Oleh: Donny Gahral Adian
KAMIS, 18 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001130866
Seperti diduga sebelumnya, kenaikan harga BBM berakibat pada kenaikan
harga bahan pokok. Pemerintah pun kalang kabut menyelesaikan persoalan ini.
Keran impor langsung dibuka sekencang-kencangnya. Kebijakan yang, sayangnya,
justru menunjukkan absennya koordinasi antarkementerian terkait.
Akibatnya, impor yang terlambat tidak dapat menyelamatkan harga
kebutuhan pokok yang kadung naik. Pemerintah sibuk berdebat soal transportasi
dan perizinan, masalah yang seharusnya selesai jauh-jauh hari. Namun, sesuatu
yang lebih fundamental adalah ihwal tanggung jawab pemerintah mempertahankan pasokan
pangan bagi warganya. Ini bukan semata-mata persoalan ekonomi (efisiensi),
melainkan politik (keadilan).
Republik pemasok
Republik bukan sekadar teritori yang dijaga tentara, melainkan entitas
yang memiliki tanggung jawab etis terhadap keadaban warganya. Keadaban di
seantero jagat ini senantiasa berkelindan dengan urusan perut. Ketersediaan
kebutuhan pokok adalah pangkal dari masyarakat yang berkeadaban. Tanggung jawab
ini sayangnya sering dipahami dalam parameter ekonomi belaka. Hukumnya
berbunyi: jika terjadi kelangkaan, pasokan ditambah. Pasokan di sini netral
secara politis. Artinya, apa pun dapat dilakukan untuk menambah pasokan,
termasuk impor.
Impor adalah ekonomi jalur cepat. Tujuannya sederhana: harga stabil dan
rakyat bahagia. Persoalannya, apakah kebahagiaan hanya diartikan secara sempit
sebagai pemuasan keinginan? Lalu, apa bedanya dengan anak kecil yang bahagia
ketika rengekannya berbuah mainan? Kebahagiaan adalah kualitas hidup yang tak
sekadar terpuaskannya keinginan. Dimensi yang dimilikinya lebih dalam dari
sekadar ”rasa manis di lidah ketika menjilat es krim”.
Kebahagiaan secara ekonomi diartikan sederhana: terpenuhinya permintaan
oleh pasokan. Kebahagiaan adalah stabilitas harga. Untuk itu segala cara
dilakukan. Hukum efisiensi pun menggariskan, apa pun boleh asal banyak dan
murah. Kebijakan impor sapi Australia lebih efisien ketimbang memaksimalkan
dagang antarpulau atau intensifikasi produksi sapi domestik.
Padahal, kebahagiaan tidak sesederhana itu.
Ekonom Amartya Sen menolak persamaan antara kebahagiaan dan kepuasan.
Alasannya dua. Pertama, orang berkecukupan memiliki patokan kebahagiaan yang
tinggi dan mewah. Orang yang biasa naik sedan akan menderita begitu disuruh
masuk Kopaja. Kedua, mereka yang tak beruntung terbiasa menyesuaikan patokan
kebahagiaannya dengan kondisi deprivasi yang dialami. Masyarakat miskin kota
sudah bahagia hanya dengan makan nasi kering sehari sekali.
Kebahagiaan tak sekadar terpenuhinya keinginan (baca: kepuasan).
Stabilitas harga memang membuat kebutuhan terpenuhi. Namun, dimensi lain yang
tak kalah penting: keadilan. Impor daging sapi, misalnya. Kebijakan itu
menguntungkan rumah potong Australia, tetapi memukul peternak dan rumah potong
lokal. Impor sapi memang menyelamatkan harga, tetapi tak membuka lapangan kerja
di bidang penggemukan dan pemotongan sapi. Ini juga disinsentif bagi berbagai
inovasi pembiakan sapi lokal berkualitas.
Keadilan?
Kebijakan pemerintah selalu dijalankan dengan penggaris efisiensi. Itu
pun dilakukan gegabah dan tambal sulam. Padahal, keadilan tak sama dengan
efisiensi. Keadilan bukan hasil akhir, melainkan prosedur yang memastikan dua
hal. Pertama, tak satu pun partisipan mampu mengakali prosedur demi
kepentingannya. Kedua, tak ada kriteria independen yang mana prosedur keadilan
mengabdi kepadanya. Kebijakan impor adalah prosedur yang mengabdi pada
efisiensi sebagai kriteria independen. Dengan kata lain, daripada ribut soal
nasib peternak lokal, lebih baik segera stabilkan harga.
Dalam keadilan juga termuat prinsip resiprositas. Resiprositas
mengatakan bahwa peningkatan kekinian dan ekspektasi mereka yang berkecukupan
mesti berko- relasi dengan peningkatan keki- nian dan ekspektasi mereka yang
kurang beruntung. Seorang pengusaha, misalnya, membeli mesin baru dengan
fasilitas kredit lunak karena rekam jejak pembayaran yang baik. Dia berharap
ada peningkatan produktivitas yang berujung pada maksimalisasi laba. Ketika pembelian
mesin itu membuatnya harus memberhentikan sekian ratus pegawai, itu
bertentangan dengan prinsip resiprositas. Mestinya penambahan produktivitas
meningkatkan ekspektasi pegawai akan hidup lebih layak.
Kebijakan impor sapi memang lekas mengatasi kelangkaan. Namun, siapa
sebenarnya diuntungkan selain importir kakap? Peter- nak lokal hanya bisa gigit
jari menyaksikan harga sapi jatuh di pasar. Usaha penggemukan pun lesu karena
impor lebih cepat, risiko kecil meski modal yang diperlukan besar. Tak ada resiprositas
di situ. Berbeda jika pemerintah mengimpor sapi hidup. Memang ini lambat dan
berisiko. Namun, kebijakan ini minimal masih menghidupi rumah potong lokal dan
para pekerjanya. Isu kekejaman rumah potong di Indonesia sengaja diembuskan
agar keran impor daging sapi Australia dibuka kembali.
Di republik tukang impor, pertimbangan keadilan senantiasa dipinggirkan
atas nama efisiensi. Pemerintah sepertinya bekerja dengan prinsip ”asal cepat
sele- sai” sehingga dampak politis bisa lekas diminimalkan. Padahal, banyak
alternatif kebijakan yang bisa diambil. Intensifikasi perdagangan antarpulau,
misalnya. Persediaan sapi di Indonesia bagian timur tidak terkira besarnya.
Namun, transportasi dan infrastruktur selalu menjadi kendala. Ketersediaan
kapal, pelabuhan, cold storage, jalan penghubung rumah potong dengan
pelabuhan. Semua itu harus disiapkan untuk mengatasi problem kelangkaan di
kemudian hari.
Pemerintah pun harus berinvestasi di bidang pembiakan dengan
memanfaatkan ahli peternakan terbaik di republik ini. Ciptakan benih yang cepat
gemuk, daya tahan tinggi, dan kualitas daging baik. Setiap pemerintah daerah
harus diikutkan dalam program ini. Tujuannya, menyediakan benih yang baik dan
murah bagi peternak lokal. Ini tak bisa dalam hitungan hari seperti mendatangkan
daging sapi dengan pesawat udara. Namun, ini langkah yang harus diambil bila
pemerintah republik ini ingin pensiun sebagai tukang impor dan belajar
menyelenggarakan negara secara lebih berkeadaban.
Selamat mencoba!
Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat UI
No comments:
Post a Comment