Tuesday, August 6, 2013

Cendana yang Mengundang Perubahan

JEJAK PERADABAN



Cendana dan kisah perburuan komoditas itu oleh bangsa-bangsa di dunia telah menorehkan Nusa Tenggara Timur di dalam sejarah dunia. Sayangnya, kini cendana tidak sepopuler dari abad ke-14 sampai abad ke-16. Keharuman cendana lenyap bersamaan dengan kepunahannya di daratan Pulau Solor, Flores Timur, abad ke-15.

Pulau Solor hanya sebuah pulau kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan panjang sekitar 60 km dan lebar terjauh sekitar 20 km, membentang dari timur ke barat. Nama Pulau Solor begitu tenar pada abad ke-15, sampai semua literatur tua berbahasa Portugis menyebut pulau-pulau sekitar Pulau Solor—seperti Adonara, Flores, Lembata, dan Alor—dengan julukan Kepulauan Solor.
Peneliti persekolahan di Flores, Eduard Jebarur Pr, menyebutkan, Portugis tidak hanya berdagang cendana (Santalum album) di Pulau Solor dan sekitarnya, tetapi juga menyebarkan agama Katolik.

Misi dagang cendana di Solor pada 1500-an berdampak positif. Lewat cendana, masyarakat belajar berdagang, memiliki alat tukar resmi berupa mata uang dan barang. Sejumlah teknologi modern diperkenalkan waktu itu, seperti meriam dan senjata api.
Di bidang religius diajarkan agama Katolik Roma. Sejumlah tradisi lokal diangkat melalui inkulturasi dan inisiasi. Prosesi penyembahan terhadap Nubanara, kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi yang diungkapkan lewat batu kecil di rumah-rumah adat milik suku-suku di Larantuka, diinkulturasikan.
Penyembahan ini kemudian berkembang menjadi prosesi tahunan Semana Santa pada setiap Jumat Agung di Larantuka. Kegiatan ini menjadi salah satu tujuan kunjungan wisatawan di Flores, NTT.

Namun, kehadiran pedagang Portugis waktu itu juga membawa masalah, yakni penebangan dan pembalakan hutan cendana di Solor secara liar tanpa budidaya. Tidak hanya batang pohon cendana, akar cendana pun diambil. Wangi cendana waktu itu memikat pedagang Portugis untuk terus melakukan penebangan, apalagi cendana di wilayah itu sedang diincar VOC.
Karena cendana mulai berkurang, sejumlah pedagang meninggalkan kawasan tersebut. Namun, biarawan Katolik tetap bertahan menyebarkan agama Katolik. Benih-benih kekatolikan saat itu sedang tumbuh subur. Sekitar 300 penduduk asli di Pulau Solor dibaptis menjadi Katolik.

Pada 1561, tiga misionaris Dominikan, yakni Pastor Antonio da Cruz, Pastor Simao das Chagas, dan Bruder Fransisco Alexio, tiba di Pulau Solor dan menetap di Lohayong, Solor Timur.
Untuk mengamankan diri dari serangan penduduk lokal, mereka mendirikan benteng sederhana dari kayu. Pada 1566, benteng itu diganti dengan beton dan menampung sekitar 2.000 penghuni. Mereka adalah pastor, serdadu yang menikah dengan penduduk lokal, para biarawan, dan penduduk lokal yang sudah Katolik.
Sejumlah bangunan didirikan di dalam benteng itu, yakni rumah warga, biara, dan kapel. Pada 1596 didirikan pula sebuah seminari, sekolah ini setingkat sekolah dasar untuk calon pastor dengan 40 peserta.
Namun, orang Portugis di benteng ini tidak selalu tenang. Pada 1613, Benteng Lohayong diserang VOC di bawah pimpinan Apolonius Scotte. Penghuni benteng menyerah, 20 April 1613, dan sekitar 1.000 orang lari meninggalkan Lohayong dan berdiam di Larantuka, Pulau Flores, sekitar 50 mil (sekitar 80 km) dari Lohayong.

Larantuka mengambil alih kegiatan keagamaan, perdagangan, dan misi Katolik. Sekolah seminari di Solor pun dipindahkan ke Larantuka.
Pastor Sanders OP membantu pusat misi Katolik di Posto, Larantuka, dengan sasaran utama pembentukan dan pembinaan kaum muda waktu itu. Ia membuka sekolah sederhana dengan bahasa pengantar Melayu pasaran dengan pengajar antara lain beberapa guru agama dari Maluku.

