Monday, July 29, 2013

PENYUAPAN. Mafia Hukum di Benteng Terakhir Pencari Keadilan


Ahmad, tukang ojek yang biasa mangkal di dekat gedung Mahkamah Agung ini, gelagapan saat tiba-tiba dihentikan sejumlah orang di kawasan silang Monumen Nasional, Kamis (25/7) sekitar pukul 12.15. Ahmad pun menjelaskan kepada orang-orang tersebut bahwa cicilan kredit sepeda motornya telah lunas.
Rupanya dia mengira beberapa orang yang menghentikan laju ojeknya adalah debt collector. Ahmad tidak tahu bahwa orang-orang tersebut adalah penyelidik dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Sasaran mereka pun bukan Ahmad, melainkan penumpang Ahmad, Djodi Supratman.
Djodi diincar penyelidik KPK sejak Rabu. KPK menerima informasi bahwa pegawai MA tersebut bakal menerima uang dari seorang pengacara dari kantor hukum terkenal. Belakangan diketahui Djodi diduga menerima uang dari Mario C Bernardo, pengacara pada kantor hukum Hotma Sitompoel & Associates di Jalan Martapura Nomor 3, Jakarta Pusat.

Rabu itu, KPK sebenarnya sudah mengendus adanya kemungkinan penyerahan uang dari Mario kepada Djodi. KPK juga sudah mengetahui ada sejumlah pihak lain di luar Mario dan Djodi yang terlibat dalam penyerahan uang tersebut. Dari informasi yang diperoleh KPK, Mario dan Djodi sebenarnya tak berhubungan langsung. Ada sejumlah orang yang menjadi perantara di antara keduanya.

Transaksi pertama terjadi pada Rabu. Terjadi apa yang diduga penyerahan uang suap, sebesar Rp 50 juta. Kali ini Djodi yang menggunakan jasa ojek ketika mendatangi kantor Mario lolos dari sergapan KPK. Namun, ada informasi penting yang diperoleh penyelidik KPK hari Rabu itu. Sebuah pesan komunikasi tersadap, pihak perantara yang menghubungkan Djodi dengan Mario menyebutkan bahwa besok (Kamis) akan ada lagi uang yang diserahkan. Tak mau kehilangan buruan, para petugas KPK ”menongkrongi” kantor Hotma Sitompoel & Associates sejak pagi.
Sekitar pukul 11.30, Djodi datang menumpang ojek. Dia membawa sebuah tas. Tak berapa lama di dalam kantor, Djodi keluar dan isi tasnya terlihat menonjol. Petugas KPK tahu pasti telah terjadi penyerahan uang. Petugas KPK pun mengikuti Djodi yang pergi menggunakan ojek dan kemudian menghentikan ojek itu di kawasan silang Monas.
Djodi pun tak bisa berkelit ketika di dalam tas yang dia bawa tersebut, petugas KPK menemukan sejumlah uang. Saat itu Djodi mengaku sebagian uang tersebut adalah miliknya.
Begitu memastikan uang telah berpindah tangan ke Djodi, sebagian petugas KPK kembali ke Jalan Martapura Nomor 3. Untuk memastikan Mario masih di kantornya, seorang petugas menyamar menjadi calon klien dan hendak menemui Mario. Begitu Mario muncul, petugas KPK langsung menangkapnya.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, penangkapan Mario dan Djodi terkait dengan pengurusan perkara penipuan dengan terdakwa Hutomo Wijaya Ongowarsito yang kini dalam tahap kasasi di MA.
Seolah perkara ini tak ada hubungannya karena Mario ternyata bukan pengacara yang menangani kasus tersebut. Djodi yang pegawai Badan Pendidikan dan Pelatihan MA pun tak berhubungan langsung dengan perkara tersebut. Namun, justru inilah letak hebatnya mafia hukum di Indonesia. Pengacara yang tak terlibat dalam sebuah perkara bisa saja menjadi bagian dari mafia peradilan untuk mengurus perkara tersebut.
”Pengacara itu biasanya juga investasi ke orang-orang tertentu. Dia bisa investasi ke orang PTUN. Nah, mungkin yang lain yang enggak investasi di PTUN, pas punya perkara di sana bisa minta bantuannya,” kata pengacara yang juga pernah meneliti praktik mafia peradilan di Indonesia, Taufik Basari.

Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, mengungkapkan, sejak awal sebelum ada perkara, modus membangun hubungan baik sudah biasa terjadi. Pihak advokat dapat berperan di sini dalam membangun relasi dengan polisi, jaksa, hakim, dan pegawai badan peradilan. ”Praktik mafia hukum yang pernah kami petakan terjadi dari hulu sampai hilir,” kata Febri. (KHAERUDIN)



Sosok: RM RAIS. Revitalisasi Sanksi Adat

RADEN MOHAMAD RAIS


Oleh: KHAERUL ANWAR 


Pendidikan formalnya memang rendah. Ketika itu Raden Mohamad Rais tidak lulus sekolah dasar, tetapi dia justru menjadi inovator dan motivator bagi warga desanya, Desa Mambalan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Dia berhasil merevitalisasi sanksi adat demi pemberdayaan masyarakat.

Hasil dari kiprahnya tersebut, pada tahun 2012 Raden Mohamad Rais meraih penghargaan Millennium Development Goal (MDG) untuk kategori Pencerah. Penghargaan dari pemerintah itu diterima Rais, panggilannya, dari Wakil Presiden Boediono.
”Dalam hukum positif, orang yang mencuri itu harus masuk penjara. Tetapi, setelah bebas, dia bisa kambuh lagi. Agaknya ada yang kurang dalam hukum positif itu sehingga saya mencoba menyandingkannya dengan sanksi adat yang kemudian diberlakukan kepada setiap warga desa kami,” tutur Rais.
Dia lalu memberi contoh penerapan sanksi adat sebagai penopang hukum positif di Desa Mambalan. Suatu hari Yudi (bukan nama sebenarnya) kedapatan mencuri seekor ayam. Dengan ”dikalungi” ayam yang dia curi tersebut, Yudi diminta untuk berjalan keliling kampung sembari mengatakan, ”Saya mencuri ayam.”
Para ibu rumah tangga pun banyak yang kemudian jatuh kasihan, iba, dan menangis menyaksikan ”hukuman” yang dijatuhkan warga kepada Yudi. Model terapi ”hukuman” seperti itu, selain menimbulkan efek jera kepada Yudi, juga membuat para orangtua lebih memperhatikan tingkah laku anak-anak mereka.
”Orang yang kena ’hukuman’ biasanya kemudian bertobat dan berubah menjadi ’orang baik’. Para orangtua juga lebih memperhatikan tingkah laku anak-anaknya. Ya, setidaknya mereka menjadi berpikir, ’Andaikan hal yang sama menimpa anak mereka, lalu bagaimana’,” tutur Rais, anak kedua dari tiga bersaudara putra dari pasangan Raden Candra dan Baiq Hj Fatmah ini.
Sanksi-sanksi adat tersebut diwujudkan dalam awig-awig atau aturan, yang termasuk diberlakukan pula dalam bidang pendidikan. Kondisi itu mengingat sebelum tahun 2003 anak-anak di 12 dusun di Desa Mambalan tidak ada yang bersekolah.
Oleh karena itulah, melalui awig-awig kemudian ditetapkan pula bahwa setiap orangtua harus mendorong anak-anaknya untuk belajar di sekolah. Bila awig-awig tersebut tidak diindahkan oleh warga desa, tokoh agama dan adat, kepala dusun, serta kepala desa akan mendatangi orangtua bersangkutan.
Kemudian orangtua itu diingatkan akan sanksi yang bakal ditimpakan kepadanya, seperti tidak dilayani keperluan administrasi untuk mendapatkan subsidi beras miskin atau kartu keluarganya bisa ditahan.
”Bisa juga warga tidak menghadiri acara hajatan orangtua bersangkutan dan di halaman rumahnya dipasangi bendera hitam. Bendera hitam itu baru dibuka setelah orangtua tersebut mau menyekolahkan anaknya,” kata Rais.

