Kompas, Selasa, 6 Agustus 2013
Pengantar Redaksi
Walaupun mengaku bukan seorang idealis, sebagai seorang sutradara Garin
Nugroho tidak melepaskan bidang film terbebas dari persoalan-persoalan yang
melilit bangsa. Bagi dia, bahkan, pekerja seni yang terjun ke dunia politik
adalah sebuah kewajaran jika hal itu semata-mata dimaksudkan untuk kebaikan
kehidupan berbangsa, bukan sebagai gaya hidup.
Garin antara lain ”berpolitik” melalui Yayasan Sains Estetika Teknologi
(SET) untuk mendidik warga negara melalui bentuk media dan seni. Dia pun kerap
diundang menjadi pembicara dalam berbagai kesempatan, terutama untuk
menyadarkan orang bahwa bangsa kita itu multikultur. Garin antara lain
memperkenalkan budaya Papua lewat Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa.
Tidak hal aneh jika kemudian Garin menyutradarai film tentang seorang
uskup dalam Soegija karena, baginya, seorang tokoh dalam bangsa
multikultur tidak mengenal batas agama. Selain menyutradarai sejumlah film,
pria kelahiran Yogyakarta ini juga menjadi pengajar di almamaternya, Institut
Kesenian Jakarta.
——————————————
Menurut
Pak Garin, seberapa pentingkah masyarakat Indonesia mengenal golongan marjinal
tersebut? (Irvan
Tauramdhanny, xxxx@gmail.com)
Kehidupan Indonesia kodratnya multikultur seperti layaknya sebuah hutan
tropis dengan beragam tanaman. Memahami golongan marginal seperti memahami
tanaman-tanaman kecil. Jika yang marginal mati, kehidupan ekosistem keberagaman
bangsa ini akan surut pula. Demikian juga kekayaan keberagamannya. Maka, misal
dalam agama kita harus lawan radikalisme minoritas atau radikalisme mayoritas
karena radikalisme merusak ekosistem berbangsa ini.
——————————————
Mas
Garin banyak menelurkan film- film ”idealis” untuk negara ini. Meski banyak
tantangan, apa yang mendorong Mas tetap bertahan di genre ini? (Sylvie Tanaga,
xxxx@yahoo.com)
Saya bukan seorang idealis, tapi pikiran saya sederhana: tanggung jawab
manusia terbesar adalah menghidupkan kodrat mencipta yang diberikan Sang Maha
Pencipta. Saya berpendapat bahwa penciptaan film adalah medium untuk berdialog
kepada masyarakat tentang persoalan-persoalan manusia yang saya lihat dalam
masyarakat untuk penonton bisa mendiskusikannya.
——————————————
Bagaimana
Mas Garin menyikapi tawaran untuk terjun ke dunia politik (partai) yang
akhir-akhir ini sering ditawarkan kepada para pekerja seni? (Windu Tri Hadianto,
Jakarta)
Pekerja seni terjun ke dunia politik adalah wajar, bahkan perumus
Pancasila sebagian adalah negarawan yang seniman, seperti Moh Yamin adalah
Bapak Soneta, sehingga dia mempunyai nilai susastra, yakni perasaan halus
terhadap kehidupan bangsanya. Yang salah, jika jabatan politik hanya untuk gaya
hidup, ekonomi pribadi-kelompok serta karena tak punya ruang kompetisi daya
hidup di tempat lain di masyarakat.
Kesedihan saya, yang terakhir ini cenderung yang muncul.
——————————————
Sebelumnya,
saya ingin mengucapkan salam dan terima kasih dari kedua orangtua saya atas
karya-karya Bapak yang telah ”mencuri hati” mereka. Apakah Bapak
mempunyai idealisme tertentu mengenai perfilman? (Basa Nova Siregar,
Bogor)
Salam hormat untuk Bapak dan Ibu.
Sebagai pengajar, saya selalu bilang ke mahasiswa untuk selalu kembali
pada bakat dan gagasan diri. Jika berbakat membuat film komersial buatlah
dengan profesionalisme serta konsekuensinya. Atau, jika berbakat membuat film
seni, buatlah dengan profesionalisme yang terus bertumbuh, tetapi dengan
menanggung konsekuensi, misalnya mengalami keterasingan.