Sekolah untuk pribumi

Pemerintah Belanda pada 1854 menginstruksikan agar didirikan sekolah bagi masyarakat pribumi sebagai peluang bagi Portugis mendirikan sekolah resmi. Pastor Fransen OP melihat peluang ini untuk mendirikan sebuah sekolah dan gereja. Namun, gedung gereja lebih dulu dibangun berukuran 10 meter x 30 meter dengan bahan dari kayu.
Pada 3 Desember 1862 sebuah sekolah didirikan pertama kali dengan jumlah murid 25 orang, terdiri dari 24 pria dan satu perempuan, putri dari raja Larantuka.

Sekolah terus berkembang. Pada 1863, Pastor Fransen mendapat seorang rekan kerja, pastor dari SJ, yakni Gregorius Metz SJ. Pastor ini meletakkan dasar karya SJ di NTT. Dengan bekal pengalaman yang memadai, ia mengembangkan sekolah di Larantuka.
Kedua misionaris ini bekerja keras di bidang pendidikan dan agama. Mereka mendirikan sebuah asrama, menampung 30 siswa, dari 50 siswa yang ada. Di asrama itu anak-anak belajar teratur dan mendapatkan sejumlah pengetahuan dan pengalaman baru.
Pada 1870, Pastor Johannes Meijer SJ yang memiliki pengetahuan cukup di bidang pertanian diutus ke Larantuka. Ia bertugas secara khusus membantu meningkatkan taraf hidup penduduk pribumi. Pada 1872, ia membangun pertanian (sawah) di Konga dan Oka, sekitar 20 km arah barat Larantuka. Kawasan pertanian itu masih bertahan sampai hari ini.

Pada 1869, penyakit cacar melanda Larantuka. Dua siswa dikirim belajar menjadi mantri cacar di Kupang. Seusai pendidikan, kedua tenaga mantri cacar ini memberikan vaksin kepada semua penduduk di Larantuka hingga akhirnya Larantuka bebas dari wabah tersebut.
Wabah cacar ini mendorong para misionaris awal mengusahakan tenaga dokter tetap. Pada 1869, Michael Lobata, warga Larantuka, dikirim ke Jawa untuk belajar sebagai dokter selama dua tahun. Lobato kembali ke Larantuka dan bekerja sebagai dokter.
Pusat misi Katolik di Larantuka boleh disebut sudah memadai. Agama Katolik, sekolah, pertanian, dan kesehatan sudah layak dikembangkan dan disebarluaskan di daratan Flores, Timor, dan Sumba.

Pemerhati masalah kebudayaan NTT, Messak Toy, mengatakan, puluhan tahun kemudian pengajar agama dari Larantuka dan Sikka mengajarkan agama dan pendidikan di seluruh daratan Flores dan Timor. Benteng Portugis, Concordia di Kupang, sebagai bukti kehadiran Portugis di seluruh daratan Timor.
Sebelum pemerintah membangun pendidikan, kesehatan, dan pertanian di NTT, misi Katolik dan zending sudah meletakkan dasar pendidikan, kesehatan, dan pertanian di NTT. Namun, setelah konsentrasi misi dan zending dibatasi, di wilayah ini bidang itu justru terabaikan oleh pemerintah. (KORNELIS KEWA AMA)



Monday, August 5, 2013

Garin Nugroho: Elite Politik Tak Perlu Dinasihati

Kompas, Selasa, 6 Agustus 2013

Pengantar Redaksi

Walaupun mengaku bukan seorang idealis, sebagai seorang sutradara Garin Nugroho tidak melepaskan bidang film terbebas dari persoalan-persoalan yang melilit bangsa. Bagi dia, bahkan, pekerja seni yang terjun ke dunia politik adalah sebuah kewajaran jika hal itu semata-mata dimaksudkan untuk kebaikan kehidupan berbangsa, bukan sebagai gaya hidup.
Garin antara lain ”berpolitik” melalui Yayasan Sains Estetika Teknologi (SET) untuk mendidik warga negara melalui bentuk media dan seni. Dia pun kerap diundang menjadi pembicara dalam berbagai kesempatan, terutama untuk menyadarkan orang bahwa bangsa kita itu multikultur. Garin antara lain memperkenalkan budaya Papua lewat Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa.
Tidak hal aneh jika kemudian Garin menyutradarai film tentang seorang uskup dalam Soegija karena, baginya, seorang tokoh dalam bangsa multikultur tidak mengenal batas agama. Selain menyutradarai sejumlah film, pria kelahiran Yogyakarta ini juga menjadi pengajar di almamaternya, Institut Kesenian Jakarta.
——————————————
Menurut Pak Garin, seberapa pentingkah masyarakat Indonesia mengenal golongan marjinal tersebut? (Irvan Tauramdhanny, xxxx@gmail.com)

