Friday, July 12, 2013

Penyelesaian Konflik Agraria.

30 April 2013 | 1:07 WIB 

Hingga tahun 2013 ini, konflik agraria belum mereda di Indonesia. Konflik agraria di sejumlah daerah, seperti di Lampung, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan lain-lain, masih terus berlangsung. Banyak yang menganggap konflik agraria itu seperti bom waktu. Jika tidak segera diatasi, maka sewaktu-waktu bisa meledak. 

Pemerintahan SBY sendiri menyadari adanya ancaman itu. Pada tanggal 22 Juli 2012 lalu, melalui Sidang Kabinet Terbatas, Presiden SBY mengeluarkan arahan terkait penanganan sengketa/konflik agraria.
Lalu, hasil kajian serta pemetaan Badan Informasi Geospasial (BIG) juga menemukan adanya potensi konflik agraria akibat tumpang tindih lahan penguasaan lahan di bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan lokasi transmigrasi.
Sayang, solusi pemerintahan SBY terkait konflik agraria itu kebanyakan bersifat “himbauan” ketimbang langkah politik. Padahal, dengan potensi konflik yang terus meluas, seharusnya pemerintahan SBY mengambil sebuah langkah politik strategis.

Konflik agraria memang dianggap enteng. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, sejak 2004 hingga 2012 terjadi 618 konflik agraria di Indonesia. Sementara dalam rencana strategis BPN disebutkan fokus penyelesaian 7.491 kasus konflik agraria, yang terdiri dari 858 konflik, sengketa 4.581, dan perkara tanah 2.052 kasus.
Menurut kami, penyelesaian konflik agraria tidak bisa parsial, seperti pembentukan Tim Khusus atau apapun, tetapi harus bersifat perombakan terhadap kebijakan ekonomi-politik negara. Pasalnya, menurut kami, sebagian besar konflik agraria di Indonesia justru dipicu oleh kebijakan ekonomi negara yang sangat liberal.

Di bawah kebijakan ekonomi yang pro-kapital, pemanfaatan dan penguasaan tanah lebih banyak diperuntukkan untuk kepentingan korporasi besar. Akibatnya, banyak tanah mengalami perubahan peruntukan atau alih-fungsi. Bahkan, tanah yang sebelumnya diduduki oleh warga pun dirampas demi kepentingan investor.
Saat ini peruntukan tanah untuk perkebunan sawit sudah mencapai 8,9 juta hektar. Sampai sekarang, dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada investasi asing, penambahan areal dan ekspansi perusahaan sawit masih akan berlanjut. Padahal,  dari keseluruhan perkebunan sawit, sebanyak 59 persen berkonflik dengan rakyat, yaitu 591 kasus konflik di 22 provinsi dan 143 kabupaten.

Model pembangunan ekonomi liberal, yang sangat pro-kapital, menciptakan ketidakadilan dalam peruntukan tanah. Di sektor kehutanan, misalnya, peruntukan hutan untuk industri (HTI) mencakup 9,39 juta ha (262 perusahaan), sementara Hutan Tanaman Rakyat (HTR) hanya berkisar 631.628 hektar.
Karena desakan kapital, sebagian besar daratan Indonesia dikuasai oleh perusahaan HTI, HPH, sawit, perusahaan tambang, dan lain-lain. Sementara di sisi lain, rata-rata petani Indonesia hanya menguasai 0,25 hektar. Sebanyak 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. Lalu, indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,6. Angka itu sudah melampaui titik ledak, yakni 0,5, yang berpotensi menyulut gejolak sosial.
Dengan demikian, penyelesaian konflik agraria di Indonesia tidak bisa hanya dengan solusi parsial, seperti pembentukan Tim Khusus ataupun pembentukan Kementerian Agraria. Namun, yang mendesak merombak kebijakan ekonomi yang sangat liberal. Selain itu, pemerintah harus punya politik agraria yang memihak kepentingan petani dan kepentingan nasional untuk mencapai kedaulatan pangan.
Menurut kami, terkait politik agraria ini, jika Presiden SBY memang punya komitmen politik membela kaum tani, maka sudah momentumnya untuk menegakkan kembali UU nomor 5 tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sementara di level kebijakan ekonomi, pemerintah dituntut untuk kembali kepada sistem ekonomi yang digariskan oleh konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945.

Artikel Terkait:



No comments:

Post a Comment