Sunday, June 30, 2013

Darurat Korupsi

ANALISIS EKONOMI


Senin, 11 Februari 2013 



Rentetan kasus korupsi yang telah terbongkar menyentuh seluruh jajaran pemerintahan, eksekutif hingga tingkat menteri, legislatif, ataupun yudikatif. Puluhan gubernur dan bupati/wali kota telah menjadi terpidana ataupun tersangka.
Akibat langsung dari korupsi sangat kasatmata. Banyak proyek yang dibiayai dari anggaran negara cepat rusak, bahkan roboh sebelum digunakan sehingga merugikan keuangan negara triliunan rupiah.

Kerugian lebih besar lagi harus dipikul oleh konsumen karena membayar mahal berbagai kebutuhan hidupnya. Contoh teranyar adalah skandal impor daging sapi. Pada tahun 2012, jumlah penduduk Indonesia sekitar 249 juta orang dan konsumsi daging per kapita 1,9 kilogram. Dengan demikian, konsumsi daging nasional sekitar 473,1 juta kilogram. Harga daging sapi di Indonesia setidaknya dua kali lebih mahal daripada harga internasional. Jadi, jika harga daging sapi Rp 90.000 per kilogram, konsumen harus membayar tambahan paling tidak Rp 21,9 triliun. Itu baru daging semata.

Kerugian bagi perekonomian tentu lebih besar lagi. Korupsi membuat kualitas infrastruktur kian buruk. Ongkos produksi naik, biaya angkut jadi lebih mahal, biaya siluman merajalela. Ujung-ujungnya, risiko bisnis meningkat dan daya saing produk-produk Indonesia tergerus. Terbukti, berdasarkan laporan Doing Business 2013 terbitan Bank Dunia dan International Finance Corporation, derajat kemudahan berbisnis Indonesia dalam tiga tahun terakhir masih saja bertengger di urutan ke-120-an dengan skor yang memburuk. Ujung-ujungnya, daya saing kita pun merosot dari urutan ke-46 pada tahun 2011-2012 menjadi ke-50 pada tahun 2012-2013 (World Economic Forum, The Global Competitiveness Report 2012-2013).

Korupsi juga telah menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan yang amat parah akibat eksploitasi sumber daya alam berlebihan dan ugal-ugalan. Alih-alih memakmurkan rakyat, pengusahaan tambang dan perkebunan justru menimbulkan derita rakyat berkepanjangan. Sumber daya alam yang melimpah tidak membawa berkah, tetapi kutukan. Kepala daerah menjadikan sumber daya alam sebagai modal politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Mereka mengobral konsesi pengerukan sumber daya alam kepada para pengusaha dan calo untuk memperoleh dana haram demi meraih kekuasaan. Intensitas pengerukan kekayaan alam sudah mencapai tingkat yang mencengangkan. Tengok, misalnya, ekspor bauksit yang pada tahun 2004 baru 1 juta ton melesat menjadi 27 juta ton pada 2010 dan 40 juta ton pada 2011. Padahal, sumber daya alam yang tak terbarukan ini juga merupakan hak generasi mendatang, tetapi sudah dikuras habis oleh ulah penguasa sekarang. Penerimaan negara dari hasil tambang tak seberapa dibandingkan dengan kerusakan lingkungan dan kemerosotan moralitas bangsa.

Walaupun sudah banyak kasus korupsi yang terbongkar, agaknya baru sedikit potensi kasus korupsi dan pemburuan rente yang tersibak. Kita tak pernah mendengar pemerintah bersungguh-sungguh mereformasi tata niaga minyak dan gas bumi (migas). Untuk ekspor-impor minyak mentah dan produk minyak saja, nilai transaksinya mencapai 56 miliar dollar AS. Ditambah dengan ekspor-impor gas senilai 23,6 miliar dollar AS, sudah barang tentu bisnis perdagangan migas sangatlah menggiurkan. Volumenya hampir mencapai cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia sebesar 108,8 miliar dollar AS per akhir Januari 2013.

Belum lagi jika memasukkan volume perdagangan migas di dalam negeri.
Tak heran kalau Indonesia masih bertengger di kelompok negara paling korup. Dari 16 negara Asia Pasifik yang disurvei oleh Political and Economic Risk Consultancy yang berbasis di Hongkong, Indonesia menyandang status negara terkorup pada tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2011, posisi Indonesia satu peringkat lebih baik, tetapi dengan skor yang tetap di atas 9 (0 untuk skor terendah atau paling bersih dan 10 untuk skor tertinggi atau paling korup).

Pemilihan Umum 2014 sebentar lagi. Ada puluhan orang yang telah mengisyaratkan minat menjadi calon presiden, puluhan ribu calon anggota legislatif (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Mereka mulai gencar mengumpulkan dana untuk kasak-kusuk dan sudah barang tentu akan berlipat ganda lagi kebutuhannya kala memasuki medan laga.
Agar pemilihan umum tak menghasilkan politisi-politisi korup yang bergandengan tangan dengan pengusaha-pengusaha pemburu rente sebagai mandarnya, tak ada pilihan lain kecuali mendeklarasikan darurat korupsi. Sebagai pendiri dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengambil langkah tegas. SBY sebagai presiden tentu saja memiliki otoritas melakukan langkah serupa untuk menghentikan praktik-praktik korupsi yang kian menjamur.

Jika Presiden meluangkan waktu berkunjung ke Pulau Buru, dengan kasatmata akan terlihat kerusakan dahsyat akibat eksploitasi tambang emas. Pulau itu seperti wilayah tak bertuan, negara tak hadir di sana. Rakyatnya tetap terbelakang. Hanya segelintir orang yang menguasai perekonomian di pulau tersebut. Sudah puluhan orang tewas akibat eksploitasi tambang yang sembarangan. Tak hanya di Pulau Buru, tetapi juga di pulau- pulau besar seperti Jawa dan Sumatera.
Saatnya di sisa masa pemerintahan ini Presiden mewariskan sesuatu yang bernilai bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Betul-betul melaksanakan semboyan pro-poor dan pro-green yang sering didengung-dengungkan.

Untuk jangka menengah dan panjang, tak ada pilihan lain kecuali membangun institusi ekonomi dan politik yang inklusif, yang mampu menegakkan pagar-pagar kokoh. Dengan demikian, demokrasi tidak menghasilkan segelintir elite yang dengan leluasa merampok kekayaan alam dan menciptakan pemusatan sumber daya politik.
Presiden jangan lekas puas dan terbius oleh kinerja makroekonomi yang cemerlang. Pembaruan harus terus dilanjutkan, bahkan harus lebih dalam lagi. Jika tidak, sewaktu- waktu perekonomian bisa terjun bebas lagi karena keadilan semakin jauh dari hati sanubari rakyatnya.
Jangan sia-siakan momentum emas bonus demografi karena ia tidak datang dua kali.


