinaan kaum muda waktu itu. Ia membuka sekolah sederhana dengan bahasa
pengantar Melayu pasaran dengan pengajar antara lain beberapa guru agama dari
Maluku.
Sekolah untuk pribumi
Pemerintah Belanda pada 1854
menginstruksikan agar didirikan sekolah bagi masyarakat pribumi sebagai peluang
bagi Portugis mendirikan sekolah resmi. Pastor Fransen OP melihat peluang ini
untuk mendirikan sebuah sekolah dan gereja. Namun, gedung gereja lebih dulu
dibangun berukuran 10 meter x 30 meter dengan bahan dari kayu.
Pada 3 Desember 1862 sebuah
sekolah didirikan pertama kali dengan jumlah murid 25 orang, terdiri dari 24
pria dan satu perempuan, putri dari raja Larantuka.
Sekolah terus berkembang.
Pada 1863, Pastor Fransen mendapat seorang rekan kerja, pastor dari SJ, yakni
Gregorius Metz SJ. Pastor ini meletakkan dasar karya SJ di NTT. Dengan bekal
pengalaman yang memadai, ia mengembangkan sekolah di Larantuka.
Kedua misionaris ini bekerja
keras di bidang pendidikan dan agama. Mereka mendirikan sebuah asrama, menampung
30 siswa, dari 50 siswa yang ada. Di asrama itu anak-anak belajar teratur dan
mendapatkan sejumlah pengetahuan dan pengalaman baru.
Pada 1870, Pastor Johannes
Meijer SJ yang memiliki pengetahuan cukup di bidang pertanian diutus ke
Larantuka. Ia bertugas secara khusus membantu meningkatkan taraf hidup penduduk
pribumi. Pada 1872, ia membangun pertanian (sawah) di Konga dan Oka, sekitar 20
km arah barat Larantuka. Kawasan pertanian itu masih bertahan sampai hari ini.
Pada 1869, penyakit cacar
melanda Larantuka. Dua siswa dikirim belajar menjadi mantri cacar di Kupang.
Seusai pendidikan, kedua tenaga mantri cacar ini memberikan vaksin kepada semua
penduduk di Larantuka hingga akhirnya Larantuka bebas dari wabah tersebut.
Wabah cacar ini mendorong
para misionaris awal mengusahakan tenaga dokter tetap. Pada 1869, Michael
Lobata, warga Larantuka, dikirim ke Jawa untuk belajar sebagai dokter selama
dua tahun. Lobato kembali ke Larantuka dan bekerja sebagai dokter.
Pusat misi Katolik di
Larantuka boleh disebut sudah memadai. Agama Katolik, sekolah, pertanian, dan
kesehatan sudah layak dikembangkan dan disebarluaskan di daratan Flores, Timor,
dan Sumba.
Pemerhati masalah kebudayaan
NTT, Messak Toy, mengatakan, puluhan tahun kemudian pengajar agama dari
Larantuka dan Sikka mengajarkan agama dan pendidikan di seluruh daratan Flores
dan Timor. Benteng Portugis, Concordia di Kupang, sebagai bukti kehadiran
Portugis di seluruh daratan Timor.
Sebelum pemerintah membangun
pendidikan, kesehatan, dan pertanian di NTT, misi Katolik dan zending sudah
meletakkan dasar pendidikan, kesehatan, dan pertanian di NTT. Namun, setelah
konsentrasi misi dan zending dibatasi, di wilayah ini bidang itu justru
terabaikan oleh pemerintah. (KORNELIS KEWA AMA)
No comments:
Post a Comment