Membatasi waktu kunjungan

Sanksi nyaris serupa diberlakukan pula dalam bidang kesehatan. Pasalnya, ibu melahirkan umumnya lebih suka ditolong dukun tatkala bersalin. Alasannya, selama tenaga sang ibu belum pulih sehabis melahirkan, sang dukunlah yang mengurus semua keperluan rumah tangga yang bersangkutan.
Untuk semua jasanya itu, biasanya sang dukun dibayar oleh keluarga yang membutuhkan itu dengan 5 kilogram beras dan uang sekitar Rp 2.000. Layanan seperti itu tidak didapatkan warga bila si ibu melahirkan di puskesmas atau ditolong bidan. Karena itu, tidak mengherankan bila angka kematian bayi dan ibu di Desa Mambalan relatif tinggi.
Ketentuan lainnya menyangkut upaya untuk menekan perkawinan usia dini. Aturan tersebut terutama diperuntukkan bagi lelaki yang midang atau mengunjungi pacar. Waktu untuk mengunjungi pacar itu dibatasi sampai pukul 22.00.
Sementara untuk menunda usia pernikahan kaum perempuan di Desa Mambalan, diminta agar mereka yang berusia SD, SMP, dan SMA harus menunda untuk menikah.
Penundaan perkawinan itu dalam adat Sasak Lombok disebut kawin gantung. Dalam penundaan perkawinan ini biasanya waktu ijab kabul kemudian dilakukan setelah mereka lulus sekolah, atau setidaknya lebih siap secara fisik dan mental.
Memang, Rais mengakui bahwa ada tiga kepala keluarga yang melanggar aturan pernikahan dini tersebut. Pasalnya, orangtua pihak keluarga perempuan yang berasal dari Desa Mambalan dan pihak keluarga lelaki tanpa sepengetahuan warga telah melangsungkan pernikahan tersebut. Konsekuensinya, tiga kepala keluarga itu diusir dari kampong mereka.
Namun, umumnya aturan itu bisa berjalan efektif sebab warga sendiri yang merasakan langsung sanksi tersebut. Hasilnya, selama tahun 2008-2013 tidak ada lagi anak usia sekolah yang menganggur, sekitar 90 persen ibu di desa ini mau menimbangkan bayinya ke posyandu, dan persalinan pun umumnya ditolong petugas kesehatan dan dukun terlatih.

Menjual kemiskinan

Rais bercerita, mereka harus menempuh jalan panjang sebelum berhasil mencapai kondisi masyarakat desa seperti sekarang ini. Misalnya, dia sempat dituduh sebagian warga hendak membangkitkan feodalisme karena bersikeras mengangkat dan menerapkan aturan adat dalam kehidupan sosial.
Rais juga pernah diancam hendak diusir dari desanya karena dia dituding sebagian warga mau ”menjual kemiskinan” lewat Lembaga Adat Paer Mambalan yang dibentuk dan diketuainya.
Tudingan itu ternyata keliru karena lembaga tersebut belakangan juga difungsikan sebagai pusat pengaduan masyarakat yang bermanfaat, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat juga membantu Rais melakukan pendampingan bagi warga. Beberapa puskesmas pun bekerja sama dengan Rais guna memantapkan program standar pelayanan minimum.
Tahun 2012, lembaga adat yang dipimpin oleh Rais tersebut mendapat alokasi anggaran Rp 7 juta dari Alokasi Dana Desa (ADD). Dana tersebut kemudian dia gunakan antara lain untuk program sosialisasi yang berkaitan dengan bidang kesehatan, mulai dari biaya membuat akta kelahiran dan akta pernikahan, penyuluhan gizi, sampai kesehatan reproduksi.
Dari pengalamannya selama ini, Rais ingin menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesulitan hidup bisa diatasi sendiri oleh masyarakat tersebut asalkan disertai kesungguhan untuk melepaskan diri dari belenggu kesusahan yang dihadapi.
Dia membuktikannya sendiri. ”Mustahil saya meraih penghargaan MDG tanpa dukungan penuh warga desa kami,” kata Rais.
—————————
Raden Mohamad Rais
Lahir: Desa Mambalan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 31 Desember 1965
Istri: Jero Marni
Anak: 7 orang
Pendidikan:
SD sampai kelas III tahun 1974
Paket A lulus tahun 2000
Paket B lulus tahun 2002
Paket C lulus tahun 2004



Pertumbuhan dan Stabilitas

Oleh: Mirza Adityaswara 



Mengelola pertumbuhan ekonomi adalah seperti menyetir kendaraan. Pada saat kondisi jalan lurus dan lancar, maka pedal gas boleh diinjak kencang, tetapi laju kendaraan tidak boleh melanggar batas maksimum kecepatan.

Jika kondisi jalan menuju tikungan, rem mulai diinjak. Jika pedal gas terus diinjak dengan kecepatan maksimum, bisa dipastikan kendaraan akan menabrak dan penumpang celaka. Akan tetapi, menginjak rem juga harus dengan cermat. Jika rem mendadak terlalu dalam, penumpang akan kaget dan bisa juga cedera. Di sinilah tugas penting bagi pengemudi untuk menyetir dengan kecepatan terukur yang aman bagi penumpang.