Kehidupan Indonesia kodratnya multikultur seperti layaknya sebuah hutan tropis dengan beragam tanaman. Memahami golongan marginal seperti memahami tanaman-tanaman kecil. Jika yang marginal mati, kehidupan ekosistem keberagaman bangsa ini akan surut pula. Demikian juga kekayaan keberagamannya. Maka, misal dalam agama kita harus lawan radikalisme minoritas atau radikalisme mayoritas karena radikalisme merusak ekosistem berbangsa ini.
——————————————
Mas Garin banyak menelurkan film- film ”idealis” untuk negara ini. Meski banyak tantangan, apa yang mendorong Mas tetap bertahan di genre ini? (Sylvie Tanaga, xxxx@yahoo.com)

Saya bukan seorang idealis, tapi pikiran saya sederhana: tanggung jawab manusia terbesar adalah menghidupkan kodrat mencipta yang diberikan Sang Maha Pencipta. Saya berpendapat bahwa penciptaan film adalah medium untuk berdialog kepada masyarakat tentang persoalan-persoalan manusia yang saya lihat dalam masyarakat untuk penonton bisa mendiskusikannya.
——————————————
Bagaimana Mas Garin menyikapi tawaran untuk terjun ke dunia politik (partai) yang akhir-akhir ini sering ditawarkan kepada para pekerja seni? (Windu Tri Hadianto, Jakarta)

Pekerja seni terjun ke dunia politik adalah wajar, bahkan perumus Pancasila sebagian adalah negarawan yang seniman, seperti Moh Yamin adalah Bapak Soneta, sehingga dia mempunyai nilai susastra, yakni perasaan halus terhadap kehidupan bangsanya. Yang salah, jika jabatan politik hanya untuk gaya hidup, ekonomi pribadi-kelompok serta karena tak punya ruang kompetisi daya hidup di tempat lain di masyarakat.
Kesedihan saya, yang terakhir ini cenderung yang muncul.
——————————————
Sebelumnya, saya ingin mengucapkan salam dan terima kasih dari kedua orangtua saya atas karya-karya Bapak yang telah ”mencuri hati” mereka.  Apakah Bapak mempunyai idealisme tertentu mengenai perfilman? (Basa Nova Siregar, Bogor)

Salam hormat untuk Bapak dan Ibu.
Sebagai pengajar, saya selalu bilang ke mahasiswa untuk selalu kembali pada bakat dan gagasan diri. Jika berbakat membuat film komersial buatlah dengan profesionalisme serta konsekuensinya. Atau, jika berbakat membuat film seni, buatlah dengan profesionalisme yang terus bertumbuh, tetapi dengan menanggung konsekuensi, misalnya mengalami keterasingan.
——————————————
Sebagai seorang Muslim, apa sesungguhnya yang menggerakkan hati Anda untuk tertarik menyutradarai film tentang seorang uskup dalam Soegija? (J Cahyo, Kaweka, Otista, Jakarta Timur)

Nilai-nilai keutamaan yang dimiliki seorang tokoh dalam bangsa multikultur tidak mengenal batas agama, maka sikap religiusitas mewajibkan kita mengangkat dan menemukan nilai keutamaan tokoh dari agama-etnis-golongan apa pun yang belum diwartakan untuk diketahui masyarakat.
Kematangan multikultur diuji ketika masyarakatnya bisa dipimpin serta mengapresiasi kepemimpinan dari golong etnis atau agama apa pun. Misalnya Soegija, atau Kyai Sadrah, atau seorang Bhiku Panyamaru maupun Syafii Maarif.
——————————————
Melalui karya perfilman, Mas Garin seperti hendak merawat dan mencintai bangsa Indonesia. Bagaimana perasaan Mas Garin ketika melihat, mendengar, dan menjumpai wakil rakyat bersikap ”rakus”, perusak nasionalisme, dan kemanusiaan? (Justinus Juadi FI, Yogyakarta)

