Oleh: Anwar Nasution
KOMPAS, KAMIS, 25 JULI 2013
Semakin membesarnya defisit neraca pembayaran luar negeri—sebagai
akibat penurunan nilai ekspor, kiriman (remittances) dari tenaga kerja
Indonesia yang bekerja di luar negeri serta pelarian modal asing—menegaskan
semakin mendesaknya Indonesia segera mengubah strategi pembangunan ekonominya
dan memperkuat kelembagaannya.
Nilai tukar rupiah yang merosot secara drastis selama tiga bulan
terakhir tidak akan dapat direm hanya dengan kebijakan Bank Indonesia
menggunakan cadangan devisanya yang sudah semakin menipis dan menaikkan tingkat
suku bunga yang semakin meningkatkan biaya produksi dunia usaha. Kemampuan BI
dan pemerintah membeli kembali SBI dan SUN juga terbatas. Demikian pula dengan
kemampuan untuk menambah utang.
Bunga SUN rupiah jangka waktu 30 tahun sudah naik menjadi 8,75 persen
dan SUN dalam dollar AS menjadi 6,91 persen. Krisis ekonomi global yang tengah
berlangsung sejak tahun 2008 menunjukkan bahwa strategi yang digunakan selama
30 tahun terakhir tidak dapat dipertahankan lagi. Strategi tersebut
mengandalkan ekspor bahan mentah (hasil tambang, pertanian, dan perikanan),
mengirim TKI yang tidak punya keahlian serta pendidikan ke mancanegara serta industrialisasi
yang terutama berorientasi pada pemenuhan pasar dalam negeri (inward-looking
strategy).
Di masa lalu, penyebab kenaikan nilai ekspor komoditas primer Indonesia
terutama adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi China yang rata-rata 9-10 persen
setiap tahun sejak Deng Xiaoping melakukan liberalisasi perekonomiannya pada
tahun 1978 dan mengundang pemasukan modal swasta asing ke negerinya.
Pertumbuhan ekonomi India menyusul China, sejak negara itu melakukan deregulasi
pada awal tahun 1990-an.
Kedua negara itu menjalankan strategi pembangunan yang berorientasi
pada ekspor (export-led strategy atauoutward-looking strategy). Selain
digerakkan ekspor, ekonomi kedua negara itu juga digerakkan investasi yang
rata-rata mencapai 40 persen dari produk domestik bruto (PDB)- nya.
Industrialisasi, mekanisasi, motorisasi, ataupun pembangunan gedung serta
infrastruktur di kedua negara tersebut memerlukan segala jenis hasil tambang
dan pertanian sehingga meningkatkan jumlah permintaan beserta tingkat harganya.
China mengekspor hasil pertanian dan industri manufaktur, sedangkan
India mengutamakan ekspor jasa-jasa seperti program komputer maupun pemrosesan
data. Penduduk kedua negara itu yang semakin makmur menuntut kualitas makanan
yang lebih baik, termasuk hasil laut ataupun minyak goreng dari Indonesia.
Sewaktu krisis keuangan global berlangsung 2008-2009, China dan India
luput dari resesi karena mengintroduksi stimulus fiskal besar-besaran untuk
membangun infrastruktur, perumahan, dan perkantoran. Pemerintah-pemerintah
daerah di China meminjam kredit bank untuk membangun sejumlah proyek jangka
panjang dengan agunan tanah miliknya. Dewasa ini, strategi seperti itu tidak
lagi dapat diulang karena ternyata banyak dari investasi tersebut yang tidak
menyumbang pada peningkatan nilai tambah dan hanya menimbulkan pemborosan.
Kelambatan pelunasan kreditnya telah menimbulkan krisis likuiditas dan
meningkat rasio kredit bermasalah di bank-bank China.
Orientasi ekspor
Untuk meningkatkan kembali ekspor, tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan lapangan kerja, Indonesia perlu menerapkan strategi pembangunan yang
berorientasi pada ekspor (export-led strategy) ataupun berorientasi ke luar
(outward-looking strategy) dan mengolah sumber daya alam (resource based
strategy). Melalui perubahan strategi pembangunan itu, Indonesia pun akan ikut
bergabung dalam jaringan produksi global (global supply
chains atau international production networks/IPN) yang telah
berlangsung sejak tahun 1980-an.
IPN memanfaatkan spesialisasi vertikal yang terjadi di pasar global.
IPN membagi tahap produksi antarnegara dan setiap tahap produksi merupakan
produksi suku cadang maupun komponen atau perakitan komponen untuk tahap
produksi selanjutnya hingga menghasilkan barang jadi. Lihatlah barang
elektronik atau mobil merek apa saja, suku cadang dan komponennya adalah buatan
sejumlah pabrik di sejumlah negara yang kemudian dirakit menjadi barang jadi.
Berbeda dengan pertambangan yang bersifat padat modal, produksi suku cadang dan
komponen barang-barang industri manufaktur, beserta perakitannya, adalah
bersifat padat karya dan tidak memerlukan keahlian tinggi. Dengan terciptanya
lapangan kerja di kampung halaman sendiri, akan mengurangi ekspor TKI ke
mancanegara.
Ada dua model IPN, yakni model laba-laba dan ular. Model pertama
menggabungkan suku cadang yang diproduksi di sejumlah negara untuk menghasilkan
produk jadi atau komponen yang diperlukan pada tahap produksi berikutnya.