Faisal Basri Ekonom


Sengketa Tanah Bukti Merosotnya Keadilan Agraria

Sabtu, 10 Maret 2012 , 09:58:00 WIB 

Laporan: Hendry Ginting



RMOL. Konflik agraria atau sengketa lahan di Indonesia merupakan puncak gunung es dari berbagai masalah agraria yang terus terjadi sejak jaman kolonial sampai setelah 66 tahun merdeka.

Menurut Hajriyanto , konflik agraria yang paling dominan bersifat vertikal yaitu antara masyarakat,  pemerintah dan swasta, khususnya kasus klaim atas tanah perkebunan atau pengadaan tanah untuk kepentingan umum.  Sementara konflik horizontal misalnya kepemilikan sertifikat tanah ganda atau kepemilikan beberapa sertifikat atas sebidang tanah.

"Yang paling mencuat beberapa tahun tahun terakhir tentu saja konflik antara masyarakat (adat atau transmigran) dan perusahaan,  " ujar Hajriyanto saat bicara dalam press gathering di Hotel Sheraton Senggigi, NTB, Sabtu (10/3).

Hajriyanto mengungkapkan Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sepanjang 1970-2001 terjadi sengketa agraria sebanyak 1.753 kasus, yang meliputi 10,9 juta hektar dengan korban 1.9 juta keluarga. Sepanjang 2011 terjadi 163 konflik pertanahan dengan rincian 97 kasus di sektor perkebunan. 36 di kehutanan, 8 pertambangan dan 1 kasus di sektor tambak dan pesisir. Dan dengan korban 22 jiwa dan 3 korban, dengan 106 konflik, pada 2010.

Maraknya sengketa tanah itu berakar bukan hanya masah hukum, melainkan juga politik pertanahan, ledakan jumlah penduduk, kemiskinan dan  faktor budaya.  Secara hukum kata politisi Partai Golkar itu, membuktikan sistem peraturan UU agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.

"Padahal pengelolaan sumber daya agraria dan alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan mutlak dilakukan secara terkordinasi, tepadu dan menampung dinamika Karenanya Tap MPR IX/MPR/2001 ini dimaksudkan untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan SDA, " katanya. [dry]


Selesaikan Konflik Agraria, Pemerintah Tak Implementasikan TAP MPR IX/2001

Sabtu, 10 Maret 2012 , 07:56:00 WIB 

Laporan: Hendry Ginting


RMOL. Pemerintah dinilai gagal mengimplementasikan Tap MPR IX/2009 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.  Akibatnya, pengelolaan sumber daya alam di berbagai daerah memicu terjadinya konflik.

Demikian dikatakan wakil Ketua MPR Hajrianto  Tohari pada pembukaan acara Press Gathering pimpinan MPR dan Anggota MPR dengan koordinator wartawan init DPR di Hotel Sheraton, Senggigi, Lombok, NTB, kemarin malam.

Pagi ini, dalam acara itu akan dibahas  tentang Implementasi  TAP MPR IX/2001 tentang Pembaharuan  Agraria  dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Menurut dia, dalam menyelesaikan persoalan tersebut, sebenarnya pemerintah seharusnya mengacu kepada TAP MPR tersebut. Sebab TAP MPR itu, kata Hajrianto,  sudah masuk dalam tata urut perundang-undangan.

"Tapi sangat disayangkan seolah-olah TAP MPR tersebut tidak ada dan tidak bermakna. Belum ada resonansi politik dari  pemerintah untuk mengacu kepada TAP MPR dalam membuat kebijakan," demikian Hajrianto. [dry]

Tanpa Reforma Agraria, MP3EI Berpotensi Memarginalkan Rakyat

Rabu, 15 Februari 2012 , 10:26:00 WIB

Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi


SYAHGANDA NAINGGOLAN/IST
  






RMOL. Konflik hak pengelolaan sumber daya agraria antara rakyat versus para pengusaha semakin sering terjadi di tanah air akibat kebijakan yang dikembangkan pemerintah saat ini lebih pro-investasi. Dalam situasi seperti ini, Presiden SBY menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang membutuhkan investasi ribuan triliun rupiah serta jutaan hektar tanah.
"Pelaksanaan MP3EI berpotensi menambah panjang daftar konflik dan sengketa pertanahan karena mekanisme pengadaan lahan untuk pembangunan tersebut sering mengabaikan hak-hak rakyat atas tanah," kata Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Rabu, 15/2).
Sebagai contoh, kata Syahganda, proyek pengembangan Merauke Integrated Food And Energy Estate (MIFEE) Merauke di Papua yang menjadi bagian dari program MP3EI koridor ekonomi Papua-Kepulauan Maluku membutuhkan 1,2 juta Ha lahan, belum melibatkan rakyat setempat untuk memberikan persetujuan maupun berperan serta dalam proyek tersebut. Oleh karenanya, agenda MP3EI berpotensi memarginalkan peran serta rakyat jikalau tanpa didukung agenda reforma agraria.
Pemerintah, lanjut Syahganda, perlu melaksanakan harmonisasi agenda MP3EI dengan agenda reforma agraria sehingga kesejahteraan rakyat tercapai secara harfiah. Hal ini didasari bahwasanya rakyat juga berhak mendapatkan aset tanah dalam proses pembangunan ekonomi sebagaimana diatur dalam skenario reforma agraria.
"Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai institusi agraria perlu melakukan reformasi kelembagaan agar mampu menyelesaikan berbagai konflik dan sengketa pertanahan serta menjalankan agenda reforma agraria hingga tuntas," demikian Syahganda. [ysa]


Menggugat Urgensi RUU Pertanahan

Oleh Usep Setiawan


Wajah agraria Indonesia diwarnai ketimpangan yang memiskinkan, mengerasnya konflik, dan rusaknya lingkungan yang membuahkan bencana.
Masalah agraria yang kronis meliputi seluruh sektor dan semua wilayah. Buruknya rupa agraria Indonesia dibentuk akibat kelakuan instansi/aparat pemerintah, serta bisnis dan preman dari skala global sampai lokal. Cakupan area yang diperebutkan jutaan hektar. Di tengah karut-marut wajah agraria, pemerintah dan DPR tengah menyusun RUU Pertanahan.
Disadari, UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 baru mengatur hal prinsip dan pokok sehingga perlu operasionalisasi khusus di bidang pertanahan. Di sisi lain, banyak UU tak sejalan dengan semangat UUPA karena kuatnya egosektoralisme birokrasi dalam pengelolaan kekayaan alam.
Lantas, apa relevansi RUU Pertanahan? Ketimpangan agraria, konflik agraria, dan kerusakan lingkungan menanti jawaban. Oleh karena itu, ada tiga paham (isme) yang harus dibendung: kapitalisme, liberalisme, dan sektoralisme. Ketiga ”isme” itu menempatkan tanah sebagai komoditas obyek spekulasi. Juga menjadikan rakyat sebagai buruh di atas tanahnya sendiri, memuja kebebasan pasar, menggerus peran negara sebagai pengelola urusan rakyat banyak, dan menjadikan setiap sektor sebagai obyek ekstraksi dan eksploitasi demi akumulasi kapital besar.