BI sebagai pengemudi

Bank Indonesia adalah layaknya pengemudi kendaraan, yaitu pengemudi ketersediaan uang beredar di Indonesia. Kecukupan jumlah uang beredar, baik itu uang kertas maupun uang giral, akan memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Sumber uang beredar ada dari dalam negeri dan dari aliran modal luar negeri.
Jika aliran modal dari luar negeri berlimpah, uang beredar juga melimpah sehingga suku bunga akan turun dan akan memacu roda perekonomian. Tetapi jika aliran modal asing berkurang, uang beredar juga akan menurun sehingga suku bunga meningkat, laju perekonomian melambat. Hanya saja berbeda dengan pengemudi kendaraan di mana penumpangnya dapat melihat kondisi jalan yang dilalui, sebagian besar pelaku ekonomi yang merupakan ”penumpang” tidak memahami kondisi ekonomi yang sedang dilalui. Akibatnya, pada waktu Bank Indonesia mulai menginjak rem, penumpang kebingungan, bahkan mengomel.
Banyak anggota masyarakat tidak mengerti bahwa ekonomi yang sedang kita jalani di tahun 2013 ini cukup menantang, tidak seperti situasi tahun 2010-2011. Pada tahun 2010 dan 2011, kinerja ekspor masih bagus sehingga terjadi surplus neraca barang dan jasa (neraca berjalan), serta anggaran pemerintah defisitnya terkendali di bawah 2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tetapi saat ini primadona ekspor komoditas tambang menurun cukup signifikan, sedangkan impor bahan bakar minyak (BBM) serta impor nonmigas masih kencang. Akibatnya, defisit neraca berjalan membengkak di atas 2 persen dari PDB.
Pemerintah akhirnya berani mengatasi ”sebagian” problem defisit neraca berjalan dan defisit APBN dengan sedikit mengurangi subsidi BBM walaupun akibatnya untuk sementara waktu inflasi meningkat. Akan tetapi, pengurangan subsidi BBM tersebut tampaknya belum cukup signifikan menurunkan defisit neraca berjalan karena laju impor masih terlalu kencang, sedangkan ekspor semakin melambat.
Defisit neraca berjalan serta defisit APBN harus dibiayai oleh aliran modal masuk. Masalahnya aliran modal asing sudah mulai berkurang karena bank sentral Amerika (The Fed) akan mengurangi injeksi likuiditas. Investor asing akan selektif, hanya mau masuk ke pasar modal Indonesia jika rasio makroekonomi dijagaprudent. Jika defisit neraca ekspor impor dibiarkan memburuk serta modal portofolio stop masuk ke Indonesia, risikonya adalah devisa negara akan terus tergerus untuk membiayai laju impor. Risiko lainnya adalah kemampuan pembiayaan APBN akan berkurang signifikan.
Faktanya investor portofolio asinglah yang mendanai 30 persen dari pembiayaan APBN. Risiko ini bukan risiko di atas kertas, melainkan sudah terjadi. Buktinya cadangan devisa telah turun di bawah 100 miliar dollar AS demi membiayai impor, serta imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) telah meningkat 3 persen dibandingkan dengan tiga bulan yang lalu. Artinya, biaya bunga utang pemerintah telah meningkat. Contohnya, imbal hasil SUN berjangka waktu 10 tahun telah meningkat dari 5,2 persen menjadi 8,2 persen.

Ketergantungan impor kronis

Ketergantungan negara ini terhadap impor sudah sangat kronis, mulai dari barang modal (mesin), bahan baku, bahan penolong, barang konsumsi, sampai dengan bahan pangan. Keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan negara maritim tidak dimanfaatkan. Kebijakan jangka panjang untuk menguatkan industri dalam negeri memerlukan komitmen bersama dari pusat sampai daerah, termasuk komitmen pengusahanya. Menjadi pedagang (importir) memang lebih mudah dibandingkan membangun industri, tetapi akibatnya devisa terus tersedot.
Dalam jangka pendek, jika kebijakan fiskal (pengurangan subsidi BBM) tidak cukup ampuh menekan defisit neraca berjalan serta defisit APBN, terpaksa kebijakan moneter yang harus digunakan. Oleh karena itu, BI sekarang mulai injak rem, menyerap kelebihan uang beredar, yaitu dengan cara sedikit menaikkan suku bunga dan sedikit melakukan depresiasi rupiah. Dampak dari kenaikan suku bunga adalah penurunan pertumbuhan kredit dan pelambatan pertumbuhan ekonomi, tetapi setelah itu diharapkan inflasi akan menurun dan impor akan melambat.
Selain dengan kenaikan suku bunga, penurunan impor dapat dicapai dengan depresiasi rupiah sambil mendukung daya saing ekspor, mendorong neraca berjalan menjadi surplus atau paling tidak defisitnya menurun ke batas yang wajar, di bawah 2 persen PDB.
Jadi, kenaikan sebanyak 0,75 persen suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (Fasbi) menjadi 4,75 persen dan BI Rate menjadi 6,5 persen, serta depresiasi rupiah di atas Rp 10.000 per dollar AS memang dirancang untuk melambatkan ekonomi demi mengembalikan angka rasio makroekonomi Indonesia pada jalur yangprudent. Bahkan BI menggabungkan kenaikan suku bunga dengan kebijakan LTV (loan to value ratio) di kredit properti, yaitu menaikkan rasio uang muka kredit pembelian rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Tentu saja banyak pihak yang tidak suka dengan pelambatan ekonomi, apalagi Indonesia sedang memasuki tahun pemilu. Inilah pentingnya komunikasi publik tentang suatu kebijakan.

China juga melambat

Apakah hanya Indonesia yang secara sengaja melambatkan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013? Ternyata China juga mengambil strategi yang sama. Dalam rangka mencegah kenaikan harga tanah yang tidak terkendali serta mengurangi polusi lingkungan, maka pemimpin China dengan sengaja melambatkan laju ekonomi.
Strategi ini berbeda dengan situasi di tahun 2009. Pada saat dunia mengalami resesi pada tahun 2009, Pemerintah China menggenjot pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan kredit agar ekonominya tetap tumbuh di atas 8 persen. Akan tetapi, sekarang Pemerintah China tidak mau lagi menggenjot investasi fisik yang ”sembrono’ karena akan membuat kapasitas yang berlebihan, pada akhirnya menjadi kredit macet. Bahkan China secara sengaja mengetatkan likuiditas untuk menurunkan pertumbuhan kredit lembaga keuangan non bank. Jadi China secara sengaja tahun ini tumbuh di bawah 8 persen. Yang terkena dampak adalah Indonesia. Kinerja ekspor komoditas pertambangan Indonesia semakin menurun karena pelambatan ekonomi China.

Suku bunga dan depresiasi

Berapa kenaikan suku bunga dan depresiasi rupiah yang dianggap normal? Hal tersebut bergantung pada ekspektasi terhadap inflasi satu tahun kedepan. Setelah kenaikan harga BBM, maka ekspektasi inflasi meningkat ke 8-9 persen sehingga berakibat imbal hasil SUN meningkat ke 8,2 persen. Ini merupakan kenaikan biaya bunga bagi pemerintah dan pengusaha. Berhubung BI ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka BI mengurangi pembelian SUN untuk sementara waktu. Jika inflasi mulai turun setelah Lebaran, inflasi pada tahun 2014 semoga sudah kembali ke bawah 5,5 persen. Jika Fasbi naik kembali 0,5 persen ke maksimum 5,25 persen, ekspektasi inflasi bisa diturunkan lebih cepat sehingga imbal hasil SUN tenor 10 tahun akan kembali turun ke bawah 6 persen pada awal tahun 2014. Terbukti, setelah BI menaikkan suku bunga, beberapa hari terakhir imbal hasil SUN berjangka waktu 10 tahun telah membaik turun ke 7,6 persen.
Bagaimana dengan depresiasi rupiah? Kurs mata uang negara lain seperti Filipina, Malaysia, India, Brasil, dan Turki juga melemah mulai 4 persen sampai dengan 8 persen. Rupiah baru melemah sekitar 5 persen. Jika kurs rupiah tidak ikut melemah, rupiah justru akan dianggap over value yang berakibat ekspor produk manufaktur Indonesia kehilangan daya saing. Selain itu, impor juga akan semakin meningkat.
Depresiasi rupiah terhadap dollar AS yang masih dianggap normal merupakan selisih antara inflasi Indonesia tahun ini (8 persen) dan inflasi Amerika (1,8 persen), artinya depresiasi 6,2 persen masih merupakan hal yang wajar, bahkan bermanfaat buat negeri ini.