——————————————
Sebagai
seorang Muslim, apa sesungguhnya yang menggerakkan hati Anda untuk tertarik
menyutradarai film tentang seorang uskup dalam Soegija? (J Cahyo,
Kaweka, Otista, Jakarta Timur)
Nilai-nilai keutamaan yang dimiliki seorang tokoh dalam bangsa
multikultur tidak mengenal batas agama, maka sikap religiusitas mewajibkan kita
mengangkat dan menemukan nilai keutamaan tokoh dari agama-etnis-golongan apa
pun yang belum diwartakan untuk diketahui masyarakat.
Kematangan multikultur diuji ketika masyarakatnya bisa dipimpin serta
mengapresiasi kepemimpinan dari golong etnis atau agama apa pun. Misalnya
Soegija, atau Kyai Sadrah, atau seorang Bhiku Panyamaru maupun Syafii Maarif.
——————————————
Melalui
karya perfilman, Mas Garin seperti hendak merawat dan mencintai bangsa
Indonesia. Bagaimana perasaan Mas Garin ketika melihat, mendengar, dan
menjumpai wakil rakyat bersikap ”rakus”, perusak nasionalisme, dan kemanusiaan? (Justinus Juadi FI,
Yogyakarta)
Demokrasi hanya berharga jika kebebasannya disertai keterampilan,
pengetahuan, serta etika untuk memecahkan masalah krisis rakyat. Sayangnya,
elite penguasa kita hanya merasa khawatir kalau krisis itu membahayakan
kekuasaannya. Namun, jika krisis hanya terjadi di rakyat, mereka cuek saja.
Elite tanpa rasa etika, pengetahuan, keterampilan, dan rasa krisis
adalah pribadi tak berharga, yang berharga hanya kekuasaannya dan yang
menyelamatkan dirinya adalah kerakusannya. Elite politik tak perlu dinasihati,
mereka sudah punya sumpah jabatan dan sumpah serapah masyarakat jika tidak
bekerja baik.
——————————————
Mas
Garin, apakah film tidak cukup sebagai media berpolitik bagi Anda? Sehingga
Anda perlu terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik meski tidak partisan. (Teguh Prawiro, Depok,
Jawa Barat)
Setiap tubuh manusia terdiri dari gabungan rumit tubuh sosial, tubuh
seni, tubuh alam, ekonomi, hingga tubuh berpolitik. Hanya saja kecenderungannya
berbeda-beda.
Saya merasa ada dua aspek dalam diri saya: seni dan politik. Saya
berpolitik lewat Yayasan SET untuk pendidikan warga negara lewat beragam bentuk
media dan seni. Misal, pendidikan warga negara pada pemilu pertama pasca-Orde
Baru lewat iklan inga inga dan lain sebagainya.
——————————————
Apakah
Mas Garin mewajibkan anaknya untuk mengikuti jejak Anda sebagai sutradara? (Sandy Putra, Jakarta
Barat)
Saya malah merasa senang kalau anak-anak saya mempunyai disiplin yang
berbeda sesuai bakat serta kebahagiaan hidup mereka. Dengan cara itu, saya
mengalami keberagaman dalam keluarga.
Kalaupun putri saya pertama (Kamila Andini) menjadi sutradara dan
suaminya (Ifa Ifansyah) juga sutradara, itu adalah kebebasan mereka.
——————————————
Apa
arti kesuksesan untuk seorang Garin Nugroho dan bagaimana Anda mengatasi
kejenuhan yang melanda dalam beraktivitas? (Sambodo Rio Sasongko, Tangerang
Selatan)
Kesuksesan adalah peta kehidupan, selalu ada momen hentian sebagai momen
membaca pencapaian, kekeliruan, ataupun ketidakberdayaan sekaligus mencari
jalan baru, maka kesuksesan adalah peta hidup yang tak pernah selesai sampai selesainya
hidup kita.