Lima agenda utama

Sejumlah prinsip mestinya melandasi RUU Pertanahan. Di antaranya, tanah sebagai sumber keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat; pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah individu dan badan usaha; larangan monopoli dan eksploitasi yang berlebihan; dan keharusan menggunakan tanah untuk keberlanjutan layanan alam.
Sekurang-kurangnya ada lima agenda strategis yang harus diutamakan. Pertama, penataan struktur agraria untuk mengakhiri ketimpangan. Ditetapkan konsep, pengertian, maksud, dan tujuan land reform. Dipastikan juga obyek dan subyek, serta mekanisme dan kelembagaan land reform. Tak kalah penting, diatur soal pembiayaan dan kerangka waktu pelaksanaan land reform.
Kedua, penanganan sengketa dan konflik pertanahan. RUU ini mesti memberikan pemaknaan sengketa dan konflik pertanahan secara jelas dan utuh. Penting juga diatur prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik pertanahan. Ketiga, pengakuan dan penguatan hak-hak masyarakat adat. Perlu diatur pemetaan wilayah/tanah dan subyek/komunitas masyarakat adat. Dibuat juga mekanisme pendaftaran dan pengakuan wilayah kuasa dan pengelolaan masyarakat adat. Ditetapkan kebijakan penguatan hak dan pemajuan sosial ekonomi masyarakat adat dalam pengelolaan tanah dan kekayaan alam.
Keempat, perlindungan dan pemberdayaan petani penggarap. Perlu diatur identifikasi kelompok/organisasi, serta pembentukan dan pengembangan kelembagaan petani. Perlu mekanisme pengadaan tanah bagi petani miskin, misalnya melalui redistribusi. Perlu penyediaan berbagai sarana pendukung untuk pengusahaan tanah serta membuka jalan penataan produksi dan pemasaran produk pertanian.
Kelima, sinkronisasi dan harmonisasi dengan regulasi lain dengan memosisikan UUPA sebagai rujukan. Secara substantif dan strategis, pertanahan harus ditempatkan sebagai matrik dasar keagrariaan. RUU Pertanahan idealnya menjadi simpul regulasi sektoral sehingga UU lain dan regulasi di bawah UU menyesuaikan dengan isi UU Pertanahan. Kelembagaan agraria pun ditata ulang, misalnya menghidupkan kembali Kementerian Agraria.
RUU Pertanahan perlu jika diletakkan dalam konteks pelaksanaan Ketetapan MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Semangat utama regulasi pertanahan harus memperkuat hak rakyat atas tanah.

Operasionalkan UUPA

RUU Pertanahan harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah baru. Perlu juga disinergikan inisiatif DPR yang juga tengah menyusun RUU Pertanahan dengan agenda-agenda legislasi terkait, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan RUU Desa. Agar RUU Pertanahan mengakomodasi suara masyarakat banyak, konsultasi publik penting digencarkan. Legislasi pertanahan harus menjadi karpet merah bagi keadilan agraria. Jika sebaliknya, RUU ini layak ditolak sebelum telanjur disahkan.


Usep Setiawan - Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria



Sebanyak 20 BUMN Kurang Produktif

MANAJEMEN



Jakarta, Kompas - Dari 142 badan usaha milik negara, sebanyak 20 di antaranya dinilai kurang produktif. Kinerja yang ditunjukkan badan usaha milik negara tersebut sering kali tertinggal jauh dibandingkan dengan kinerja perusahaan swasta yang bergerak di bidang usaha sejenis.
Demikian dituturkan Deputi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha BUMN Wahyu Hidayat saat ditemui seusai seminar nasional bertema ”Strategi Global BUMN: Kajian BUMN Wilayah Asia”, di Jakarta, Rabu (8/5).
Wahyu mengatakan, salah satu contoh BUMN yang kurang produktif tersebut adalah Perum Produksi Film Negara (PPFN).
”Kinerja yang ditunjukkan PPFN bahkan kalah jauh dibandingkan rumah produksi kecil di tingkat lokal,” ujarnya.
Jika memang kinerjanya terus memburuk, pemerintah mempertimbangkan agar bidang usaha yang dijalankan 20 BUMN tersebut dialihkan untuk ditangani swasta.
Wahyu mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun Kementerian BUMN, laba bersih dari BUMN saat ini memang terpantau terus meningkat dan saat ini mencapai Rp 140 triliun. Kendatipun demikian, pencapaian ini masih kalah jauh dibandingkan dengan laba perusahaan-perusahaan swasta asing ataupun BUMN milik asing.
”Pencapaian laba BUMN Rp 140 triliun tersebut kalah jauh dibandingkan laba yang dihimpun BUMN Malaysia, Petronas, selama satu tahun,” ujarnya.
Sebanyak 142 BUMN di Indonesia bergerak di semua sektor, mulai dari sektor yang melibatkan kehidupan masyarakat miskin hingga masyarakat kelas menengah ke atas. Tidak hanya laba bersih, peningkatan juga terjadi pada nilai aset BUMN yang pada 2008 terdata Rp 1.900 triliun dan pada tahun 2012 mencapai Rp 3.200 triliun. Nilai ekuitas BUMN dari sebelumnya Rp 502 triliun menjadi Rp 818 triliun dan angka penjualan juga meningkat dari Rp 1.068 triliun menjadi Rp 1.600 triliun pada 2012.
Selain itu, Wahyu juga mengatakan, tidak semua BUMN dapat merambah dan menjalankan usaha di luar negeri. Hal ini terjadi karena banyak BUMN belum mampu menjadi trader dan melihat peluang usaha di dunia internasional.

