ANALISIS EKONOMI
Senin, 11
Februari 2013
Rentetan kasus korupsi yang telah terbongkar menyentuh seluruh jajaran
pemerintahan, eksekutif hingga tingkat menteri, legislatif, ataupun yudikatif.
Puluhan gubernur dan bupati/wali kota telah menjadi terpidana ataupun
tersangka.
Akibat langsung dari korupsi sangat kasatmata. Banyak proyek yang
dibiayai dari anggaran negara cepat rusak, bahkan roboh sebelum digunakan
sehingga merugikan keuangan negara triliunan rupiah.
Kerugian lebih besar lagi harus dipikul oleh konsumen karena membayar
mahal berbagai kebutuhan hidupnya. Contoh teranyar adalah skandal impor daging
sapi. Pada tahun 2012, jumlah penduduk Indonesia sekitar 249 juta orang dan
konsumsi daging per kapita 1,9 kilogram. Dengan demikian, konsumsi daging
nasional sekitar 473,1 juta kilogram. Harga daging sapi di Indonesia setidaknya
dua kali lebih mahal daripada harga internasional. Jadi, jika harga daging sapi
Rp 90.000 per kilogram, konsumen harus membayar tambahan paling tidak Rp 21,9
triliun. Itu baru daging semata.
Kerugian bagi perekonomian tentu lebih besar lagi. Korupsi membuat
kualitas infrastruktur kian buruk. Ongkos produksi naik, biaya angkut jadi
lebih mahal, biaya siluman merajalela. Ujung-ujungnya, risiko bisnis meningkat
dan daya saing produk-produk Indonesia tergerus. Terbukti, berdasarkan laporan
Doing Business 2013 terbitan Bank Dunia dan International Finance Corporation,
derajat kemudahan berbisnis Indonesia dalam tiga tahun terakhir masih saja
bertengger di urutan ke-120-an dengan skor yang memburuk. Ujung-ujungnya, daya
saing kita pun merosot dari urutan ke-46 pada tahun 2011-2012 menjadi ke-50
pada tahun 2012-2013 (World Economic Forum, The Global Competitiveness Report
2012-2013).
Korupsi juga telah menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan yang amat
parah akibat eksploitasi sumber daya alam berlebihan dan ugal-ugalan. Alih-alih
memakmurkan rakyat, pengusahaan tambang dan perkebunan justru menimbulkan
derita rakyat berkepanjangan. Sumber daya alam yang melimpah tidak membawa
berkah, tetapi kutukan. Kepala daerah menjadikan sumber daya alam sebagai modal
politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Mereka mengobral konsesi
pengerukan sumber daya alam kepada para pengusaha dan calo untuk memperoleh
dana haram demi meraih kekuasaan. Intensitas pengerukan kekayaan alam sudah
mencapai tingkat yang mencengangkan. Tengok, misalnya, ekspor bauksit yang pada
tahun 2004 baru 1 juta ton melesat menjadi 27 juta ton pada 2010 dan 40 juta
ton pada 2011. Padahal, sumber daya alam yang tak terbarukan ini juga merupakan
hak generasi mendatang, tetapi sudah dikuras habis oleh ulah penguasa sekarang.
Penerimaan negara dari hasil tambang tak seberapa dibandingkan dengan kerusakan
lingkungan dan kemerosotan moralitas bangsa.
Walaupun sudah banyak kasus korupsi yang terbongkar, agaknya baru
sedikit potensi kasus korupsi dan pemburuan rente yang tersibak. Kita tak
pernah mendengar pemerintah bersungguh-sungguh mereformasi tata niaga minyak
dan gas bumi (migas). Untuk ekspor-impor minyak mentah dan produk minyak saja,
nilai transaksinya mencapai 56 miliar dollar AS. Ditambah dengan ekspor-impor
gas senilai 23,6 miliar dollar AS, sudah barang tentu bisnis perdagangan migas
sangatlah menggiurkan. Volumenya hampir mencapai cadangan devisa yang dikelola
Bank Indonesia sebesar 108,8 miliar dollar AS per akhir Januari 2013.
Belum lagi jika memasukkan volume perdagangan migas di dalam negeri.
Tak heran kalau Indonesia masih bertengger di kelompok negara paling
korup. Dari 16 negara Asia Pasifik yang disurvei oleh Political and Economic
Risk Consultancy yang berbasis di Hongkong, Indonesia menyandang status negara
terkorup pada tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2011, posisi Indonesia satu
peringkat lebih baik, tetapi dengan skor yang tetap di atas 9 (0 untuk skor
terendah atau paling bersih dan 10 untuk skor tertinggi atau paling korup).
Pemilihan Umum 2014 sebentar lagi. Ada puluhan orang yang telah
mengisyaratkan minat menjadi calon presiden, puluhan ribu calon anggota
legislatif (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Mereka mulai gencar
mengumpulkan dana untuk kasak-kusuk dan sudah barang tentu akan berlipat ganda
lagi kebutuhannya kala memasuki medan laga.
Agar pemilihan umum tak menghasilkan politisi-politisi korup yang
bergandengan tangan dengan pengusaha-pengusaha pemburu rente sebagai mandarnya,
tak ada pilihan lain kecuali mendeklarasikan darurat korupsi. Sebagai pendiri
dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah
mengambil langkah tegas. SBY sebagai presiden tentu saja memiliki otoritas
melakukan langkah serupa untuk menghentikan praktik-praktik korupsi yang kian
menjamur.
Jika Presiden meluangkan waktu berkunjung ke Pulau Buru, dengan
kasatmata akan terlihat kerusakan dahsyat akibat eksploitasi tambang emas.
Pulau itu seperti wilayah tak bertuan, negara tak hadir di sana. Rakyatnya tetap
terbelakang. Hanya segelintir orang yang menguasai perekonomian di pulau
tersebut. Sudah puluhan orang tewas akibat eksploitasi tambang yang
sembarangan. Tak hanya di Pulau Buru, tetapi juga di pulau- pulau besar seperti
Jawa dan Sumatera.
Saatnya di sisa masa pemerintahan ini Presiden mewariskan sesuatu yang
bernilai bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Betul-betul
melaksanakan semboyan pro-poor dan pro-green yang sering didengung-dengungkan.
Untuk jangka menengah dan panjang, tak ada pilihan lain kecuali
membangun institusi ekonomi dan politik yang inklusif, yang mampu menegakkan
pagar-pagar kokoh. Dengan demikian, demokrasi tidak menghasilkan segelintir
elite yang dengan leluasa merampok kekayaan alam dan menciptakan pemusatan
sumber daya politik.
Presiden jangan lekas puas dan terbius oleh kinerja makroekonomi yang
cemerlang. Pembaruan harus terus dilanjutkan, bahkan harus lebih dalam lagi.
Jika tidak, sewaktu- waktu perekonomian bisa terjun bebas lagi karena keadilan
semakin jauh dari hati sanubari rakyatnya.
Jangan sia-siakan momentum emas bonus demografi karena ia tidak datang
dua kali.
Faisal Basri Ekonom