(Mirza AdityaswaraEkonom)



Kegagalan Reformasi

Oleh: Miftah Thoha  


Rangkap jabatan, yakni jabatan sebagai pimpinan partai politik dan sebagai pejabat negara (pejabat politik), telah lama dikeluhkan. Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apa pun—baik etika, manajemen, sosial, politik, maupun ekonomi—kurang pantas. Selain kurang patut, rangkap jabatan itu merupakan saluran untuk berbuat menyimpang atau korupsi.

Penggunaan fasilitas negara tidak mungkin bisa dihindari oleh pejabat tersebut, baik itu besar maupun kecil, disadari atau tidak, ketika pejabat tersebut melakukan aktivitas yang sulit dibedakan antara tugas negara atau tugas partainya.
Contohnya, seorang menteri yang merangkap jabatan pimpinan partai pada suatu hari meresmikan proyek pembangunan pemerintah di luar Jawa dan pada sore harinya membuka rapat kerja partainya. Bisakah menteri tersebut memisahkan antara tiket dan biaya perjalanan serta akomodasi yang dipergunakan yang dibiayai negara dan yang dibiayai partainya?
Hal ini baru tiket yang biayanya sedikit. Bagaimana kalau biayanya besar dan fasilitasnya proyeknya juga besar? Bukankah ini saluran korupsi yang seharusnya sudah diperbaiki dalam reformasi birokrasi pemerintah semenjak masa Reformasi, karena gejala ini sudah lama berlaku dalam riwayat birokrasi pemerintah kita semenjak Orde Lama, Orde Baru, dan yang sekarang.

Pejabat politik

Semenjak pemerintahan BJ Habibie mengumandangkan pelaksanaan pemerintahan yang demokratis pada 1999, semenjak itu pula partai politik mulai memerintah birokrasi pemerintahan. Mulailah kita mengenal jabatan dan pejabat politik. Pada zaman pemerintahan sebelumnya, Presiden Soeharto tidak menyebutnya jabatan atau pejabat politik, tetapi jabatan atau pejabat negara.
Sebutan jabatan dan pejabat negara memang bagus karena semuanya untuk kepentingan negara, walaupun pejabatnya sejatinya juga pejabat politik. Di sinilah mulai kabur antara penggunaan fasilitas dan kekayaan negara dengan milik golongan politik yang memerintah.
Tampaknya kondisi ini akibat luputnya perhatian pemerintah untuk menata hubungan antara jabatan negara dan jabatan politik sehingga rangkap jabatan dibiarkan berlarut-laruat sampai hari ini. Hal ini sekaligus menunjukkan gagalnya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Banyaknya korupsi oleh pejabat politik yang memimpin birokrasi, mulai dari menteri, gubernur, bupati hingga wali kota, bahkan juga anggota Dewan, membuktikan rangkap jabatan sangat menyuburkan saluran korupsi kekayaan negara. Kondisi ini sebenarnya bisa diakhiri jika pemerintah jeli memperhatikan persoalan ini dan pimpinan partai politik menyadarinya.
Dalam literatur ilmu politik dengan tegas ditekankan bahwa jika pimpinan partai dipercaya memegang jabatan sebagai pejabat negara, saat itu pula harus selesai hubungan politik yang bersangkutan dengan partainya. Kesadaran mengenai hal ini merupakan dasar pengendalian diri untuk membedakan antara milik negara dan milik partai politik. Nanti jika jabatan negaranya selesai, dia bisa kembali ke jabatan partainya.
Semua ini bisa terwujud jika semua undang-undang—mulai dari undang-undang partai politik hingga undang-undang pemilu, undang-undang pemilihan presiden dan kepala daerah, undang-undang aparatus sipil negara, dan undang-undang pemerintahan daerah—menetapkan secara tegas dilarangnya rangkap jabatan tersebut.

Jabatan negara

Istilah jabatan negara sebaiknya dipergunakan untuk mengganti istilah jabatan politik. Undang-undang yang berlaku sampai sekarang masih memakai istilah jabatan negara. Adapun istilah jabatan politik belum pernah disebutkan di dalam undang-undang yang ada. Walaupun yang bersangkutan bisa saja dari partai politik, tetapi setelah memegang jabatan negara seperti presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati atau wali kota, maka tidak ada lagi kaitan dengan partainya.
Mereka semua hanya semata-mata melakukan tugas negara untuk kepentingan seluruh rakyat di negara tersebut. Jika saat didirikan tujuan semua partai politik adalah bukan untuk mempertajam ego sektoral partai masing-masing melainkan untuk kepentingan nasional, maka kejayaan negara dan kepentingan seluruh rakyat dan bangsa akan mudah dicapai.
Di era pemerintahan Orde Baru, tidak dikenal adanya jabatan politik. Hal ini selain karena Presiden Soeharto tidak menyukai politik, juga karena pejabatnya berasal bukan dari partai politik melainkan dari Golongan Karya yang bukan partai politik.
Perubahan sistem politik yang terjadi selama era Reformasi tidak cepat direspons oleh pemerintahan yang sekarang sehingga tatanan birokrasi kita tidak jelas mengatur hubungan dan prosedur kerja yang harus dijalankan mengenai jabatan politik ini.
Selain rangkap jabatan, klasifikasi jabatan politik dan jabatan karier birokrasi pemerintah juga harus jelas. Benarkah panglima TNI, kapolri, jaksa agung bukan jabatan politik? Mengapa selama ini pengangkatan orang untuk jabatan-jabatan itu harus diuji kelayakannya oleh DPR sebagai lembaga politik? Hal-hal yang tidak jelas seperti ini menuntut adanya penataan jabatan-jabatan politik dalam sistem birokrasi pemerintah.
Sebagaimana lazimnya di dalam negara demokrasi, Panglima TNI adalah jabatan karier di bidang militer, demikian pula kapolri adalah jabatan karier kepolisian. Kedua jabatan itu sama statusnya sebagai jabatan karier seperti sebutan untuk pegawai negeri sipil mulai dari pejabat karier eselon satu ke bawah.
Proses perekrutan dan promosinya harus dijauhkan dari suasana dan arena politik yang secara melembaga diwakili oleh lembaga politik DPR. Pengangkatan dan promosinya berada di wilayah pemegang kekuasaan penyelenggara pemerintah, yakni presiden, bukan berada di wilayah pemegang kekuasaan perundang-undangan atau politik. Panglima TNI dan kapolri adalah pembantu presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Oleh karena itu, seharusnya pengangkatan dan promosinya di atur dalam keputusan presiden dan tidak perlu dibawa dan dimintakan persetujuan atau diuji kelayakan oleh DPR. Jabatan panglima TNI ataupun kapolri sama seperti jabatan karier, dibatasi dengan usia pensiun. Artinya, ia harus diganti jika telah sampai umur pensiun.
Yang kelayakannya seharusnya diuji oleh DPR adalah pejabat politik. Misalnya, para menteri sebelum dilantik oleh presiden dimintakan persetujuan politik kepada DPR seperti di negara-negara parlementer. Jabatan politik atau jabatan negara tidak dibatasi oleh usia pensiun kecuali ada undang-undang yang mengatur batasan usia pensiunnya.
Politik dan birokrasi memang sulit dipisahkan, tetapi bisa dibedakan untuk tatanan pemerintahan yang demokratis dan untuk menciptakan tatanan sistem pemerintahan yang bersih. Semuanya itu telah luput dari perhatian reformasi.