Seleksi ketat

Pengajar Manajemen Operasi Prasetiya Mulya Business School, Jakarta, Henry Pribadi, mengatakan, membandingkan kondisi di Indonesia, Jepang hanya memiliki lima hingga enam BUMN yang semuanya bergerak di bidang infrastruktur.
Sementara itu, Ketua Prasetiya Mulya Business School Djoko Wintoro mengatakan, di China, pemerintah terlibat aktif membantu pengembangan BUMN, terutama BUMN yang memiliki potensi untuk bergerak di pasar global. Pemilahan BUMN tersebut juga melalui seleksi ketat. (EGI)



Fundamen Ekonomi Indonesia Melemah

MAKROEKONOMI


Jumat, 14 Juni 2013



Jakarta, kompas - Standard Chartered Bank menilai fundamen ekonomi Indonesia terus melemah. Investor asing pun melihat risiko ekonomi dan politik di negeri ini meningkat.
Penilaian itu berurutan dengan direvisinya proyeksi pertumbuhan perekonomian global oleh Bank Dunia. Ini terjadi seiring semakin dalamnya resesi Eropa dan melambatnya perekonomian negara-negara berkembang.
Managing Director and Senior Economist Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menyatakan, persepsi investor semakin negatif karena berlarut-larutnya keputusan mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
”Tanpa kejelasan mengenai kebijakan energi pemerintah, subsidi BBM bakal terus membebani anggaran pemerintah dan neraca transaksi berjalan,” kata Fauzi, di Jakarta, Kamis (13/6).
Standard Chartered merevisi proyeksi transaksi berjalan Indonesia untuk tahun 2013 menjadi 20 miliar dollar AS (sekitar -2,1 persen dari produk domestik bruto/PDB nominal) dari sebelumnya 14 miliar dollar AS (-1,5 persen dari PDB nominal). Ini terkait dengan prediksi pemulihan harga komoditas di pasar internasional masih akan berjalan lambat, sementara sekitar 55 persen ekspor Indonesia berbasis komoditas.
Rupiah diperkirakan akan tetap tertekan sepanjang tahun ini karena risiko meningkatnya inflasi, terutama karena kenaikan harga BBM. Itu terjadi juga seiring lambatnya respons kebijakan moneter Bank Indonesia dan kekhawatiran pasar terhadap defisit neraca transaksi berjalan.
”Kami merevisi proyeksi nilai tukar rupiah ke Rp 9.950 per dollar AS pada akhir triwulan kedua 2013, Rp 9.900 per dollar AS pada akhir triwulan ketiga 2013, dan Rp 9.800 per dollar AS pada akhir triwulan keempat 2013,” kata Fauzi.

Belum pulih

Dalam laporan Global Economic Prospects yang dirilis Selasa lalu, Bank Dunia menyatakan, negara-negara maju belum akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi global dalam beberapa tahun ke depan. Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan hanya akan tumbuh 2,2 persen atau melambat jika dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang sebesar 2,3 persen. Pada awal tahun ini, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan tumbuh sekitar 2,4 persen pada tahun 2013.
Terkait kondisi Indonesia, Bank Dunia menyebutkan tingkat inflasi yang meningkat menjadi salah satu yang harus dihadapi dengan saksama. Selain itu, pelemahan nilai rupiah dan kenaikan harga bahan makanan juga patut menjadi perhatian.
Di pasar modal, Bank Dunia melihat valuasi saham di Indonesia bersama Thailand, Laos, dan Filipina sudah terlalu tinggi. Ini terlihat dari rasio harga saham dan laba perusahaan 17-21 kali. Potensi ambil untung oleh investor pun terlihat. (BEN)



Saturday, June 29, 2013

Hanya Kejar Kekuasaan

Fenomena Politikus Lompat Parpol Tak Sehat untuk Demokrasi



Jakarta, Kompas - Perpindahan politikus ke partai lain yang belakangan ini marak terjadi merupakan fenomena yang lumrah menjelang pemilihan umum. Namun, perpindahan itu dinilai lebih menonjolkan kepentingan pragmatis, terutama memburu peluang dan mengejar kekuasaan.
Perpindahan atau dikenal dengan istilah lompat pagar itu kecil sekali dengan alasan idealis, karena tidak ada perbedaan ideologi yang mencolok antarpartai.
”Faksionalisme basisnya pragmatis, tidak ada hubungannya dengan perbedaan ideologi. Mereka yang kalah dalam pertarungan otomatis kehilangan sumber daya sehingga memutuskan keluar dan berpindah parpol atau membuat parpol baru,” kata pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, Minggu (27/1).
”Lompat partai tidak dimaknai sebagai pengkhianatan pada ideologi, tetapi hanya urusan kepentingan dan peluang,” ujar Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat di Jakarta, Sabtu (26/1).

Perpindahan politikus ke partai politik (parpol) lain, ujar Ari, biasanya berawal dari perpecahan internal parpol. Perpecahan terjadi lantaran para pengurus tidak mampu mengelola faksionalisme internal parpol. Perpecahan berujung pada keluarnya faksi yang tidak puas untuk kemudian berpindah parpol atau membentuk parpol baru.
Tren perpindahan politikus ke parpol lain atau membentuk parpol baru mulai muncul sejak awal reformasi. Politikus berpindah parpol, kata Ari, bukan karena perbedaan ideologi, melainkan karena gagal memperebutkan posisi atau jabatan strategis dalam parpol.
Maka, pindah parpol atau membuat parpol baru menjadi pilihan paling rasional. Sebab, kemungkinan besar, mereka akan kembali mendapatkan posisi atau jabatan strategis dalam parpol baru. Akses politikus untuk memperoleh kekuasaan kembali terbuka setelah pindah parpol.

Tidak sehat

Fenomena politikus lompat parpol itu, menurut Ari, tidak sehat untuk demokrasi. Politikus seharusnya mendorong demokratisasi dengan membenahi persoalan di internal parpol. Tetapi kenyataannya, tidak sedikit politikus yang memilih lompat parpol untuk menyelamatkan akses kekuasaan yang dimiliki.
Partai Golkar termasuk yang kadernya hengkang ke partai lain. Hal itu, kata anggota DPR dari Fraksi Golkar Ade Komarudin, bukan merupakan ancaman. Partai Golkar sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Menurut Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, partainya terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung, termasuk mantan Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem Hary Tanoesoedibjo.
Belakangan ini, meskipun diwarnai pengunduran diri sejumlah pengurusnya, Partai Nasdem juga menjadi tempat politikus pindah. Komaruddin melihat partai itu berpeluang menjadi partai alternatif ketika mampu menawarkan restorasi dan benar-benar menjadi partai rasional, demokratis, dan terbuka. (NTA/INA/FER)


Ide Korupsi sejak Awal. Parpol Paling Bertanggung Jawab terhadap Praktik Korupsi.

Parpol Paling Bertanggung Jawab terhadap Praktik Korupsi


KOMPAS/RIZA FATHONI


Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi, Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch, moderator Hendri Satrio, dan politisi senior Siswono Yudo Husodo (kiri ke kanan) saat berbicara dalam diskusi bertema Mengulas Dugaan Mengakarnya Budaya Kolusi di Lembaga Tinggi Negara di Jakarta, Minggu (27/1).

