Oleh: Miftah Thoha
SELASA, 30 JULI 2013 http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000001260126
Rangkap jabatan, yakni jabatan sebagai pimpinan partai politik dan
sebagai pejabat negara (pejabat politik), telah lama dikeluhkan. Rangkap
jabatan dilihat dari perspektif apa pun—baik etika, manajemen, sosial, politik,
maupun ekonomi—kurang pantas. Selain kurang patut, rangkap jabatan itu
merupakan saluran untuk berbuat menyimpang atau korupsi.
Penggunaan fasilitas negara tidak mungkin bisa dihindari oleh pejabat
tersebut, baik itu besar maupun kecil, disadari atau tidak, ketika pejabat tersebut
melakukan aktivitas yang sulit dibedakan antara tugas negara atau tugas
partainya.
Contohnya, seorang menteri yang merangkap jabatan pimpinan partai pada
suatu hari meresmikan proyek pembangunan pemerintah di luar Jawa dan pada sore
harinya membuka rapat kerja partainya. Bisakah menteri tersebut memisahkan
antara tiket dan biaya perjalanan serta akomodasi yang dipergunakan yang
dibiayai negara dan yang dibiayai partainya?
Hal ini baru tiket yang biayanya sedikit. Bagaimana kalau biayanya
besar dan fasilitasnya proyeknya juga besar? Bukankah ini saluran korupsi yang
seharusnya sudah diperbaiki dalam reformasi birokrasi pemerintah semenjak masa
Reformasi, karena gejala ini sudah lama berlaku dalam riwayat birokrasi
pemerintah kita semenjak Orde Lama, Orde Baru, dan yang sekarang.
Pejabat politik
Semenjak pemerintahan BJ Habibie mengumandangkan pelaksanaan
pemerintahan yang demokratis pada 1999, semenjak itu pula partai politik mulai
memerintah birokrasi pemerintahan. Mulailah kita mengenal jabatan dan pejabat
politik. Pada zaman pemerintahan sebelumnya, Presiden Soeharto tidak
menyebutnya jabatan atau pejabat politik, tetapi jabatan atau pejabat negara.
Sebutan jabatan dan pejabat negara memang bagus karena semuanya untuk
kepentingan negara, walaupun pejabatnya sejatinya juga pejabat politik. Di
sinilah mulai kabur antara penggunaan fasilitas dan kekayaan negara dengan
milik golongan politik yang memerintah.
Tampaknya kondisi ini akibat luputnya perhatian pemerintah untuk menata
hubungan antara jabatan negara dan jabatan politik sehingga rangkap jabatan
dibiarkan berlarut-laruat sampai hari ini. Hal ini sekaligus menunjukkan
gagalnya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Banyaknya korupsi oleh pejabat politik yang memimpin birokrasi, mulai
dari menteri, gubernur, bupati hingga wali kota, bahkan juga anggota Dewan,
membuktikan rangkap jabatan sangat menyuburkan saluran korupsi kekayaan negara.
Kondisi ini sebenarnya bisa diakhiri jika pemerintah jeli memperhatikan
persoalan ini dan pimpinan partai politik menyadarinya.
Dalam literatur ilmu politik dengan tegas ditekankan bahwa jika
pimpinan partai dipercaya memegang jabatan sebagai pejabat negara, saat itu
pula harus selesai hubungan politik yang bersangkutan dengan partainya.
Kesadaran mengenai hal ini merupakan dasar pengendalian diri untuk membedakan
antara milik negara dan milik partai politik. Nanti jika jabatan negaranya
selesai, dia bisa kembali ke jabatan partainya.
Semua ini bisa terwujud jika semua undang-undang—mulai dari
undang-undang partai politik hingga undang-undang pemilu, undang-undang
pemilihan presiden dan kepala daerah, undang-undang aparatus sipil negara, dan
undang-undang pemerintahan daerah—menetapkan secara tegas dilarangnya rangkap
jabatan tersebut.