Miftah ThohaGuru Besar Magister Administrasi Publik UGM; Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)






Demokrasi Kriminal Mendelegitimasi Negara

ANALISIS POLITIK

Oleh YUDI LATIF


Klaim moral pertama dari dasar keberadaan negara adalah kesanggupannya melindungi warga dari mara bahaya (harm). Jika gagal memenuhi hal itu, negara tersebut kehilangan legitimasinya.
Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini memperlihatkan situasi mengerikan. Negara tidak saja gagal melindungi warganya, tetapi juga gagal melindungi dirinya sendiri. Ekspresi kekerasan mengemuka dalam ragam bentuk: kekerasan warga atas warga; kekerasan antarsindikat; kekerasan negara atas warga; kekerasan warga (teroris) atas negara; serta kekerasan antaraparat negara (tentara versus polisi, polisi versus polisi).
Dengan membuncahnya aneka ekspresi kekerasan tersebut, negara mengingkari demokrasi dan konstitusi. Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, bertentangan dengan spirit dan substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat institusinya merupakan suatu sarana non-kekerasan.
Di bawah kondisi demokratis, kepentingan dan kekuasaan tidak bisa diperoleh melalui jalan pemaksaan, tetapi melalui jalan konsensus yang memerlukan penghormatan publik atas rule of law. Demokrasi merupakan suatu sistem pembagian kekuasaan secara legal yang aktornya sama-sama menghindari bahaya kekerasan dan juga diuntungkan oleh ketiadaan kekerasan.
Demokrasi Indonesia yang didarahi aneka bentuk kekerasan mengindikasikan bahwa pelaksanaannya belum mampu mentransformasikan gerak sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi hanyalah peralihan dari situasi otoriter menuju situasi lemah otoritas (hukum) dengan risiko yang lebih mengerikan. Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills memperlihatkan potret yang mengerikan bahwa penduduk di bawah sistem demokrasi lemah otoritas berpeluang mati lebih besar ketimbang di bawah sistem kediktatoran. Sebagai contoh, harapan hidup warga negara demokratis Haiti hanya mencapai 57 tahun dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah kediktatoran Kuba yang mencapai 77 tahun.
Demokrasi memang bermaksud menghilangkan pemerintahan otoriter, tetapi tidak bisa ditegakkan tanpa wibawa otoritas. Tanpa wibawa otoritas negara hukum (nomokrasi), demokrasi bisa mengarah kepada anarki, yang dapat merebakkan ragam ekspresi kekerasan. Di dalam merebaknya ekspresi kekerasan, demokrasi melakukan tindakan bunuh diri.
Dengan merebaknya ekspresi kekerasan, negara juga mengingkari tugas konstitusionalnya: ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Lebih dari itu, nyaris tidak ada perbantahan antara teoretikus negara lintas zaman dan lintas ideologis, mulai dari Niccolo Machiavelli, John Stuart Mill, hingga pengusung indikator gross national happiness, dalam menempatkan tugas perlindungan negara atas warga di jantung dari segala kontrak negara dengan rakyatnya.
Pentingnya proteksi warga dari bahaya juga menjadi latar yang membentuk liberalisme modern. Dalam tulisan-tulisan John Stuart Mill ditekankan, satu-satunya justifikasi bagi tindakan melawan yang lain adalah perlindungan diri (self-protection) dan satu-satunya rintangan atas kebebasan yang bisa dijustifikasi adalah rintangan untuk mencegah bahaya bagi orang lain. Kebebasan (mengekspresikan) agama, misalnya, bisa dibatasi oleh perlindungan atas keselamatan publik (public safety), ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public health), moral publik (public morals), serta perlindungan hak dan kemerdekaan (rights and freedom).
Perlindungan atas keselamatan warga dan negara penting karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial, bukan saja agar hidup berjalan, melainkan juga agar rakyat bisa hidup secara baik. Data komparatif lintas negara membenarkan bahwa stabilitas dan ketertiban politik, pemerintahan hukum dan keadilan, sangat menentukan bagi pencapaian kebahagiaan. Tingkat kebahagiaan bangsa tertinggi pada umumnya ditemukan di negara-negara demokrasi yang stabil, seperti Norwegia, Swiss, dan Denmark, yang mengindikasikan betapa pentingnya pemerintahan yang kuat, stabil, protektif, dan legitimate bagi kebajikan dan kebahagiaan hidup warga (Geoff Mulgan, 2006).
Para pendiri bangsa secara visioner telah menempatkan tugas perlindungan negara atas segenap bangsa dan seluruh tumpah darah sebagai dasar legitimasi negara yang pertama. Masalahnya, dalam semangat penyelenggara negara yang lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan dirinya, kepentingan dan keselamatan warga bisa saja dikorbankan. Di dalam kepentingan sempit penguasa zalim, negara tidak saja gagal melindungi korban, tetapi bisa saja memihak elemen-elemen kekerasan demi keberlangsungan kekuasaan. Maka, dalam demokrasi yang menghendaki pemuliaan hak-hak asasi manusia, nyawa manusia di negeri ini justru kian murah.
Praktik demokrasi yang gagal melindungi warga dari segala bentuk kekerasan adalah praktik demokrasi kriminal yang tak patut dipertahankan. Demokrasi yang dirayakan dengan kekerasan tidak saja membinasakan demokrasi itu sendiri, tetapi juga mendelegitimasi negara, yang akan menjatuhkan konsepsi negara paripurna menjadi kekacauan paripurna.

(Yudi Latif,  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan)



Thursday, July 25, 2013

Pertumbuhan Tidak Optimal. Inflasi Sudah Mencapai 2,77 Persen




JAKARTA, KOMPAS Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 tak akan optimal. Tekanan pelambatan ekonomi global memang menjadi faktor eksternal. Namun, dari sisi internal, pemerintah terlambat menuntaskan pekerjaan rumahnya.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan M Chatib Basri, dan Menteri Perindustrian MS Hidayat mengadakan rapat koordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo di Kantor BI, Jakarta, Kamis (25/7). Rapat membahas perkembangan kondisi moneter, fiskal, dan perekonomian secara umum.
”Kami sepakat untuk menjaga momentum pertumbuhan. Tampaknya akan ada koreksi ke bawah karena situasi global belum membaik,” kata Hatta.
Meski demikian, kata Hatta, pemerintah akan tetap berusaha mencapai target pertumbuhan ekonomi 6,3 persen. Peluangnya ada, tetapi perlu beberapa langkah ekstra. Hatta kemudian memaparkan langkah-langkahnya.
Pertama, pemerintah akan menjaga inflasi pada tahun 2013 sesuai target, yakni 7,2 persen. Kedua, pemerintah mempercepat penyerapan anggaran belanja negara dengan tetap menjaga tata kelola yang baik.
Ketiga, pemerintah akan menggenjot investasi. Ini dilakukan dengan relaksasi sejumlah insentif, pemangkasan peraturan yang dinilai menghambat dan tidak memiliki payung hukum, dan revisi daftar negatif investasi (DNI). Ini sedang dikerjakan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.