Jakarta, Kompas - Praktik penyelewengan anggaran atau korupsi politik sudah dirancang sejak tahap penyusunan ide sebuah program pembangun- an. Korupsi sengaja dirancang untuk memenuhi kebutuhan keuangan partai politik karena partai tidak memiliki sumber keuangan sendiri.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertema ”Mengulas Dugaan Mengakarnya Budaya Kolusi di Lembaga Tinggi Negara” yang digelar Perhimpunan Profesional Indonesia di Jakarta, Minggu (27/1).
”Kalau dulu korupsi sederhana, misal dengan me-mark up harga barang dari Rp 100 menjadi Rp 110. Sekarang mark up lebih mahal dari nilai proyek, bahkan korupsi sudah dirancang sejak dalam tataran ide. Jauh sebelum anggaran direncanakan,” kata Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Siswono Yudo Husodo, salah satu narasumber diskusi.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko, narasumber lainnya, juga berpendapat bahwa korupsi sudah dirancang sejak awal. Sering kali sebuah proyek sengaja didesain untuk dikorupsi bersama-sama.
”Jadi sudah dirancang proyeknya apa, siapa yang memperjuangkan perencanaan anggaran, di daerah mana proyek akan dilaksanakan, sampai pada siapa yang melaksanakan proyek,” ujarnya.
Menurut Danang, korupsi sengaja dirancang untuk membiayai kelangsungan hidup partai politik (parpol). Parpol terpaksa melakukan korupsi karena tidak memiliki sumber keuangan.
Berdasarkan catatan ICW, tidak ada satu parpol pun yang membiayai diri dari iuran anggota. Selain itu, parpol juga tidak memiliki sumber pendapatan lain yang legal. Karena itu, parpol membebankan biaya operasional kepada para anggota fraksi mereka di parlemen.
Siswono membenarkan bahwa sumbangan dari anggota fraksi di parlemen menjadi tulang punggung keuangan parpol. ”Dari sembilan parpol di parlemen, tidak ada yang hidup dari iuran anggota. Backbone-nya adalah anggota fraksi,” katanya.
Narasumber lain, J Kristiadi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) berpendapat, akar korupsi adalah ada kesesatan dalam berpolitik. Para politikus serta parpol lebih mengedepankan politik uang untuk mendapatkan kekuasaan sehingga setelah memperoleh kekuasaan, mereka cenderung memanfaatkan kewenangan untuk menyelewengkan anggaran.

Perbaiki perekrutan

Baik Siswono, Danang, maupun Kristiadi sependapat bahwa parpol menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas praktik korupsi politik. Pasalnya, parpol merupakan mesin untuk memproduksi pejabat, baik anggota legislatif maupun pemimpin di lembaga eksekutif dari tingkat pusat hingga daerah.
Siswono pun berharap semua parpol dapat memperbaiki pola perekrutan calon pejabat negara, khususnya calon anggota legislatif (caleg).
”April, parpol harus menyerahkan DCS (daftar caleg sementara). Kalau saja caleg yang diajukan adalah orang-orang baik, maka yang terpilih menjadi anggota DPR adalah yang terbaik dari yang baik,” katanya. Danang mengusulkan Komisi Pemilihan Umum membuat peraturan berupa kewajiban parpol untuk menyerahkan laporan keuangan.
Di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu, Ketua Umum PAN Hatta Rajasa mengatakan, dalam penempatan caleg di semua daerah pemilihan, partai tetap memberlakukan seleksi ketat dengan mengutamakan jejak rekam caleg yang tidak pernah tersangkut kasus korupsi. (NTA/ILO)


Desentralisasi Korupsi

Oleh Indriyanto Seno Adji


Pemahaman antara desentralisasi dan kepastian hukum, yang diikuti dengan kekuasaan dan investasi daerah, justru menimbulkan polemik dan ketidakpastian hukum.
Hal itu terjadi karena investasi daerah akan selalu berkaitan antara kekuasaan negara (nasional/lokal) dan kekuasaan ekonomi (pengusaha/investor), yang akhirnya investasi berujung pada korupsi. Korupsi seolah tidak lagi menjadi dominasi kekuasaan pusat, tetapi meluas searah otonomi kekuasaan daerah.
Polemik dan ketidakpastian hukum ini telah diingatkan sejak Kongres PBB VII tentang ”Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” di Milan, tahun 1985. Dalam kongres itu dibicarakan suatu tema yang tidak klasik sifatnya, yaitu ”Dimensi Baru Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”.
Dalam salah satu subtema ”dimensi baru” ini, yang mendapat sorotan adalah tentang terjadi dan meningkatnya ”penyalahgunaan kekuasaan” oleh pejabat publik. Sorotan pun meluas dalam bidang ekonomi yang melibatkan pihak pelaku ekonomi (pengusaha) dan penguasa (penyelenggara negara) yang melakukan konspirasi dan bertujuan untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu.

Meningkat tajam

Perbuatan-perbuatan di luar hukum itu oleh penegak hukum dianggap merugikan keuangan dan perekonomian masyarakat serta negara dalam skala yang sangat besar. Di sisi defensi penyelenggara negara, kegiatan yang telah dilakukan itu ada dalam batas-batas kewenangan berdasarkan regulasi dan diskresioner yang dimilikinya. Sementara bagi pengusaha, keterikatan keperdataan dengan penyelenggara negara dianggap bukan tindak pidana korupsi.
Memasuki era reformasi, dengan sistem ketatanegaraan otonomi daerah dan pilkada, bermunculan kasus-kasus di sejumlah daerah dengan multi-investasi daerah yang justru menimbulkan ”desentralisasi korupsi”. Dalam rentang waktu berlakunya otonomi daerah ini terjadi eskalasi yang cukup tajam peningkatan kasus hukum korupsi. Dari sekitar 177 penyelenggara negara di tingkat kabupaten/kota yang diindikasikan terlibat korupsi, ternyata ada 155 kepala daerah yang terlibat masalah hukum. Dan, dari 32 gubernur, 17 di antaranya terlibat masalah hukum.
Keterlibatan para penyelenggara negara tersebut tentu tidak terlepas dari keterlibatan ratusan pengusaha/investasi nasional/lokal. Dominasi pelanggaran deliknya adalah perbuatan melawan hukum (violation of law) dan menyalahgunakan wewenang (abuse of power), yang dalam sistem hukum pidana berkaitan dengan korupsi terletak masing-masing pada Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi.
Komparasi Amerika Serikat dan negara Eropa, seperti ungkapan Maria Sutopo Conboy, isu kekuasaan dan investasi daerah tak semata masalah hukum, tetapi merupakan hubungan antara disiplin ilmu ekonomi dan hukum yang tak dipahami penegak hukum secara mendalam.
Dalam kasus Indonesia, Maria Sutopo dengan pendekatan analisis ekonomi dan hukum melalui metode cost benefit analysis menempatkan pelaku ekonomi sebagai korban pemerasan kekuasaan negara. Implementasi kekakuan regulasi kejahatan korupsi terhadap pelaku ekonomi telah menimbulkan biaya tinggi, kendala bagi pengembangan ekonomi dan investasi di daerah.
Dalam konteks investasi daerah, signifikansi ekstrem keterlibatan penyelenggara negara yang tersangkut dalam kasus korupsi menimbulkan suatu pertanyaan: apa yang melatarbelakangi terjadinya masalah ini? Karena itu, tinjauan pemecahan masalahnya coba diuraikan secara singkat di bawah ini.