Jabatan negara
Istilah jabatan negara sebaiknya dipergunakan untuk mengganti istilah
jabatan politik. Undang-undang yang berlaku sampai sekarang masih memakai
istilah jabatan negara. Adapun istilah jabatan politik belum pernah disebutkan
di dalam undang-undang yang ada. Walaupun yang bersangkutan bisa saja dari
partai politik, tetapi setelah memegang jabatan negara seperti presiden, wakil
presiden, menteri, gubernur, bupati atau wali kota, maka tidak ada lagi kaitan
dengan partainya.
Mereka semua hanya semata-mata melakukan tugas negara untuk kepentingan
seluruh rakyat di negara tersebut. Jika saat didirikan tujuan semua partai
politik adalah bukan untuk mempertajam ego sektoral partai masing-masing
melainkan untuk kepentingan nasional, maka kejayaan negara dan kepentingan seluruh
rakyat dan bangsa akan mudah dicapai.
Di era pemerintahan Orde Baru, tidak dikenal adanya jabatan politik.
Hal ini selain karena Presiden Soeharto tidak menyukai politik, juga karena
pejabatnya berasal bukan dari partai politik melainkan dari Golongan Karya yang
bukan partai politik.
Perubahan sistem politik yang terjadi selama era Reformasi tidak cepat
direspons oleh pemerintahan yang sekarang sehingga tatanan birokrasi kita tidak
jelas mengatur hubungan dan prosedur kerja yang harus dijalankan mengenai
jabatan politik ini.
Selain rangkap jabatan, klasifikasi jabatan politik dan jabatan karier
birokrasi pemerintah juga harus jelas. Benarkah panglima TNI, kapolri, jaksa
agung bukan jabatan politik? Mengapa selama ini pengangkatan orang untuk
jabatan-jabatan itu harus diuji kelayakannya oleh DPR sebagai lembaga politik?
Hal-hal yang tidak jelas seperti ini menuntut adanya penataan jabatan-jabatan
politik dalam sistem birokrasi pemerintah.
Sebagaimana lazimnya di dalam negara demokrasi, Panglima TNI adalah
jabatan karier di bidang militer, demikian pula kapolri adalah jabatan karier
kepolisian. Kedua jabatan itu sama statusnya sebagai jabatan karier seperti
sebutan untuk pegawai negeri sipil mulai dari pejabat karier eselon satu ke
bawah.
Proses perekrutan dan promosinya harus dijauhkan dari suasana dan arena
politik yang secara melembaga diwakili oleh lembaga politik DPR. Pengangkatan
dan promosinya berada di wilayah pemegang kekuasaan penyelenggara pemerintah,
yakni presiden, bukan berada di wilayah pemegang kekuasaan perundang-undangan atau
politik. Panglima TNI dan kapolri adalah pembantu presiden, baik sebagai kepala
negara maupun kepala pemerintahan.
Oleh karena itu, seharusnya pengangkatan dan promosinya di atur dalam
keputusan presiden dan tidak perlu dibawa dan dimintakan persetujuan atau diuji
kelayakan oleh DPR. Jabatan panglima TNI ataupun kapolri sama seperti jabatan
karier, dibatasi dengan usia pensiun. Artinya, ia harus diganti jika telah
sampai umur pensiun.
Yang kelayakannya seharusnya diuji oleh DPR adalah pejabat politik. Misalnya,
para menteri sebelum dilantik oleh presiden dimintakan persetujuan politik
kepada DPR seperti di negara-negara parlementer. Jabatan politik atau jabatan
negara tidak dibatasi oleh usia pensiun kecuali ada undang-undang yang mengatur
batasan usia pensiunnya.
Politik dan birokrasi memang sulit dipisahkan, tetapi bisa dibedakan
untuk tatanan pemerintahan yang demokratis dan untuk menciptakan tatanan sistem
pemerintahan yang bersih. Semuanya itu telah luput dari perhatian reformasi.
Miftah Thoha, Guru Besar Magister Administrasi
Publik UGM; Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)
No comments:
Post a Comment