Oleh Febri
Diansyah
Jumat, 10 Desember 2010 | 04:18 WIB http://cetak.kompas.com/read/2010/12/10/04182459/zona.aman.mafioso
Masih ingat janji Kapolri untuk menuntaskan kasus Gayus H
Tambunan dalam 10 hari? Atau pertanyaannya mungkin bisa dibalik, apakah Kapolri
masih ingat?
Janji disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan Djoko Suyanto, 16 November 2010 atau 24 hari lalu. Sebelumnya, Kapolri
dipanggil Presiden SBY, dan menjanjikan dalam 10 hari sudah melimpahkan kasus
Gayus ke pengadilan. Kita tahu, hingga hari ini penanganan kasus kian gelap.
Ini dipicu kepergian Gayus ke Bali dengan bantuan sejumlah pihak di Rutan Mako
Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok. Ada suap di sana, bahkan kepergian ini bukan
kali pertama. Menurut pihak Gayus, setidaknya terjadi 68 kali perjalanan keluar
tahanan. Gayus mengeluarkan dana ratusan juta rupiah untuk memudahkan proses
keluar-masuk rutan. Apa yang bisa dibaca dari fenomena ini? Yang pasti, Kapolri
sudah gagal memenuhi janji.
Tiga rekayasa
Fenomena kaburnya Gayus tak bisa dilihat secara sempit
sebagai masalah pengelolaan rutan semata. Ini akumulasi kebobrokan penegakan
hukum di Indonesia. Kenapa? Karena dari awal, bahkan untuk kasus Gayus ini
saja, dinilai terjadi tiga kali upaya ”pembelokan” atau semacam rekayasa proses
hukum. Pertama, rekayasa penghilangan pasal UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pada tahap ini, sejumlah aparat penegak hukum di kepolisian, Kejaksaan,
dan pengadilan diduga terlibat. Produk rekayasa ini: vonis bebas dan selamatnya
harta Gayus dari penyitaan. Tentu saja tak gratis. Ia telah mengeluarkan
miliaran rupiah. Ada aliran dana kepada penyidik dan perwira Polri, jaksa, dan
hakim PN Tangerang.
Dugaan rekayasa kedua yang paling penting dicermati
adalah pengerdilan kasus. Secara menakjubkan Gayus ternyata hanya dijerat kasus
pajak PT Surya Alam Tunggal yang bernilai hanya Rp 570,95 juta. Bandingkan
dengan asal muasal skandal ini. PPATK saat itu mencium kejanggalan dalam
transaksi seorang petugas pajak golongan rendah senilai Rp 28 miliar. Dan
kemudian berkembang melalui pengakuan Gayus bahwa dia juga punya safe deposit
Rp 75 miliar.
Indonesia Corruption Watch mencatat setidaknya 10
kejanggalan dalam penanganan kasus mafia pajak ini. Kepolisian dinilai gagal
sejak awal, dan bahkan diduga ada tangan tak kentara yang mendesain kasus ini
agar seolah-olah terkesan ditangani secara serius dan cepat, padahal tidak.
Pola pengerdilan justru potensial melindungi penjahat sesungguhnya. Perwira
Polri dan jaksa belum tersentuh, birokrat korup di Ditjen Pajak belum diproses,
pihak perusahaan masih melenggang bebas meski telah menyuap petugas pajak, dan
44 perusahaan yang ditangani Gayus belum disentuh sama sekali. Kami sering
menyebutnya ”menangkap teri, melepas paus” karena mastermind atau mafia yang
lebih besar justru berada di zona aman.
Saat ini, ketika kamuflase penanganan kasus ini
terungkap, Gayus kembali dijerat kasus lain. Polri menjanjikan akan mengusut
skandal Rp 28 miliar. Benarkah? Hati-hati dengan penyiasatan baru. Gayus justru
akan dijerat dengan pasal gratifikasi. Lagi-lagi langkah ini bisa membuat Polri
terjebak pada rekayasa jilid ketiga. Karena jika Gayus hanya dijerat pasal
gratifikasi atau Pasal 12 B ayat (2) UU No 31/1999 jo UU No 20/2001, imbasnya
hanya penerima uang yang dijerat. Bagaimana dengan pemberi uang atau penyuap?
Bisa jadi mereka selamat lagi.
Idealnya tentu Polri tak menjadikan Gayus ”bulan-bulanan”
semata. Ia, meski salah satu aktor penting dalam skandal besar mafia pajak dan
mafia hukum, sepatutnya dimanfaatkan sebagai pintu untuk menjerat mafia yang
lebih besar. Potensi ini sangat memungkinkan, mengingat Gayus sendiri sudah mau
bekerja sama dengan institusi penegak hukum dan bahkan Satgas Pemberantasan
Mafia yang dibentuk Presiden SBY.
Khusus aliran dana Rp 28 miliar, akal sehat dan
konstruksi hukum rasional tentu akan berpikir bahwa ada dua pihak yang harus
dijerat. Gayus sebagai penerima dana dan sejumlah pihak yang mengalirkan uang
kepada Gayus untuk mengurus kasus pajaknya. Dari sejumlah pengakuan terungkap,
ada lima wajib pajak jadi pemberi dana. Roberto dan PT Megah Jaya Rp 925 juta
dan Rp 370 juta. Sisanya, dalam jumlah signifikan, dari tiga perusahaan grup
Bakrie senilai 3 juta dollar AS atau Rp 27 miliar (asumsi 1 dollar AS > Rp
9.000).
Keterangan Gayus harusnya jadi titik awal Polri memproses
pemberi dana. Nama yang disebutkan melakukan transaksi bisa diperiksa,
dikonfrontir, transaksi perbankan bisa diminta, dan diusut lebih jauh apakah
ada perintah perusahaan untuk mengalirkan uang dalam jumlah fantastis ini.
Sayangnya kita belum mendengar keseriusan Polri memanggil orang-orang tersebut.
Yang justru mengemuka saat ini, Polri tak bisa mengusut pemberi dana. Tidak mampu
atau tidak mau?
Rekayasa demi rekayasa dalam kasus Gayus tentu saja
menyesakkan rasa keadilan kita. Institusi penegak hukum yang seharusnya berdiri
sebagai pengayom masyarakat dari para mafia justru terlihat sebaliknya. Kita
juga dihadapkan pada sikap ”mendua” KPK. Tiga lapis rekayasa, korupsi dalam
penanganan kasus korupsi, dan proses hukum yang justru sangat potensial
menciptakan ”zona aman” untuk para mafia tampaknya belum bisa membangkitkan
rasa tanggung jawab KPK. Bersikaplah selayaknya penegak hukum. Karena kita
tidak ingin KPK pun dianggap sebagai pecundang ketika menghadapi mafia hukum
seperti kasus Gayus ini.
Febri Diansyah Peneliti ICW, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring
Peradilan
No comments:
Post a Comment