30 April 2013 | 1:07 WIB
Hingga tahun 2013 ini, konflik agraria belum mereda di Indonesia.
Konflik agraria di sejumlah daerah, seperti di Lampung, Jambi, Riau, Sumatera
Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan lain-lain,
masih terus berlangsung. Banyak yang menganggap konflik agraria itu seperti bom waktu. Jika
tidak segera diatasi, maka sewaktu-waktu bisa meledak.
Pemerintahan SBY sendiri
menyadari adanya ancaman itu. Pada tanggal 22 Juli 2012 lalu, melalui Sidang
Kabinet Terbatas, Presiden SBY mengeluarkan arahan terkait penanganan
sengketa/konflik agraria.
Lalu, hasil kajian serta pemetaan Badan Informasi Geospasial
(BIG) juga menemukan adanya potensi konflik agraria akibat tumpang tindih
lahan penguasaan lahan di bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan lokasi
transmigrasi.
Sayang, solusi pemerintahan SBY terkait konflik agraria itu kebanyakan
bersifat “himbauan” ketimbang langkah politik. Padahal, dengan potensi konflik
yang terus meluas, seharusnya pemerintahan SBY mengambil sebuah langkah politik
strategis.
Konflik agraria memang dianggap enteng. Data Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) menyebutkan, sejak 2004 hingga 2012 terjadi 618 konflik agraria
di Indonesia. Sementara dalam rencana strategis BPN disebutkan fokus
penyelesaian 7.491 kasus konflik agraria, yang terdiri dari 858 konflik,
sengketa 4.581, dan perkara tanah 2.052 kasus.
Menurut kami, penyelesaian konflik agraria tidak bisa parsial, seperti
pembentukan Tim Khusus atau apapun, tetapi harus bersifat perombakan terhadap
kebijakan ekonomi-politik negara. Pasalnya, menurut kami, sebagian besar
konflik agraria di Indonesia justru dipicu oleh kebijakan ekonomi negara yang
sangat liberal.
Di bawah kebijakan ekonomi yang pro-kapital, pemanfaatan dan penguasaan
tanah lebih banyak diperuntukkan untuk kepentingan korporasi besar. Akibatnya,
banyak tanah mengalami perubahan peruntukan atau alih-fungsi. Bahkan, tanah
yang sebelumnya diduduki oleh warga pun dirampas demi kepentingan investor.
Saat ini peruntukan tanah untuk perkebunan sawit sudah mencapai 8,9
juta hektar. Sampai sekarang, dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang
bertumpu pada investasi asing, penambahan areal dan ekspansi perusahaan sawit
masih akan berlanjut. Padahal, dari keseluruhan perkebunan sawit,
sebanyak 59 persen berkonflik dengan rakyat, yaitu 591 kasus konflik di 22
provinsi dan 143 kabupaten.
Model pembangunan ekonomi liberal, yang sangat pro-kapital, menciptakan
ketidakadilan dalam peruntukan tanah. Di sektor kehutanan, misalnya, peruntukan
hutan untuk industri (HTI) mencakup 9,39 juta ha (262 perusahaan), sementara
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) hanya berkisar 631.628 hektar.
Karena desakan kapital, sebagian besar daratan Indonesia dikuasai oleh
perusahaan HTI, HPH, sawit, perusahaan tambang, dan lain-lain. Sementara di
sisi lain, rata-rata petani Indonesia hanya menguasai 0,25 hektar. Sebanyak 85%
rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah.
Lalu, indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,6. Angka itu
sudah melampaui titik ledak, yakni 0,5, yang berpotensi menyulut gejolak
sosial.
Dengan demikian, penyelesaian konflik agraria di Indonesia tidak bisa
hanya dengan solusi parsial, seperti pembentukan Tim Khusus ataupun pembentukan
Kementerian Agraria. Namun, yang mendesak merombak kebijakan ekonomi yang
sangat liberal. Selain itu, pemerintah harus punya politik agraria yang memihak
kepentingan petani dan kepentingan nasional untuk mencapai kedaulatan pangan.
Menurut kami, terkait politik agraria ini, jika Presiden SBY memang
punya komitmen politik membela kaum tani, maka sudah momentumnya untuk
menegakkan kembali UU nomor 5 tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sementara di level kebijakan ekonomi, pemerintah
dituntut untuk kembali kepada sistem ekonomi yang digariskan oleh konstitusi,
yakni pasal 33 UUD 1945.
Artikel Terkait:
No comments:
Post a Comment