Inflasi 2,77 persen

Menurut Agus, inflasi sampai dengan minggu ketiga Juli mencapai 2,77 persen. Jika tak ada usaha ekstra untuk menurunkan inflasi pada sisa periode 2013, inflasi tahun ini bisa mencapai 8 persen. Adapun target pemerintah 7,2 persen.
Jika inflasi tidak terkendali, kata Agus, BI akan merespons melalui bauran kebijakan, di antaranya dengan nilai tukar, peredaran uang, dan suku bunga.
”Suku bunga tentu akan berdampak terhadap masyarakat luas. Nilai tukar berdampak terhadap eksportir dan importir dan perdagangan secara umum. Ini yang kami timbang secara hati-hati,” kata Agus.
Berkaitan dengan inflasi, Kompas mencatat, usaha pemerintah mengendalikan inflasi pada Juli sangat lamban. Padahal, tren melambungnya inflasi sudah terbaca karena ada dua faktor pemicu, yakni kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan bulan Ramadhan-Lebaran. Harga-harga pangan pun melambung. Penurunan harga diperkirakan baru akan terjadi pekan ketiga Juli
Usaha mempercepat penyerapan belanja adalah wacana klasik. Namun, kenyataannya belum ada perbaikan berarti.
Adapun usaha mengevaluasi insentif dan aturan guna menggenjot investasi dampaknya baru akan terasa pada tahun 2014. Dengan demikian, investasi tahun ini tumbuh, tetapi lajunya melambat.
Chatib menyatakan, secara umum perekonomian Indonesia masih sejalan dengan dinamika perekonomian global. Pertumbuhan Indonesia di atas 6 persen adalah yang tertinggi kedua setelah China 7,7 persen. India hanya tumbuh 4,8 persen. (LAS)



KOLABORASI SENI. Seniman Indonesia Berpeluang Mendunia


JAKARTA, KOMPAS  —  Banyak cara bisa ditempuh seniman Indonesia masuk kancah internasional. Seperti dilakukan seniman atau perupa Yogyakarta, Eko Nugroho, melalui lukisannya yang dijadikan produk scarf oleh rumah mode kenamaan Louis Vuitton.

Lukisan Eko yang dipakai rumah mode Louis Vuitton (LV) berjudul ”Giant Square”. Karya itu berdasarkan falsafah budaya Indonesia yang terinspirasi dasar laut, tanah, dan udara sebagai simbol demokrasi. Pada 23 Juli, ”Giant Square” diluncurkan di gerai LV di Jakarta.
Kritikus seni rupa yang juga dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, Kamis (25/7), mengatakan, pencapaian Eko itu prestasi yang patut diapresiasi tinggi. ”Sebagai merek, Louis Vuitton sangat cerdas, mau berkolaborasi dengan seniman,” katanya.
Pencapaian itu membuktikan Eko masuk peta internasional sehingga pantas diapresiasi dan dicatat namanya. ”Ini sekaligus membuktikan industri kreatif secara konkret mewujud dalam bentuk nyata,” kata Suwarno.

Era terbuka

Upaya LV itu diharap menginspirasi pemilik merek penting dan mapan yang lain. ”Ke depan, tugas seniman mencari posisi dengan ide-ide yang tak hanya kritis dan artistik, tetapi juga bisa beradaptasi dengan perkembangan global. Ide kritis dan artistik penting untuk menyambut era yang kian terbuka,” katanya.
Sebelum berkolaborasi, Eko yang lulusan ISI Yogyakarta rajin pameran seni di sejumlah negara. Tahun 2012 ia menggelar pameran di Musee d’Art Moderne, Paris, dengan kurator dari Espace Culturel Louis Vuitton.

Menurut kurator seni rupa Asikin Hasan, pencapaian Eko menunjukkan kuatnya dunia industri menarik dunia seni. Saat ini, negosiasi yang dianggap seni dan di luar seni selalu terbuka.
Contohnya upaya perusahaan mobil pabrikan Jerman yang menggandeng seniman pop art. ”Bagi perupa, tentu peluang baik. Perupa terus saja berkarya sesuai sikap dan karakternya, jangan sampai posisi tawar ini jadi berat sebelah supaya perupa tidak didikte,” katanya. (DOE)



Empat Negara Makin Penting: Brazil, India, Indonesia, Turki.

AS Tidak Bisa Lagi Abai karena Ada Ancaman dari China



JAKARTA, KOMPAS  — Ada empat negara penting di dunia yang akan berperan menjadi penentu tatanan global pada masa datang. Keempat negara itu adalah Brasil, India, Indonesia, dan Turki. Amerika Serikat harus bisa merangkul empat negara ini demi tatanan dunia baru yang lebih baik. Demikian dikatakan Daniel M Kliman dari lembaga German Marshall Fund of The United States.

Dia berbicara di gedung Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Kamis (25/7), dalam diskusi bertema ”Global Swing States: Brazil, India, Indonesia, Turkey, and The Future of Global Order”.
Dalam konteks politik AS, swing states adalah sebutan bagi negara-negara yang memiliki pengaruh kuat dan berdampak besar bagi tatanan global. Brasil, India, Indonesia, dan Turki tidak diragukan lagi akan menjadi kekuatan besar.
Ini, antara lain, karena pertumbuhan ekonomi dan besaran penduduknya. Empat negara ini, menurut Kliman, bisa memperbaiki dan meningkatkan kualitas tatanan internasional yang dalam pandangan empat negara ini masih jauh dari sempurna.

Dikatakan, AS kini sedang menghadapi China yang semakin menyulitkan dalam banyak hal dalam konteks geopolitik. Penciptaan sebuah keputusan internasional yang diinginkan juga lebih sulit jika dibandingkan dengan sebelum China mencuat ke percaturan global.

Kredibel

Di sisi lain, pada masa depan dibutuhkan tatanan dunia internasional yang lebih kuat dan lebih kredibel. Hal ini tetap dibutuhkan untuk mempertahankan perdamaian dan kemakmuran global.
Namun, hal tersebut tampaknya susah didapat dengan mengharapkan China semata. Karena itu, Indonesia, Brasil, India, dan Turki menjadi harapan. Selain karena demokratis, juga semakin kuat dan berpengaruh.
Walau empat negara ini berpotensi besar di arena internasional, potensi kerja sama di antara mereka juga kecil kemungkinan terwujud karena perbedaan kepentingan dan aspirasi. Di sisi lain, masih ada tantangan bagi empat negara ini memenuhi potensinya karena masih banyaknya persoalan domestik.
Karena itu, tantangan bagi empat negara ini adalah apakah mereka akan mengutamakan kepentingan dunia yang juga penting atau lebih berkutat pada masalah sendiri. Jadi, empat negara ini masih berpotensi terombang- ambing di antara pilihan untuk turut bermain di tatanan global atau lebih fokus ke urusan domestik.