Kekakuan UU

Pertama, dalam kaitan otonomi daerah di mana disorot meningkatnya ”perbuatan melawan hukum” dan ”penyalahgunaan kekuasaan” oleh penyelenggara negara, kemudian meluas dan berimbas pada kekuasaan ekonomi privat (pengusaha) yang menimbulkan ”desentralisasi korupsi”. Pada akhirnya itu menimbulkan dugaan tindak pidana di bidang ekonomi sebagai salah satu obyek kriminalisasi. Tafsir implementasi korupsi antara penyelenggara negara dan pelaku ekonomi saling bertahan.
Ada tidaknya pemerasan dari penyelenggara negara kepada pelaku ekonomi mendominasi realitas dan realisasi segala perizinan. Arus pemerasan yang ditentang akan menghasilkan ketiadaan penerbitan izin dan sejenisnya. Sebaliknya, mengikuti keseragaman arus pemerasan menimbulkan harapan realisasi segera penerbitan izin, bahkan secara ekstrem akan terjebak pada kasus suap korupsi.
Kedua, desentralisasi korupsi terjadi sebagai akibat kerancuan dalam memberikan limitasi yang diferensi antara norma (melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan) dalam hukum pidana dengan hukum administrasi negara dan hukum perdata. Kewenangan diskresioner dari aparatur negara berupa freies ermessen, baik perbuatannya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan (kewenangan terikat) maupun menyimpangi peraturan perundang-undangan (kewenangan aktif)—dan dilakukan dalam kondisi mendesak, urgen, dan atau darurat sifatnya—merupakan area hukum administrasi negara yang tidak menjadi yurisdiksi tindak pidana korupsi. Tentu saja asalkan selaras dengan maksud ditetapkannya kewenangan atau sesuai dengan tujuan akhirnya ditetapkan diskresioner ini. Adapun dalam hal terjadi penyimpangan, area hukum pidana menjadi pijakannya.
Ketiga, meluruskan penyimpangan asas systematische specialiteit atau kekhususan sistematis yang telah menggariskan bahwa pelanggaran perundang- undangan administrasi yang bersanksi penal (administrative penal law) tidak selalu dapat diartikan sebagai perbuatan koruptif, tetapi menjadi area tindak pidana pada perundang-undangan administratif. Hal ini ditegaskan melalui Pasal 14 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang bertujuan menghindari tindak pidana korupsi sebagai all embracing act dan all purposing act terhadap administratif yang bersanksi penal.
Keempat, adanya polemik atas tindakan atau perbuatan dalam kaitan privat sebagai akibat hubungan keperdataan dengan lembaga/aparatur negara, maka perbuatan dan akibat yang timbul dari hubungan tersebut terhadap pengusaha tunduk pada soal ”keperdataan”, bukan kompetensi tindak pidana korupsi dalam ranah hukum pidana.
Ke depan, pengembangan ekonomi, investasi daerah dan kepastian hukum memerlukan pemahaman penegak hukum atas permasalahan hukum dan korupsi melalui pendekatan analisis ekonomi dan hukum dengan metode cost benefit analysis. Dengan begitu, tidak menempatkan pelaku ekonomi sebagai korban pemerasan kekuasaan negara dan terhindar dari implementasi kekakuan UU Tipikor melalui biaya tinggi yang tidak bermanfaat!


Indriyanto Seno Adji Pengajar Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Air Mata Koruptor

Oleh Indra Tranggono

Kompas, Senin, 28 Januari 2013
Seorang terdakwa korupsi uang negara menangis ketika dituntut hukuman belasan tahun. Namun, bukan korupsi yang ia sesali, melainkan keputusannya masuk sebuah partai politik yang memerosokkan dirinya. Siapa bilang korupsi itu selalu menyiksa batin para koruptor?
Setengah menyindir, orang Madura bilang, ”Ya ndak tentu Mas, kadang terseksa, kadang enggak. Tergantung kepentingan. Perasaan itu, kan, bisa disetel!”

Air mata koruptor dapat kita pahami sebagai teks emosional yang memunculkan banyak tafsir. Mungkin air mata itu tak lebih dari gimmick (tipu muslihat) psikologis yang dikapitalisasi demi peristiwa dramatik. Tujuannya, meraih simpati atau menuai iba dari jaksa atau hakim. Air mata juga mungkin media untuk menyampaikan pesan kepada publik bahwa koruptor masih ”konsisten” jadi manusia yang punya hati nurani. Koruptor mencoba menampik stigma buram atas dirinya: misalnya distigma sebagai makhluk pengerat atau predator duit rakyat.
Koruptor pasti keberatan jika air mata yang ditumpahkan itu dimaknai sebagai air mata buaya atau air mata tikus. Di balik moralitas mereka yang koyak-moyak, mereka tetap saja merasa punya martabat sebagai manusia. Namun, bagi publik, hal itu tak lebih dari ”martabat” rombengan yang hanya dihormati komunitas bandit atau mafia.

Makhluk paling istimewa

Dalam sistem kekuasaan yang memuja kleptokrasi, para koruptor adalah makhluk paling istimewa. Berasal dari komunitas terkutuk, mereka telah menjelma menjadi entitas kriminal yang ”terhormat” dan ”sakti mandraguna”. Sekali mereka menguap, miliaran, bahkan triliunan, uang negara pun terisap. Mulut mereka selebar rentangan pulau-pulau Nusantara. Daya isap mereka lebih tinggi daripada vacuum cleaner yang paling canggih sekalipun.
Tangan-tangan mereka pun jauh lebih hebat daripada tentakel-tentakel gurita dalam menggaruk uang negara. Brankas mereka besar dan luas tanpa batas sehingga bisa menampung berapa pun uang APBN/APBD yang mereka garuk.

Bagi para koruptor sejati, korupsi sering dianggap sebagai ”treatment psikologis” untuk memacu adrenalin. Tumpukan uang dan gelimang kemewahan memicu adrenalin meluap dan berbuncah-buncah. Rasa bersalah, apalagi rasa berdosa, pun lenyap. Yang ada kemudian adalah ketergantungan atau ketagihan korupsi.
Mereka pun selalu sakau. Sehari saja tak korupsi, tubuh terasa loyo, gemetar, dan mata berkunang-kunang. Apa boleh buat. Di negeri yang dicengkeram para bandit ini, korupsi diam-diam telah berubah menjadi semacam ”jalan hidup”.
Untuk menghadapi sangkaan, tudingan, dan atau tuduhan, para koruptor juga memiliki ilmu berdalih yang sangat canggih. Mereka mampu membangun argumentasi dengan kadar ”ilmiah” sangat tinggi. Mereka juga bisa mengerahkan para politisi-intelektual atau intelektual partisan untuk membela diri dengan berbagai rasionalisasi berbasis teori.
Bahkan, ketika koruptor ditangkap KPK, tetap saja muncul pembelaan dan pembenaran. Muncullah ”fatwa” (pernyataan) yang menggelikan: tidak semua tindakan korupsi bisa disalahkan. Sebab, sangat mungkin sang pelaku korupsi tidak mengerti dan menyadari bahwa apa yang dilakukan itu adalah korupsi. Bahkan sang pemberi ”fatwa” itu menandaskan, negara harus memberikan bantuan kepada pejabat yang ”tidak sengaja” melakukan korupsi.
Atas ”fatwa” itu, rakyat hanya bisa mengelus dada. Hati rakyat terasa ditikam ironi paling tajam, di tengah gegap gempita upaya pemberantasan korupsi.