Kejenuhan adalah kewajaran, tetapi kesadaran bahwa dalam peta selalu
ada jalan alternatif dan peta adalah abadi, maka kejenuhan akan bertransformasi
jadi pencarian kreatif menemukan peta baru.
——————————————
Apakah
Mas Garin memikirkan balik modal atau jumlah penonton ketika membuat film? (Bimo, Jakarta)
Setiap pencipta harus punya tiga aspek: aspek manajemen ekonomi dan
manajemen kreatif serta paham ruang hidup dari gagasan film kita. Jika film
untuk pendidikan antiradikalisme seperti Mata Tertutup (2012)produksi
Syafii Maarif Institute yang diputar gratis di sekolah, nilai penting bukan
balik modal, tetapi keluasan sosialisasinya.
Kalau film untuk bioskop seperti Cinta Sepotong Roti (1990),
maka harus mampu membalikkan modal. Jika film artistik seperti Opera Jawa (2006)
untuk membuka pesta 200 tahun Mozart di kota Wina dananya dari empat negara,
maka target utama adalah penonton pembukaan festival itu dan ruang publik
estetik internasional, juga berbeda dengan film untuk corporate social
responsibility (CS).
Sesungguhnya, setiap gagasan mempunyai sistem ekonomi, ruang hidup,
serta tanggung jawab penciptaan yang berbeda-beda.
——————————————
Semangat
apa yang membuat Bapak berusaha menghasilkan karya saat perfilman Indonesia
tengah ”tiarap”? (Lidya Andayani W, Surabaya, Jawa Timur)
Nilai ketokohan, terobosan, dan penemuan di berbagai bidang selalu
lahir di masa krisis. Krisis dalam karakter huruf China mempunyai dua makna:
kesempatan atau kehancuran.
Inilah medan pertempuran sesungguhnya. Dalam persitegangan dua aspek
itu, maka bakat dan gagasan serta daya juang seseorang berproses dan diuji.
——————————————
Bagaimana
caranya menemukan bakat baru di generasi sekarang yang bisa menggantikan Pak
Garin kelak? Karena sepertinya sulit mengharap peran pemerintah untuk
menunjukkan keseriusan dalam memajukan seni dan budaya lewat film. (Hersen Setyo Nugroho,
Jayapura, Papua)
Ada empat jalan: Pertama, konsistensi mencipta sebagai sumber inspirasi
masyarakat muda. Kedua, setiap mencipta membawa generasi yang lebih muda ke
muda lagi, seperti Bulan Tertusuk Ilalang dengan John De Rantau atau
Riri Riza, Nurhidayat, dan lain-lain. Ketiga, mengajar dan membangun ruang
publik untuk pendidikan, kompetisi, dan apresiasi, seperti mendirikan Jogja
Asia Film Festival atau juga LA Light Indie Movie, masing-masing sudah delapan
tahun.
Keempat, menulis buku sebagai tanggung jawab pengalaman, berbagi
gagasan, dan referensi. Saya sedang menulis buku sejarah film Indonesia
(1900-2012) dan buku Dongeng Kebangsaan.
——————————————
Beberapa
tahun terakhir, fenomena perfilman Indonesia dihiasi dengan maraknya film hantu
atau horor dan berbagai film dan sinetron yang menurut pengamatan saya tidak
mendidik, padahal televisi adalah salah satu media yang paling banyak diakses
atau ditonton. Sebagai sutradara senior, apa usaha mas Garin menyikapi fenomena
tersebut? (Tryles
Marianus Neonnub, Bintaro, Tangerang)
Televisi adalah industri tekno-kapitalis di ruang keluarga, di negeri
demokrasi yang beradab, maka kebebasan berindustri seperti halnya peraihan rating dijaga
oleh etika bisnis industri di ruang keluarga.
Sebutlah dijaga undang-undang perlindungan anak, perlindungan konsumen,
etika profesi, jurnalistik, dan lain-lain. Maka, tidak boleh berita dipenuhi
kekerasan di waktu keluarga, atau pejabat tidak boleh beriklan dari produk
swasta, atau menghamburkan uang hadiah secara fisik dan sebagainya.