Belum direalisasikan

Karena itu, Kliman menyarankan agar AS turut berperan mengembangkan dan membangun empat negara ini. Dia mengkritik Pemerintah AS karena selama ini sudah ada banyak program kerja sama, tetapi masih sekadar wacana yang jauh dari realisasi.
Dalam rangka memperkuat swing states ini, Kliman memberikan sejumlah petunjuk bagi pemerintahan AS tentang cara membantu. ”Pola bantuan AS kepada negara-negara ini juga dianjurkan tidak seragam karena kepentingan dan aspirasi yang berbeda pula bagi empat negara itu,” kata Kliman.

Kepada Indonesia, saran dari German Marshall Fund adalah perbaikan ekonomi dan sistem ekonomi. Hal ini, antara lain, bisa dilakukan dengan perbaikan cara kerja perusahaan-perusahaan negara yang tidak mau bersaing secara adil. Pengembangan perdagangan juga harus didalami antara AS dan Indonesia.
AS juga disarankan ikut membantu pengembangan militer Indonesia. Hal itu penting, termasuk untuk menengahi sengketa wilayah di Laut China Selatan.
AS diminta mendekati berbagai unsur di Indonesia yang akan menjunjung nilai-nilai demokrasi dan berkepentingan internasional.
Segala sumber daya yang ada diminta dikerahkan untuk menopang posisi Indonesia di panggung global, sekaligus penguatan struktur domestik dalam negeri Indonesia.
Dikatakan, taruhan akan besar jika AS dan empat negara sulit menyatukan kekuatan. Sebaliknya, jika kolaborasi berhasil, akan tercipta dunia yang lebih baik. (MON)



Kapal Malaysia dan Jakarta Jarah Perairan Derawan

PERAIRAN KONSERVASI



BERAU, KOMPAS —Perairan Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, terus terancam penjarahan. Dua kapal nelayan dari Jakarta dan 12 perahu kecil dari Sampurna, Malaysia, ditangkap di perairan konservasi itu pada Senin (22/7). Dari kapal-kapal tersebut ditemukan empat penyu dan lebih dari 20 ikan pari manta yang mati karena dijaring.

”Kapal dan perahu berikut 25 awaknya itu kami incar sejak Senin lalu dan ditangkap. Hari ini, kami memeriksa sejumlah tangkapan dari kapal nelayan yang berangkat dari Jakarta. Hasilnya, ada dua penyu yang terjaring,” ujar Zulfikar, Camat Derawan, Selasa (23/7).
Kedua penyu itu terjaring pukat yang dilepas Kapal Motor (KM) Bahari Nusantara. Dari kapal lain, yakni KM Cahaya Cemerlang, ditemukan dua penyu di mesin pendingin. Keempat penyu itu mati. ”Selain empat penyu, ada 20 lebih ikan pari manta yang terjaring dan semuanya dalam kondisi mati. Ini menyedihkan,” ujar Bahri, Kepala Kampung Derawan.

Penangkapan sebelumnya dilakukan warga Derawan bersama TNI Angkatan Laut, polisi, dan petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau. Sebanyak 25 nelayan asal Jakarta dan 12 nelayan—yang dikenal dengan manusia perahu—diamankan sementara ke Tanjung Batu, Berau. Namun, dari perahu yang dinaiki tidak ditemukan penyu dan pari manta. Yang ditemukan adalah berbagai jenis ikan yang dikeringkan, salah satunya hiu.
Menurut Zulfikar, awak kapal dan manusia perahu ini akan diajak dialog. ”Untuk sementara, mereka ditempatkan di Kecamatan Tanjung Batu, Berau. Kami ajak dialog dulu, baru menentukan apakah perlu ditangani kepolisian atau tidak,” katanya.

Secara terpisah, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Berau Fuadi mengatakan, manusia perahu yang diketahui berlayar dari Sampurna, Malaysia, itu tidak mengantongi identitas kewarganegaraan. Karena itu, pihaknya mencari solusi untuk memulangkan mereka. Koordinator Program Kelautan Berau World Wildlife Fund Kaltim Rusli Andar mengaku cemas dengan penangkapan ikan di perairan konservasi. (PRA)



Mengubah Strategi Pembangunan

Oleh: Anwar Nasution 

KOMPAS, KAMIS, 25 JULI 2013


Semakin membesarnya defisit neraca pembayaran luar negeri—sebagai akibat penurunan nilai ekspor, kiriman (remittances) dari tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri serta pelarian modal asing—menegaskan semakin mendesaknya Indonesia segera mengubah strategi pembangunan ekonominya dan memperkuat kelembagaannya.

Nilai tukar rupiah yang merosot secara drastis selama tiga bulan terakhir tidak akan dapat direm hanya dengan kebijakan Bank Indonesia menggunakan cadangan devisanya yang sudah semakin menipis dan menaikkan tingkat suku bunga yang semakin meningkatkan biaya produksi dunia usaha. Kemampuan BI dan pemerintah membeli kembali SBI dan SUN juga terbatas. Demikian pula dengan kemampuan untuk menambah utang.

Bunga SUN rupiah jangka waktu 30 tahun sudah naik menjadi 8,75 persen dan SUN dalam dollar AS menjadi 6,91 persen. Krisis ekonomi global yang tengah berlangsung sejak tahun 2008 menunjukkan bahwa strategi yang digunakan selama 30 tahun terakhir tidak dapat dipertahankan lagi. Strategi tersebut mengandalkan ekspor bahan mentah (hasil tambang, pertanian, dan perikanan), mengirim TKI yang tidak punya keahlian serta pendidikan ke mancanegara serta industrialisasi yang terutama berorientasi pada pemenuhan pasar dalam negeri (inward-looking strategy).

Di masa lalu, penyebab kenaikan nilai ekspor komoditas primer Indonesia terutama adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi China yang rata-rata 9-10 persen setiap tahun sejak Deng Xiaoping melakukan liberalisasi perekonomiannya pada tahun 1978 dan mengundang pemasukan modal swasta asing ke negerinya. Pertumbuhan ekonomi India menyusul China, sejak negara itu melakukan deregulasi pada awal tahun 1990-an.
Kedua negara itu menjalankan strategi pembangunan yang berorientasi pada ekspor (export-led strategy atauoutward-looking strategy). Selain digerakkan ekspor, ekonomi kedua negara itu juga digerakkan investasi yang rata-rata mencapai 40 persen dari produk domestik bruto (PDB)- nya. Industrialisasi, mekanisasi, motorisasi, ataupun pembangunan gedung serta infrastruktur di kedua negara tersebut memerlukan segala jenis hasil tambang dan pertanian sehingga meningkatkan jumlah permintaan beserta tingkat harganya.
China mengekspor hasil pertanian dan industri manufaktur, sedangkan India mengutamakan ekspor jasa-jasa seperti program komputer maupun pemrosesan data. Penduduk kedua negara itu yang semakin makmur menuntut kualitas makanan yang lebih baik, termasuk hasil laut ataupun minyak goreng dari Indonesia.

Sewaktu krisis keuangan global berlangsung 2008-2009, China dan India luput dari resesi karena mengintroduksi stimulus fiskal besar-besaran untuk membangun infrastruktur, perumahan, dan perkantoran. Pemerintah-pemerintah daerah di China meminjam kredit bank untuk membangun sejumlah proyek jangka panjang dengan agunan tanah miliknya. Dewasa ini, strategi seperti itu tidak lagi dapat diulang karena ternyata banyak dari investasi tersebut yang tidak menyumbang pada peningkatan nilai tambah dan hanya menimbulkan pemborosan. Kelambatan pelunasan kreditnya telah menimbulkan krisis likuiditas dan meningkat rasio kredit bermasalah di bank-bank China.