Ambruknya ”civil society”

Kesaktian para koruptor di negeri ini tidak hanya menjangkau dan mencengkeram para penegak hukum bermental korup. Mereka juga telah menguasai setiap sel, jaringan, aliran darah, dan tarikan napas siapa pun, dengan profesi apa pun. Kini, korupsi tak hanya menjadi kejahatan sistemis, tetapi sudah mencapai tingkat holistis. Ia telah menusuk jantung kebudayaan dan menyebarkan miliaran bakteri ke otak dan jiwa masyarakat bahkan bangsa.
Cita-cita terwujudnya civil society, masyarakat madani, pun pelan-pelan ambruk digantikan hadirnya ”masyarakat serigala” yang dibungkus citra kesantunan, kecendekiaan, pengabdian, dan kejujuran.

Ketika perubahan di negeri ini terjadi dari rezim otoriter ke rezim demokratis, rakyat berharap civil society itu segera terwujud, antara lain karena penguatan parlemen dan masuknya banyak tokoh sipil prodemokrasi dalam pemerintahan. Namun, terbukti demokrasi hanya jadi pintu masuk bagi sebagian besar petualang politik ”bermental serigala”. Mereka menganggap rakyat tak lebih dari domba-domba lemah yang layak diterkam dan dikerkah. Absurdnya, sambil menerkam, mereka melolong tentang kejujuran, keadilan, atau keberpihakan kepada rakyat. Padahal, rakyat menjerit dan mengerjat-ngerjat dalam gigitan dan koyakan taring-taring mereka.

Menguatnya ”masyarakat serigala” di level elite kekuasaan membuktikan bahwa ternyata mereka tak lebih dari pemburu kamukten (kejayaan secara material dan rasa hormat sosial). Topeng-topeng kepalsuan mereka kini telah retak dan pecah dan tampaklah jati diri mereka: kebengisan dan kerakusan.
”Masyarakat serigala” tak hanya bisa melolong, menerkam, mengerkah, dan mengoyak-koyak negara-bangsa, tetapi juga bisa (berakting) menangis untuk menipu siapa saja yang masih mampu dan berani memelihara akal sehat dan hati nurani.
Air mata para koruptor tak lebih dari cairan yang melumuri kejahatan. Air mata itu mengalir bukan dipicu kesedihan hati dan perasaan, sebab dua hal itu memang tidak lagi dimiliki para koruptor alias predator.

INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan; Tinggal di Yogyakarta


Absurditas Kedaulatan Energi

Adi Nugroho


Dalam kurun 128 tahun sejak ditemukannya Telaga Said pada 1885, sudah tak terbilang jumlah investor asing yang berkiprah di kegiatan hulu migas.
Harus diakui bahwa peranan investor asing sangat besar dalam mengembangkan kegiatan hulu migas di Indonesia. Meskipun ada jutaan warga Indonesia yang mencari nafkah dari investor asing selama lebih dari satu abad, keinginan untuk mengusir mereka senantiasa bergema sepanjang waktu.
Pertanyaannya, mengapa kita harus mengusir mereka jika ada sebagian dari saudara kita diberi kesempatan bereksistensi oleh para investor tersebut? Apakah kita memang tidak diberi kesempatan untuk mengelola hulu migas, ataukah kita memang tidak ada usaha untuk menjadi tuan di negeri sendiri?

Kesejarahan energi

Perdebatan mengenai kedaulatan hulu minyak dan gas (migas) selalu berkisar pada kebijakan yang diambil pemerintah dalam konteks kekinian. Aspek kesejarahan tidak bisa dipisahkan apabila kita ingin mengkajinya secara jernih mengingat panjangnya rentang waktu kiprah hulu migas yang telah melewati lima rezim. Sejak rezim Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, akan tampak senantiasa kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk berdaulat.
Pada waktu rezim Belanda, Jepang, dan awal Orde Lama, bangsa kita diberi kesempatan belajar dan meniti karier di industri hulu migas. Sejak akhir Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, bangsa kita bertindak sebagai ”majikan” dan investor asing harus mendapatkan izin untuk berkiprah.
Sebagai ”majikan”, kita berhak menentukan investor asing yang boleh beroperasi di Tanah Air. Investor asing tersebut ada yang berhasil mengembangkan blok migas, tetapi lebih banyak yang gagal dan harus angkat koper kembali ke kampungnya.
Dengan skema bagi hasil, investor harus terikat dengan kewajibannya untuk menyumbangkan devisa bagi negara. Adapun yang gagal menemukan cadangan hidrokarbon, segala kerugian finansial—yang bisa mencapai triliunan rupiah—pun harus ditanggung sendiri. Meski gagal, negara pun sudah mendapatkan keuntungan miliaran rupiah dari bonus saat kontrak kerja sama ditandatangani.
Dari aspek kesejarahan, kita dapat melihat ada tiga fase perjalanan kegiatan hulu migas yang sebenarnya menunjukkan keberpihakan kepada bangsa kita. Antara 1885-1957 adalah ”masa pembelajaran”. Ini dapat dilihat dari dibentuknya Pendidikan Ahli Minyak yang telah menghasilkan 160 ahli migas. Tahun 1957-2002 adalah ”masa pemberdayaan” yang ditandai dengan kelahiran Permina, Pertamin, PTMRI, dan disempurnakan dengan hadirnya Pertamina. Pada 2002 hingga sekarang adalah ”masa kemandirian” dengan kelahiran BP Migas. Tidak hanya Pertamina yang diberikan kesempatan mengelola blok migas, tetapi juga sektor swasta dan BUMD.
Dengan masa pembelajaran selama 72 tahun, masa pengembangan sepanjang 45 tahun dan masa pemberdayaan yang telah memasuki tahun ke-11, menjadi sesuatu yang ajaib jika investor asing masih diberi kesempatan. Tuduhan paling sering dipakai adalah pemerintah terlalu pro asing atau tidak memiliki politik energi yang jelas. Padahal, undang-undang dan segala peraturan telah memberi kesempatan kepada seluruh warga negara untuk mengelola blok migas.
Namun, mengapa hanya Pertamina, Medco, Energi Mega Persada (EMP), Star Energy, dan Sele Raya yang dapat berkiprah? Jawabannya adalah kita terlampau terlena sebagai ”majikan” dan enggan bertindak sebagai pemain bisnis hulu migas.
Jika bicara kedaulatan energi, Pertamina selalu kita jadikan ”tameng” untuk mengelola blok migas. Kita ”memaksa” Pertamina mengakuisisi semua blok asing tanpa menghiraukan karakteristik bisnis hulu migas. Padahal, Pertamina harus berhadapan dengan karakteristik bisnis berupa tingginya risiko, besarnya biaya, dan tuntutan teknologi.
Karena kita menjadikan Pertamina sebagai tameng, kiprah swasta seperti Medco dan EMP pun tidak kita perhatikan. Kiprah BUMD seperti Sarana Pembangunan Riau, Bumi Siak Pusako atau Perusda Benuo Taka pun seperti hilang ditelan bumi.
Hal ini menjadi absurd ketika kita memaksa Pertamina untuk mengakuisisi blok asing tetapi ternyata kita sendiri tidak mendukung operasi mereka. Kita bisa melihat dalam kasus Tiaka. Pertamina dan Medco dijadikan santapan empuk terkait pelanggaran hak asasi manusia. Dari 22 lapangan Pertamina, hampir semua berhadapan dengan tuntutan CSR dari masyarakat atau permintaan dana bagi hasil dari pemerintah daerah.
Bertambah absurd lagi ketika operasi seismik Pertamina dalam usaha menemukan cadangan hidrokarbon pun ditolak masyarakat setempat. Tampaknya, sebagai ”majikan”, kita hanya menginginkan Pertamina bekerja semaksimal mungkin, tetapi segala risiko yang dihadapi harus ditanggungnya sendiri.
”Pemaksaan” terhadap Pertamina pun berimbas pada tudingan bahwa pemerintah tidak memiliki kejelasan dalam politik energi yang sebenarnya tidak menyelesaikan inti permasalahan. Meskipun Blok Cepu dan Mahakam diberikan ke Pertamina sebagai representasi dari politik energi yang kita kehendaki, apakah kemudian kita mau membantu operasi Pertamina? Jika wewenang BP Migas dikembalikan kepada Pertamina, apakah kita mau membantu mereka untuk mengelola blok migas?