Dalam model kedua, urutan tahap produksi bergerak menurut garis lurus
dari awal hingga akhir dan setiap tahap produksi tersebut menghasilkan nilai
tambah. Kedua model IPN tersebut mengandung offshoring costs, yakni biaya
transportasi suku cadang dan komponen dari satu ke lain lokasi produksi yang
mungkin berada di negara yang berbeda. Dengan demikian, cukup tinggi impor
negara-negara yang masuk dalam IPN akan bahan baku, suku cadang, dan komponen
produksi.
Mengubah kebijakan
Untuk dapat ikut dalam IPN, Indonesia perlu mengubah berbagai
kebijakannya.
Kebijakan yang pertama adalah menarik lebih banyak pemasukan modal
swasta asing. Dalam IPN, perusahaan multinasional memproduksi barang dan jasa
bukan saja untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, melainkan juga untuk
diekspor ke pasar dunia.
Kedua, untuk menekan offshoring costs, diperlukan infrastruktur
yang andal, termasuk listrik, pelabuhan laut dan udara, telepon serta Wi-Fi,
terutama di daerah Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) serta Pulau Jawa yang berpenduduk padat.
Untuk membangun infrastruktur, penerimaan pajak harus ditingkatkan dari
rasio penerimaan yang amat rendah, sebesar 13 persen dari PDB dewasa ini. Jika
perlu, meningkatkan pinjaman dari luar negeri untuk membangun infrastruktur
tersebut.
Ketiga, mengoreksi undang-undang tenaga kerja yang menyulitkan untuk
memberhentikan tenaga kerja dan mewajibkan pembayaran pesangon yang sangat
mahal.
Keempat, memudahkan impor dan ekspor suku cadang serta komponen yang
diperlukan dalam perakitan IPN untuk menekan offshoring cost.
Kelima, memperbaiki iklim usaha mulai dari kemudahan perizinan hingga
persaingan usaha yang dapat menjamin agar pemenang tender adalah perusahaan
yang paling efisien dan bukan yang punya koneksi ataupun menyogok seperti
kontraktor proyek Hambalang, obat atau peralatan kesehatan Kementerian
Kesehatan, maupun pengadaan blangko STNK dan BPKB Korlantas.
Keenam, menjaga agar kurs devisa jangan menguat sehingga dapat
memberikan insentif pada eksportir. Di dalam negeri kurs rupiah yang menguat
akan memberikan insentif bagi pembangunan sektor ekonomi yang kurang efisien
karena tidak diperdagangkan ke luar negeri, seperti pusat perbelanjaan,
lapangan golf, maupun perumahan.
Ketujuh, memperbaiki sistem hukum agar dapat melindungi hak milik
individu dan mengurangi biaya transaksi pasar. Perlu dihentikan korupsi yang
semakin marak di semua tingkatan dan cabang pemerintahan: eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Karena sistem hukum kurang dapat dipercaya, orang
beralih pada preman dan penagih utang untuk menagih utang.
Kedelapan, aturan perlu diterapkan secara tegas untuk mencegah
kegagalan pasar (market failures) seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (1997), Bank Bali (1999), maupun Bank Century (2008).
Kesembilan, efisiensi, produktivitas, dan daya saing BUMN perlu
ditingkatkan agar mampu bersaing dengan BUMN Singapura dan Malaysia di pasar
internasional. Hanya dengan demikian dapat dicegah kegagalan sektor negara
(public sector failures) dan korporatisasi BUMN dan BUMD dapat dijadikan
sebagai motor penggerak baru pertumbuhan ekonomi dan bukan hanya sekadar beban
negara. Peningkatan efisiensi bank-bank negara dan Bank Pembangunan Daerah
(BPD) akan menurunkan net interest margin (NIM), yakni perbedaan
antara suku bunga kredit dan deposito bank. Dewasa ini NIM bank-bank BUMN dan
BPD adalah tertinggi di ASEAN maupun di dalam negeri, kecuali bank nondevisa.
Kesepuluh, melatih dan membantu petani, perajin, dan UKM agar mampu
masuk pasar global setidaknya pasar negara-negara yang telah menandatangani
perjanjian perdagangan bebas dengan kita. Kenapa sayur dan buah Indonesia tidak
bisa masuk pasar Singapura dan Malaysia?
Kesebelas, membangun kembali Bank Tabungan Pos untuk memobilisasi
tabungan masyarakat agar menyerap SUN rupiah yang diperdagangkan di pasar dalam
negeri dan mengurangi kepemilikan asing yang dewasa ini mencapai 34 persen.
Terlalu besarnya porsi kepemilikan asing pada surat-surat berharga Indonesia
menyebabkan kerawanan tingkat harganya maupun nilai tukar rupiah terhadap lalu
lintas modal jangka pendek.
Kedua belas, mengolah lebih banyak hasil perkebunan Indonesia di dalam
negeri seperti minyak kelapa sawit.
Pemerintah sekarang ini terlena pada tingkat laju pertumbuhan ekonomi
yang relatif tinggi (5-6 persen setahun) akibat dari tingginya harga komoditas
primer, besarnya kiriman TKI yang bekerja di luar negeri, serta pemasukan modal
asing jangka pendek. Akibatnya, pemerintah sekarang ini bukan saja tidak
melakukan reformasi penting untuk memperkuat fondasi sosial-ekonomi nasional
selama dua kali masa jabatannya, melainkan justru semakin membuatnya semakin
keropos. Di lain pihak, tidak satu pun di antara calon presiden mendatang yang
punya program tentang bagaimana caranya membawa Indonesia keluar dari perangkap
tingkat pendapatan menengah rendah (low middle income trap) dewasa ini.
Anwar Nasution, Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia