Wednesday, July 10, 2013

Partai Harus Berkoalisi. Rapat Badan Legislasi Gagal Lagi Putuskan soal UU Pilpres



JAKARTA, KOMPAS —  Keinginan partai politik besar mempertahankan syarat pencalonan presiden-wakil presiden untuk Pemilu 2014 sama dengan Pemilu 2009 dipertanyakan. Ini mengingat, pada akhirnya, sebagian parpol itu harus berkoalisi dalam mengusung calon presiden-wakil presiden pada Pemilu 2014.


Selasa (9/7) kemarin, untuk kesekian kalinya rapat pleno Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat kembali gagal memutuskan perlu-tidaknya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden direvisi. Padahal, tahapan pilpres harus sudah mulai dilaksanakan pada Oktober mendatang.
Masalah krusial yang menjadi perdebatan masih soal ketentuan yang mengatur syarat pencalonan presiden-wakil presiden (presidential threshold). Dalam rapat pleno tersebut, anggota Baleg hanya bersepakat menunda pembahasan hingga masa sidang yang akan datang. Penundaan disepakati lantaran fraksi-fraksi tetap bersikukuh dengan pendapat dan keinginan masing-masing.
Jika melihat pandangan fraksi-fraksi, mayoritas mengusulkan Pilpres 2014 tetap menggunakan UU No 42/2008. Jadi, syarat pencalonan presiden tidak berubah.
Apabila mengacu pada hasil Pemilu 2009, hanya Partai Demokrat yang dapat mengusung capres-cawapres sendiri. Hal ini karena hanya Demokrat yang memperoleh lebih dari 20 persen kursi DPR. Adapun delapan parpol lain di parlemen harus berkoalisi jika ingin mengusung capres-cawapres.
Untuk Pemilu 2014, parpol pun harus siap berkoalisi untuk mengusung capres-cawapres. ”Parpol memang harus siap berkoalisi untuk mengusung calon presiden,” kata anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, seusai rapat pleno Baleg, Selasa.
Pada Pilpres 2009, PDI-P dan Partai Gerindra berkoalisi mengusung Megawati-Prabowo Subianto, Partai Golkar dan Partai Hanura berkoalisi mengusung Jusul Kalla-Wiranto.
Partai Demokrat, satu-satunya partai yang bisa mengusung calon sendiri, pun memutuskan berkoalisi. Bersama Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat mengusung Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Partai siap

Sejumlah parpol di parlemen menyatakan siap jika harus berkoalisi. Bahkan, Partai Hanura yang menginginkan persyaratan pencalonan presiden diturunkan pun menyatakan siap berkoalisi.
”Kami memang telah mendeklarasikan Wiranto-Hary Tanoesoedibjo dan kami berupaya untuk bisa masuk tiga besar dalam pemilu legislatif. Namun, kami tetap terbuka untuk dapat berkoalisi dengan partai lain dalam pilpres nanti,” ujar Ketua DPP Partai Hanura Saleh Husin.
Ketua Umum PPP Suryadharma Ali secara terpisah mengatakan, masyarakat semestinya diberikan banyak calon presiden dan wakil presiden agar lebih leluasa memilih pada Pilpres 2014. Untuk itu, DPR perlu merevisi ambang batas pencalonan presiden dari 25 persen menjadi sama dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), yaitu 3,5 persen dari total suara nasional.
”Kami menganut paham, lebih baik masyarakat diberi lebih banyak pilihan calon presiden yang beragam. Untuk itu, sebaiknya batasan presidential threshold diturunkan sehingga sama dengan parliamentary threshold, yaitu 3,5 persen dari total suara nasional,” katanya.
Suryadharma mengungkapkan, pencalonan presiden belakangan ini didominasi oleh parpol-parpol besar. Calon yang dimunculkan cenderung masih itu-itu saja. Padahal, masyarakat perlu diberikan calon lebih beragam agar memperoleh lebih banyak pilihan.
Untuk itu, katanya, PPP mengusulkan agar presidential threshold sama dengan parliamentary threshold, yaitu 3,5 persen dari total suara hasil pemilu legislatif. Dengan ambang batas itu, semua parpol peserta Pemilu 2014 akan bisa mengajukan capres. Presidential threshold yang lebih rendah juga tidak akan menutup kemungkinan koalisi.
Suryadharma mengatakan, bisa jadi parpol tertentu cocok dengan calon yang diusung parpol lain. Dalam banyak pilkada, parpol dengan kursi besar tak harus selalu memajukan kadernya untuk menjadi calon kepala daerah. Jika kadernya dianggap tak mampu dan ada calon lain dianggap mampu, parpol itu mendukung calon lain tersebut.
”PPP akan tetap berjuang agar presidential threshold sama dengan parliamentary threshold, meski pada akhirnya keputusan ditentukan mayoritas suara di DPR,” katanya.

Menyeluruh

Secara terpisah, Direktur Riset Charta Politika Yunarto Wijaya mengungkapkan, perdebatan soal presidential threshold sekarang ini merupakan bagian kecil dari keharusan pembenahan menyeluruh atas sistem presidensial.
Saat ini, katanya, parpol-parpol besar cenderung mempertahankan ambang batas dengan alasan untuk menjaga stabilitas pemerintahan dengan dukungan parlemen (DPR). Sementara parpol-parpol kecil dan menengah mengusulkan pengurangan batas pencalonan agar membuka peluang munculnya banyak calon.
Kedua aspirasi itu sebenarnya bermasalah jika tidak diikuti pembenahan menyeluruh. Ambang batas sekarang masih belum menjamin stabilitas pemerintahan, sebagaimana terbukti pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang masih rentan dirongrong meski didukung koalisi 74 persen kursi DPR. Hal itu terjadi karena sistem presidensial kita masih disokong multipartai.
Penurunan ambang batas pencalonan presiden juga bukan jalan keluar ideal jika tak didahului proses demokratisasi dan perbaikan perekrutan di parpol. ”Penurunan ambang batas pencalonan presiden tanpa demokratisasi parpol akan memperbanyak jumlah pemimpin parpol yang menjadi capres tanpa perbaikan kualitas,” katanya.
Idealnya, lanjutnya, kita merevisi seluruh paket UU politik secara sistemis. Pemilu presiden semestinya tidak bergantung pada pemilu legislatif. Pencalonan presiden dibuat lebih terbuka, termasuk kemungkinan pencalonan secara independen, dan parpol menjadi semacam event organizer saja (panitia). Namun, posisi presiden harus diperkuat sehingga tak mudah diganggu oleh parlemen yang fokus pada legislasi.
”Namun, dalam sistem presidensial sekarang, kita tak bisa menurunkan ambang batas pencalonan presiden karena posisi presiden akan semakin rawan diusik parpol. Pilihan realistisnya, kita pertahankan ambang batas sekarang agar posisi presiden lebih kuat dan bisa konsentrasi bekerja,” katanya. (NTA/IAM)



No comments:

Post a Comment