Demokrasi hanya berharga jika kebebasannya disertai keterampilan, pengetahuan, serta etika untuk memecahkan masalah krisis rakyat. Sayangnya, elite penguasa kita hanya merasa khawatir kalau krisis itu membahayakan kekuasaannya. Namun, jika krisis hanya terjadi di rakyat, mereka cuek saja.
Elite tanpa rasa etika, pengetahuan, keterampilan, dan rasa krisis adalah pribadi tak berharga, yang berharga hanya kekuasaannya dan yang menyelamatkan dirinya adalah kerakusannya. Elite politik tak perlu dinasihati, mereka sudah punya sumpah jabatan dan sumpah serapah masyarakat jika tidak bekerja baik.
——————————————
Mas Garin, apakah film tidak cukup sebagai media berpolitik bagi Anda? Sehingga Anda perlu terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik meski tidak partisan. (Teguh Prawiro, Depok, Jawa Barat)

Setiap tubuh manusia terdiri dari gabungan rumit tubuh sosial, tubuh seni, tubuh alam, ekonomi, hingga tubuh berpolitik. Hanya saja kecenderungannya berbeda-beda.
Saya merasa ada dua aspek dalam diri saya: seni dan politik. Saya berpolitik lewat Yayasan SET untuk pendidikan warga negara lewat beragam bentuk media dan seni. Misal, pendidikan warga negara pada pemilu pertama pasca-Orde Baru lewat iklan inga inga dan lain sebagainya.
——————————————
Apakah Mas Garin mewajibkan anaknya untuk mengikuti jejak Anda sebagai sutradara? (Sandy Putra, Jakarta Barat)

Saya malah merasa senang kalau anak-anak saya mempunyai disiplin yang berbeda sesuai bakat serta kebahagiaan hidup mereka. Dengan cara itu, saya mengalami keberagaman dalam keluarga.
Kalaupun putri saya pertama (Kamila Andini) menjadi sutradara dan suaminya (Ifa Ifansyah) juga sutradara, itu adalah kebebasan mereka.
——————————————
Apa arti kesuksesan untuk seorang Garin Nugroho dan bagaimana Anda mengatasi kejenuhan yang melanda dalam beraktivitas? (Sambodo Rio Sasongko, Tangerang Selatan)

Kesuksesan adalah peta kehidupan, selalu ada momen hentian sebagai momen membaca pencapaian, kekeliruan, ataupun ketidakberdayaan sekaligus mencari jalan baru, maka kesuksesan adalah peta hidup yang tak pernah selesai sampai selesainya hidup kita.
Kejenuhan adalah kewajaran, tetapi kesadaran bahwa dalam peta selalu ada jalan alternatif dan peta adalah abadi, maka kejenuhan akan bertransformasi jadi pencarian kreatif menemukan peta baru.
——————————————
Apakah Mas Garin memikirkan balik modal atau jumlah penonton ketika membuat film? (Bimo, Jakarta)

Setiap pencipta harus punya tiga aspek: aspek manajemen ekonomi dan manajemen kreatif serta paham ruang hidup dari gagasan film kita. Jika film untuk pendidikan antiradikalisme seperti Mata Tertutup (2012)produksi Syafii Maarif Institute yang diputar gratis di sekolah, nilai penting bukan balik modal, tetapi keluasan sosialisasinya.
Kalau film untuk bioskop seperti Cinta Sepotong Roti (1990), maka harus mampu membalikkan modal. Jika film artistik seperti Opera Jawa (2006) untuk membuka pesta 200 tahun Mozart di kota Wina dananya dari empat negara, maka target utama adalah penonton pembukaan festival itu dan ruang publik estetik internasional, juga berbeda dengan film untuk corporate social responsibility (CS).
Sesungguhnya, setiap gagasan mempunyai sistem ekonomi, ruang hidup, serta tanggung jawab penciptaan yang berbeda-beda.
——————————————
Semangat apa yang membuat Bapak berusaha menghasilkan karya saat perfilman Indonesia tengah ”tiarap”? (Lidya Andayani W, Surabaya, Jawa Timur)