Orientasi ekspor

Untuk meningkatkan kembali ekspor, tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, Indonesia perlu menerapkan strategi pembangunan yang berorientasi pada ekspor (export-led strategy) ataupun berorientasi ke luar (outward-looking strategy) dan mengolah sumber daya alam (resource based strategy). Melalui perubahan strategi pembangunan itu, Indonesia pun akan ikut bergabung dalam jaringan produksi global (global supply chains atau international production networks/IPN) yang telah berlangsung sejak tahun 1980-an.
IPN memanfaatkan spesialisasi vertikal yang terjadi di pasar global. IPN membagi tahap produksi antarnegara dan setiap tahap produksi merupakan produksi suku cadang maupun komponen atau perakitan komponen untuk tahap produksi selanjutnya hingga menghasilkan barang jadi. Lihatlah barang elektronik atau mobil merek apa saja, suku cadang dan komponennya adalah buatan sejumlah pabrik di sejumlah negara yang kemudian dirakit menjadi barang jadi. Berbeda dengan pertambangan yang bersifat padat modal, produksi suku cadang dan komponen barang-barang industri manufaktur, beserta perakitannya, adalah bersifat padat karya dan tidak memerlukan keahlian tinggi. Dengan terciptanya lapangan kerja di kampung halaman sendiri, akan mengurangi ekspor TKI ke mancanegara.

Ada dua model IPN, yakni model laba-laba dan ular. Model pertama menggabungkan suku cadang yang diproduksi di sejumlah negara untuk menghasilkan produk jadi atau komponen yang diperlukan pada tahap produksi berikutnya.
Dalam model kedua, urutan tahap produksi bergerak menurut garis lurus dari awal hingga akhir dan setiap tahap produksi tersebut menghasilkan nilai tambah. Kedua model IPN tersebut mengandung offshoring costs, yakni biaya transportasi suku cadang dan komponen dari satu ke lain lokasi produksi yang mungkin berada di negara yang berbeda. Dengan demikian, cukup tinggi impor negara-negara yang masuk dalam IPN akan bahan baku, suku cadang, dan komponen produksi.

Mengubah kebijakan

Untuk dapat ikut dalam IPN, Indonesia perlu mengubah berbagai kebijakannya.
Kebijakan yang pertama adalah menarik lebih banyak pemasukan modal swasta asing. Dalam IPN, perusahaan multinasional memproduksi barang dan jasa bukan saja untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, melainkan juga untuk diekspor ke pasar dunia.
Kedua, untuk menekan offshoring costs, diperlukan infrastruktur yang andal, termasuk listrik, pelabuhan laut dan udara, telepon serta Wi-Fi, terutama di daerah Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) serta Pulau Jawa yang berpenduduk padat.
Untuk membangun infrastruktur, penerimaan pajak harus ditingkatkan dari rasio penerimaan yang amat rendah, sebesar 13 persen dari PDB dewasa ini. Jika perlu, meningkatkan pinjaman dari luar negeri untuk membangun infrastruktur tersebut.
Ketiga, mengoreksi undang-undang tenaga kerja yang menyulitkan untuk memberhentikan tenaga kerja dan mewajibkan pembayaran pesangon yang sangat mahal.
Keempat, memudahkan impor dan ekspor suku cadang serta komponen yang diperlukan dalam perakitan IPN untuk menekan offshoring cost.
Kelima, memperbaiki iklim usaha mulai dari kemudahan perizinan hingga persaingan usaha yang dapat menjamin agar pemenang tender adalah perusahaan yang paling efisien dan bukan yang punya koneksi ataupun menyogok seperti kontraktor proyek Hambalang, obat atau peralatan kesehatan Kementerian Kesehatan, maupun pengadaan blangko STNK dan BPKB Korlantas.
Keenam, menjaga agar kurs devisa jangan menguat sehingga dapat memberikan insentif pada eksportir. Di dalam negeri kurs rupiah yang menguat akan memberikan insentif bagi pembangunan sektor ekonomi yang kurang efisien karena tidak diperdagangkan ke luar negeri, seperti pusat perbelanjaan, lapangan golf, maupun perumahan.
Ketujuh, memperbaiki sistem hukum agar dapat melindungi hak milik individu dan mengurangi biaya transaksi pasar. Perlu dihentikan korupsi yang semakin marak di semua tingkatan dan cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena sistem hukum kurang dapat dipercaya, orang beralih pada preman dan penagih utang untuk menagih utang.
Kedelapan, aturan perlu diterapkan secara tegas untuk mencegah kegagalan pasar (market failures) seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (1997), Bank Bali (1999), maupun Bank Century (2008).
Kesembilan, efisiensi, produktivitas, dan daya saing BUMN perlu ditingkatkan agar mampu bersaing dengan BUMN Singapura dan Malaysia di pasar internasional. Hanya dengan demikian dapat dicegah kegagalan sektor negara (public sector failures) dan korporatisasi BUMN dan BUMD dapat dijadikan sebagai motor penggerak baru pertumbuhan ekonomi dan bukan hanya sekadar beban negara. Peningkatan efisiensi bank-bank negara dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) akan menurunkan net interest margin (NIM), yakni perbedaan antara suku bunga kredit dan deposito bank. Dewasa ini NIM bank-bank BUMN dan BPD adalah tertinggi di ASEAN maupun di dalam negeri, kecuali bank nondevisa.
Kesepuluh, melatih dan membantu petani, perajin, dan UKM agar mampu masuk pasar global setidaknya pasar negara-negara yang telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan kita. Kenapa sayur dan buah Indonesia tidak bisa masuk pasar Singapura dan Malaysia?
Kesebelas, membangun kembali Bank Tabungan Pos untuk memobilisasi tabungan masyarakat agar menyerap SUN rupiah yang diperdagangkan di pasar dalam negeri dan mengurangi kepemilikan asing yang dewasa ini mencapai 34 persen. Terlalu besarnya porsi kepemilikan asing pada surat-surat berharga Indonesia menyebabkan kerawanan tingkat harganya maupun nilai tukar rupiah terhadap lalu lintas modal jangka pendek.
Kedua belas, mengolah lebih banyak hasil perkebunan Indonesia di dalam negeri seperti minyak kelapa sawit.

Pemerintah sekarang ini terlena pada tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (5-6 persen setahun) akibat dari tingginya harga komoditas primer, besarnya kiriman TKI yang bekerja di luar negeri, serta pemasukan modal asing jangka pendek. Akibatnya, pemerintah sekarang ini bukan saja tidak melakukan reformasi penting untuk memperkuat fondasi sosial-ekonomi nasional selama dua kali masa jabatannya, melainkan justru semakin membuatnya semakin keropos. Di lain pihak, tidak satu pun di antara calon presiden mendatang yang punya program tentang bagaimana caranya membawa Indonesia keluar dari perangkap tingkat pendapatan menengah rendah (low middle income trap) dewasa ini.

Anwar NasutionGuru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia