Oleh: MUHIDIN M DAHLAN
KAMIS, 11 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001052287
Rangga Lawe, pendekar pesisir terbaik pelabuhan Tuban, akhirnya mati di
air tawar pedalaman Jawa (Sungai Tambakberas). Kematian yang dramatis pada 1295
itu diinformasikan Kitab Pararaton dan didedah secara detail dalam Kidung
Rangga Lawe. Kematian tragis itu kemudian didramatiskan S Tidjab dan Sanggar
Prativi secara audio di serial sandiwara Tutur Tinular (1989),
khususnya Episode 10 dan 11.
Rangga Lawe—atau Piagam Kudadu menyebutnya Arya Adikara—tumbang di air
tawar pedalaman Jawa. Kita membaca tumbangnya Rangga Lawe sebagai nubuat
hilangnya pamor Maritim di Jawa.
Tuban pada masanya adalah pelabuhan internasional terbesar. Ketika masa
suram Majapahit datang, lenyap pula kebesarannya. Dalam novel klasik Pramoedya
Ananta Toer, Arus Balik, kekuatan maritim Tuban tersaruk tak berdaya ke bawah
pasir.
Armada maritim Tuban hancur segalanya tatkala rezim pasca-Majapahit,
yakni Demak, lebih berorientasi pada air tawar di pedalaman. Demak lebih kagum
pada angkatan darat (kuda) ketimbang angkatan laut (kapal). Pada akhirnya
parafrase: ”Jawa ini lautnya luas daratannya kecil” mirip dengan dongengan yang
nyeri.
Ironi maritim
Art Jog 13 dan Borobudur Writers & Cultural Fest secara bersamaan
mengangkat ”Maritime Culture” serta ”Bahari dan Rempah Nusantara” sebagai tema
penjelajahan dan perbincangan kreatif tahun 2013. Dua penyelenggaraan event seni
dan kreativitas di Yogyakarta dan Jawa Tengah ini seperti merayakan ironi
panjang yang nyeri tentang maritim.
Yogyakarta dan juga Borobudur memang dekat dengan laut. Namun, lautnya
lebih banyak terbentuk sebagai dongeng negatif lewat tuturan Nyi Roro Kidul.
Laut selatan adalah laut mati, laut yang tak produktif. Di kota dengan tradisi
maritim yang ”negatif” inilah tinggal seniman, perajin, sekolah seni, dan
penulis budaya. Mereka diminta untuk memeriksa dan merayakan (matinya) kultur
maritim itu.
Peristiwa seni itu hanya serangkaian kronik dari suara-suara yang
(ingin) mengembalikan (peradaban) maritim yang riuh di media massa dalam 10
tahun terakhir ini. Dan tentu saja disertai lini masa peristiwa buruk di paras
maritim.
Yang agak mengagetkan adalah ketika Raja Mataram Sultan Hamengku Buwono
X menyerukan untuk membangun budaya maritim ini dalam sebuah kampanye politik
tahun 2009. Kita tahu, tak ada jejak budaya maritim yang kuat dalam Kesultanan
Mataram.
Ketika menyerang pelabuhan laut VOC di Batavia pada 1629, Sultan Agung
menggunakan armada darat. Dan kalah. Yang tersisa dari kekalahan itu adalah
tanah-tanah pertanian (agraris) di desa-desa sepanjang Jawa Barat yang dilalui
armada darat, terutama Karawang dan Cirebon.
Menonton maritim
”Rangga Lawe mati” adalah kutukan. Berabad-abad tak bertolak ke laut,
kita lupa bagaimana bau laut, bahasa ikan, rempah, cara berperang di atas buih
ombak, dan cara mengeksplorasi bahari menjadi kekuatan ekonomi baru.
Bahkan, lupanya kita bersifat mendasar, seperti kata WS Rendra (2008)
di Yogyakarta, ”Negara kita adalah negara satu-satunya di dunia yang memiliki
laut. Negara-negara lain hanya mempunyai pantai. Tetapi, negara kita mempunyai
Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Aru, Laut
Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Laut Timor, dan Laut Sawu.
Namun, toh, ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan
negara daratan, bukan Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia.”
negara daratan, bukan Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia.”
Pemerintah sudah menghafal setiap jengkal luas laut dan pantai Nuswa
Antara bernama Indonesia ini. Namun, data itu ditafsir sebagai pariwisata. Tak
jauh dari itu. Maritim dilihat bukan sebagai budaya dan sikap, apalagi politik,
melainkan maritim sebagai tontonan.
Karena tontonan ini pula, misalnya, pemerintah mendaratkan orang-orang
Bajo di Gorontalo dan Manado. Mereka diminta menetap, bertani, dan ikut program
Keluarga Berencana. Padahal, kata etnografer asal Perancis, Francois-Robert
Zaco (2008), orang-orang Bajo telah hidup di atas buih laut berabad-abad
lamanya. Perahu adalah rumahnya. Ikan adalah teman hidupnya.
Dan realitas baru yang menimpa orang Bajo pada abad ke-21 adalah
bergelombang orang-orang film atas persetujuan pemerintah menjadikan
orang-orang laut ini jadi tontonan.
Di Yogyakarta tahun 2013, mari ramai-ramai menonton kultur maritim
sampai tandas.
MUHIDIN M DAHLAN - Koordinator Penulisan Almanak
Seni Rupa Jogja; Bergiat di warungarsip.co Yayasan Indonesia Buku
No comments:
Post a Comment