Maka sinetron jenis apa pun, termasuk horor, harus berada dalam etika
industri dalam ruang keluarga. Sikap saya bermoto: ”Ketika banyak jalan rusak,
buatlah jalan sekecil apa pun untuk sekeliling kita berjalan menuju tujuan.”
——————————————
Bila
ada ”kehidupan” sesudah meninggal, Anda ingin berprofesi sebagai apa dan
mengapa? (Eka
Fransiska, Jakarta)
Ha-ha...pertanyaan menarik. Saya ingin menjadi sutradara kehidupan,
yang bisa mencipta untuk mengubah secara nyata apa pun dalam realitas hidup.
Misalnya, melihat pekerja pandai dan keras tetapi miskin, bisa saya ubah
menjadi cukup ekonominya.
——————————————
Film
yang bersifat heroik seperti Sang Kyai dan Sang Pencerah kini
mulai digandrungi masyarakat. Apakah ada rencana membuat film yang berlatar
sejarah, apalagi banyak pahlawan kita yang perlu difilmkan untuk motivasi
generasi sekarang? (Miftakhul Huda, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur
Saya tertarik membuat film yang kerja ketokohannya belum tersebar dan
dibuka di negeri ini, yang sesungguhnya mempunyai peran dalam sejarah bangsa
ini. Sebutlah Sjahrir, Tan Malaka, Rahmah El-Yunusiah, pelopor pendidikan
perempuan muslim Diniyah School Putri, Sumatera Barat(1923).
——————————————
Mas
Garin, Mengapa industri perfilman kita terkesan ”latah” dalam membuat film,
misalnya, bulan ini booming film genre seperti Habibi Ainun,
tidak berselang kemudian muncul film tema serupa dengan proses pembuatan film
yang terlalu singkat? (Ratih Eeningdi, xxxx@gmail.com)
Latah atau meniru adalah kewajaran mengejar relung pasar yang sudah
dibuka. Namun, bangsa berkualitas, pasar produknya dibentuk selain dengan
mengikuti selera tapi juga membentuk selera.
Ciri ekonomi modern adalah bangsa yang produktif membentuk selera.
Lihatlah Jerman, China, Jepang, Swiss, dan Amerika Serikat.
Bangsa yang meniru atau selalu mengikuti selera akan menjadi bangsa
pengimpor terbesar, bahkan bisa terjerumus mengikuti apa pun yang bisa
menyenangkan masyarakat atas nama selera meski itu menjerumuskan masyarakat.
Misalnya, jika masyarakat suka kekerasan, maka membuat program kekerasan.
——————————————
GARIN NUGROHO
Nama Lengkap: Garin
Nugroho Riyanto
Lahir: Yogyakarta, 6 Juni 1961
Profesi: Sutradara, Direktur SET Filmworkshop
Pendidikan:
S-1 Jurusan Penyutradaraan Fakultas Sinematografi Institut Kesenian
Jakarta, Jakarta (1985)
S-2 Jurusan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta (1992)
Karier:
Sutradara Film dan TV
Direktur Desain dan Program PT Gemini Film (1986-1989)
Dosen Fakultas Film dan TV Analisis Film dan TV Institut Kesenian
Jakarta, Jakarta (1986)
Asisten Dekan Fakultas Film dan TV Institut Kesenian Jakarta
(1992-1994)
Direktur SET Filmworkshop (1993-sekarang)
Film:
Cinta dalam Sepotong Roti (1991)
Surat untuk Bidadari (1994)
Bulan Tertusuk Ilalang (1996)
Daun di Atas Bantal (1998/1999)
Puisi Tak Terkuburkan (2000/2001)
Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002)
Rindu Kami Pada-mu (2004)
Serambi (2005) • Opera Jawa (2006)
Teak Leaves at the Temple (2007)
Under The Tree (2008)
Generasi Biru (2009)
Mata Tertutup (2011)
Soegija (2012)
Keluarga:
Istri: Riani
Ika
Anak: Kamila Andinisari, Gibran Tragari, Dinda Hanamichi
Sumber: Litbang
”Kompas”/BEY, dari berbagai sumber