Nilai ketokohan, terobosan, dan penemuan di berbagai bidang selalu lahir di masa krisis. Krisis dalam karakter huruf China mempunyai dua makna: kesempatan atau kehancuran.
Inilah medan pertempuran sesungguhnya. Dalam persitegangan dua aspek itu, maka bakat dan gagasan serta daya juang seseorang berproses dan diuji.
——————————————
Bagaimana caranya menemukan bakat baru di generasi sekarang yang bisa menggantikan Pak Garin kelak? Karena sepertinya sulit mengharap peran pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dalam memajukan seni dan budaya lewat film. (Hersen Setyo Nugroho, Jayapura, Papua)

Ada empat jalan: Pertama, konsistensi mencipta sebagai sumber inspirasi masyarakat muda. Kedua, setiap mencipta membawa generasi yang lebih muda ke muda lagi, seperti Bulan Tertusuk Ilalang dengan John De Rantau atau Riri Riza, Nurhidayat, dan lain-lain. Ketiga, mengajar dan membangun ruang publik untuk pendidikan, kompetisi, dan apresiasi, seperti mendirikan Jogja Asia Film Festival atau juga LA Light Indie Movie, masing-masing sudah delapan tahun.
Keempat, menulis buku sebagai tanggung jawab pengalaman, berbagi gagasan, dan referensi. Saya sedang menulis buku sejarah film Indonesia (1900-2012) dan buku Dongeng Kebangsaan.
——————————————
Beberapa tahun terakhir, fenomena perfilman Indonesia dihiasi dengan maraknya film hantu atau horor dan berbagai film dan sinetron yang menurut pengamatan saya tidak mendidik, padahal televisi adalah salah satu media yang paling banyak diakses atau ditonton. Sebagai sutradara senior, apa usaha mas Garin menyikapi fenomena tersebut? (Tryles Marianus Neonnub, Bintaro, Tangerang)

Televisi adalah industri tekno-kapitalis di ruang keluarga, di negeri demokrasi yang beradab, maka kebebasan berindustri seperti halnya peraihan rating dijaga oleh etika bisnis industri di ruang keluarga.
Sebutlah dijaga undang-undang perlindungan anak, perlindungan konsumen, etika profesi, jurnalistik, dan lain-lain. Maka, tidak boleh berita dipenuhi kekerasan di waktu keluarga, atau pejabat tidak boleh beriklan dari produk swasta, atau menghamburkan uang hadiah secara fisik dan sebagainya.
Maka sinetron jenis apa pun, termasuk horor, harus berada dalam etika industri dalam ruang keluarga. Sikap saya bermoto: ”Ketika banyak jalan rusak, buatlah jalan sekecil apa pun untuk sekeliling kita berjalan menuju tujuan.”
——————————————
Bila ada ”kehidupan” sesudah meninggal, Anda ingin berprofesi sebagai apa dan mengapa? (Eka Fransiska, Jakarta)

Ha-ha...pertanyaan menarik. Saya ingin menjadi sutradara kehidupan, yang bisa mencipta untuk mengubah secara nyata apa pun dalam realitas hidup. Misalnya, melihat pekerja pandai dan keras tetapi miskin, bisa saya ubah menjadi cukup ekonominya.
——————————————
Film yang bersifat heroik seperti Sang Kyai dan Sang Pencerah kini mulai digandrungi masyarakat. Apakah ada rencana membuat film yang berlatar sejarah, apalagi banyak pahlawan kita yang perlu difilmkan untuk motivasi generasi sekarang? (Miftakhul Huda, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur

Saya tertarik membuat film yang kerja ketokohannya belum tersebar dan dibuka di negeri ini, yang sesungguhnya mempunyai peran dalam sejarah bangsa ini. Sebutlah Sjahrir, Tan Malaka, Rahmah El-Yunusiah, pelopor pendidikan perempuan muslim Diniyah School Putri, Sumatera Barat(1923).
——————————————
Mas Garin, Mengapa industri perfilman kita terkesan ”latah” dalam membuat film, misalnya, bulan ini booming film genre seperti Habibi Ainun, tidak berselang kemudian muncul film tema serupa dengan proses pembuatan film yang terlalu singkat? (Ratih Eeningdi, xxxx@gmail.com)

Latah atau meniru adalah kewajaran mengejar relung pasar yang sudah dibuka. Namun, bangsa berkualitas, pasar produknya dibentuk selain dengan mengikuti selera tapi juga membentuk selera.
Ciri ekonomi modern adalah bangsa yang produktif membentuk selera. Lihatlah Jerman, China, Jepang, Swiss, dan Amerika Serikat.
Bangsa yang meniru atau selalu mengikuti selera akan menjadi bangsa pengimpor terbesar, bahkan bisa terjerumus mengikuti apa pun yang bisa menyenangkan masyarakat atas nama selera meski itu menjerumuskan masyarakat. Misalnya, jika masyarakat suka kekerasan, maka membuat program kekerasan.
——————————————

GARIN NUGROHO
Nama Lengkap: Garin Nugroho Riyanto
Lahir: Yogyakarta, 6 Juni 1961
Profesi: Sutradara, Direktur SET Filmworkshop
Pendidikan:
S-1 Jurusan Penyutradaraan Fakultas Sinematografi Institut Kesenian Jakarta, Jakarta (1985)
 S-2 Jurusan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta (1992)

Karier:
Sutradara Film dan TV
Direktur Desain dan Program PT Gemini Film (1986-1989)
Dosen Fakultas Film dan TV Analisis Film dan TV Institut Kesenian Jakarta, Jakarta (1986)
Asisten Dekan Fakultas Film dan TV Institut Kesenian Jakarta (1992-1994)
Direktur SET Filmworkshop (1993-sekarang)

Film:
Cinta dalam Sepotong Roti (1991)
Surat untuk Bidadari (1994)
Bulan Tertusuk Ilalang (1996)
Daun di Atas Bantal (1998/1999)
Puisi Tak Terkuburkan (2000/2001)
Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002)
Rindu Kami Pada-mu (2004)
Serambi (2005) • Opera Jawa (2006)
Teak Leaves at the Temple (2007)
Under The Tree (2008)
Generasi Biru (2009)
Mata Tertutup (2011)
Soegija (2012)

Keluarga:
Istri: Riani Ika
Anak: Kamila Andinisari, Gibran Tragari, Dinda Hanamichi

Sumber: Litbang ”Kompas”/BEY, dari berbagai sumber




Manusia Pemalu

Oleh: Herry Tjahjono 

Kompas, Selasa, 6 Agustus 2013

Sejak memasuki bulan Ramadhan, tingkat kehadiran anggota DPR di rapat paripurna semakin memprihatinkan.

Untuk rapat paripurna dengan tujuh agenda penting (misalnya, laporan Komisi XI mengenai hasil pembahasan calon deputi gubernur Bank Indonesia; laporan Komisi I mengenai hasil pembahasan calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia; dan pengesahan pembentukan Pansus RUU tentang Keuangan Negara), seperti pada 11 Juli 2013, tercatat 240 anggota DPR yang absen. Pada April lalu, tercatat 471 anggota DPR membolos rapat paripurna.

Berita basi sekaligus menyebalkan! Basi karena seringnya membolos. Menyebalkan karena dikritik sepedas apa pun mereka tetap ndablek! Dan, jangan lupa, perilaku membolos rapat itu hanya salah satu kebobrokan perilaku sebagian anggota DPR. Masih banyak perilaku lain yang tak kalah menyedihkan. Sebutlah seperti perilaku korupsi, tidak produktif padahal digaji mahal, dan hedonisme (pelesiran misalnya).

Sementara itu, saat-saat ini partai-partai politik sudah mulai sibuk belingsatan mengintip dan menyeleksi para calon anggota legislatif (caleg). Sebuah proses seleksi kepemimpinan politik sedang dipersiapkan habis-habisan, tanpa pernah mau peduli kualitas minus para calegnya selama ini. Selama ini rakyat menonton mereka, selama ini pula perilaku mereka berulang.

Kualitas keinsanian

Perilaku para anggota DPR yang notabene para pemimpin bangsa itu berhubungan dengan kualitas keinsanian sebagai manusia. Kualitas keinsanian seorang manusia seharusnya semakin tinggi seiring tingginya status sosial mereka, seperti para pemimpin bangsa.

Kualitas keinsanian manusia atau pemimpin itu didasarkan pada dua pedoman hidup (dan kerja) yang saling terkait satu sama lain, yaitu pedoman: manfaat dan (rasa) malu. Fondasi dari konsep kualitas keinsanian itu merupakan pernyataan Dr Chaterine Roberts: ”Manusia, melalui pengetahuan keinsanian yang unggul, bisa mengetahui arti menjadi seorang manusia, yaitu jika ia bisa memberikan sumbangsih atau manfaat bagi kehidupan dan pekerjaannya. Dengan sumbangsih itu, ia seinsani-insaninya manusia, alangkah indahnya!”
Artinya, jika seseorang merasa malu jika tidak memberikan manfaat bagi kehidupan dan pekerjaannya, ia layak disebut manusia atau pemimpin yang insani. Namun, sebaliknya, jika seseorang sama sekali tak merasa malu meski tak memberikan manfaat, ia kurang atau tidak insani. Baiklah kita kupas satu demi satu.

Pertama, manusia atau pemimpin besar (great people/leader). Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang memiliki tingkat kontribusi positif, optimal. Manusia atau pemimpin golongan ini sangat unik karena mereka sangat mudah merasa malu; ambang rasa malunya sangat rendah. Jika sedikit saja tidak memberikan manfaat, ia buru-buru merasa malu.
Moral kerja dan hidup mereka adalah dengan selalu melekatkan makna di balik setiap pekerjaan atau yang dilakukannya. Mereka tidak mau menjadi parasit atau sekadar bekerja.
Sedikit saja tidak memberikan sumbangsih atau manfaat, mereka akan merona mukanya, merasa malu. Mereka selalu mencari tujuan yang lebih tinggi (higher purpose) dari setiap pekerjaan atau apa pun yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Itulah yang mereka anggap sebagai makna dalam bekerja dan kehidupan. Dan, sumbangsih atau manfaat itu sendiri dianggap sebagai salah satu makna terluhur dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan.
Itu sebabnya manusia golongan ini selalu memberikan sumbangsih atau manfaat maksimal, optimal, jauh melebihi yang mereka dapatkan. Mereka adalah manusia yang berbuah, bagi pekerjaan dan kehidupan. Mereka inilah yang disebut manusia atau pemimpin yang insaniah. Semakin mudah malu dan besar manfaatnya, maka semakin insaniah mereka.

Kedua, manusia atau pemimpin buruk (bad people/leader). Orang-orang ini mempunyai ambang rasa malu yang (sangat) tinggi, bergerak dari titik susah merasa malu sampai tidak punya malu. Ambang rasa malu yang tinggi itu juga terkait dengan sumbangsih atau manfaat bagi hidup dan pekerjaan mereka. Tegasnya, mereka tak mudah malu atau bahkan tak punya malu jika tidak memberikan manfaat (sumbangsih) sama sekali bagi hidup dan pekerjaannya.
Golongan ini biasanya memiliki tingkat kontribusi nihil atau minus. Moral hidup dan kerja mereka berkebalikan dengan para manusia atau pemimpin besar. Moral hidup mereka adalah justru kehidupan dan pekerjaan itulah yang harus memberikan manfaat bagi dirinya. Maka, biasanya pula, manusia atau pemimpin buruk ini tak lebih dari parasit, benalu kehidupan.
Bahkan ketika mereka menjadi parasit bagi kehidupan dan pekerjaannya, rasa malunya juga lenyap. Bagi mereka, bukan mereka yang harus melekatkan makna terhadap hidup dan pekerjaan, melainkan sebaliknya: hidup dan pekerjaanlah yang harus memberikan makna bagi mereka. Itu sebabnya mereka sering disebut manusia tak bermakna, manusia tanpa makna.  Mereka tak pernah mencari tujuan lebih tinggi dari kehidupan dan pekerjaannya. Mereka ini termasuk manusia atau pemimpin yang kurang dan bahkan tidak insaniah.

Manusia tanpa makna

Maka secara sederhana bisa disimpulkan: manusia atau pemimpin yang tidak insaniah identik dengan manusia tanpa makna, tanpa manfaat, dan tanpa malu. Apa yang bisa diharapkan dari manusia atau pemimpin semacam itu? Kini kita bisa menilai sendiri, termasuk golongan manakah para anggota DPR yang dimaksudkan di atas. Dengan kasatmata pula kita bisa menilai para pemimpin bangsa ini di dimensi lainnya: eksekutif ataupun yudikatif.
Mengingat itu semua, saya jadi teringat ucapan Buya Hamka berikut: ”Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja!”
Tiba-tiba saya ingin belajar jadi manusia pemalu, asal bermanfaat bagi kehidupan dan pekerjaan saya.

(Herry Tjahjono, Terapis Budaya Perusahaan dan Motivator Budaya)