Tanggung jawab sosial

Salah satu jalan keluar dari absurditas ini adalah menyadarkan kepada semua pemangku kepentingan akan tanggung jawab sosial mereka dalam kegiatan hulu migas. Selama ini, kita hanya mengenal CSR, yang menempatkan perusahaan sebagai obyek untuk ”diperas” sesuai keinginan kita. Padahal, semua pemangku kepentingan seharusnya punya tanggung jawab yang sama demi terwujudnya kedaulatan energi.
Tanggung jawab Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah menyumbangkan pendapatan negara dari produksi migas. Tanggung jawab pemangku kepentingan—baik pemda, civil society (media, LSM, dan akademisi) ataupun masyarakat—adalah mendukung agar operasi hulu migas dapat berjalan dengan lancar.
Kewajiban pemda belajar operasi hulu migas sebaik-baiknya untuk menyiapkan BUMD yang dapat mengambil alih pada saat blok migas itu berakhir. Peran civil society utamanya membantu investor agar melaksanakan kegiatan operasi yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Masyarakat pun sebaiknya menjadi mitra yang baik bagi KKKS supaya usaha untuk menambah pendapatan negara terwujud.
Sejarah menunjukkan, ketiadaan tanggung jawab sosial para pemangku kepentingan akan membuat daerah tersebut terpuruk pada saat investor berhenti operasi. Selama kita sibuk untuk merevisi UU Migas, membubarkan BP Migas atau memaksa transparansi pendapatan, tetapi kita tidak pernah ingin berusaha menjadi pemain bisnis hulu migas, jangan berharap kemandirian energi akan terwujud.
Kedaulatan energi tidak ditunjukkan dengan melempar tanggung jawab ke pihak lain. Kedaulatan energi ditunjukkan dengan mengambil tanggung jawab mengelola sumber daya alam dengan belajar, bekerja, dan berusaha.


Adi Nugroho Pengamat Bidang Energi



Kepastian Hukum

 PENANAMAN MODAL




Akhir-akhir ini masalah ketidakpastian hukum sering mengemuka dalam diskusi tentang kebijakan perekonomian. Dalam diskusi menyambut Dies Natalis Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, pekan lalu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi mempersoalkan masalah buruknya penegakan dan ketidakpastian hukum Indonesia.
Kegelisahan sama diungkapkan Sofjan Wanandi dalam peluncuran laporan kinerja investasi global oleh United Nations Conference on Trade and Development (Unctad) dengan judul ”Global Value Chains: Investment and Trade for Development”, Rabu (26/6).

Ekonom Faisal Basri dalam peluncuran laporan Unctad itu mengatakan, arus penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI) global 2013 naik tipis dibandingkan tahun 2012 atau diperkirakan sebesar 1,45 triliun dollar AS. Unctad pada tahun 2012 juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-17 negara tujuan investasi.
Arus FDI kemungkinan akan naik menjadi 1,6 triliun dollar AS tahun 2014 dan 1,8 triliun AS tahun 2015. Meski begitu, laporan Unctad mengingatkan berbagai faktor, seperti kelemahan struktural dalam sistem keuangan global, pemburukan (possible deterioration) pada lingkungan makroekonomi, dan ketidakpastian kebijakan yang signifikan di wilayah krusial bagi kepercayaan investor, berpotensi memicu penurunan arus FDI.

Faisal mengatakan, Unctad juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-17 negara tujuan investasi dari 20 negara tujuan investasi paling menarik global. Peringkat ke-17 ini lebih baik dibandingkan tahun lalu pada peringkat ke-21 dengan nilai FDI sebesar 20 miliar dollar AS. Indonesia juga berada pada peringkat keempat negara yang paling prospektif untuk tujuan investasi setelah AS, China, dan India.
FDI yang masuk ke Indonesia tersebar di berbagai sektor unggulan, seperti industri pergudangan (warehouse industry), telekomunikasi, peralatan transportasi, elektronik, dan industri farmasi. Faisal meyakini arus FDI yang masuk pada 2014-2015 akan mendorong peningkatan kinerja ekspor produk manufaktur.

Unctad mencatat, total arus masuk FDI ke Indonesia tahun 2012 mencapai 19,85 miliar dollar AS, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang 19,24 miliar dollar AS. Arus FDI 2013 tak berbeda jauh.
Namun, lagi-lagi Sofjan Wanandi menyatakan, masalah ketidakpastian hukum sangat mengganggu investasi dan menurunkan daya saing industri.
Tidak hanya Sofjan, dalam berbagai diskusi terkait dengan pertumbuhan ekonomi, keluhan soal ketidakpastian hukum juga selalu mengemuka. Para pengusaha kini mulai menyadari, betapa persoalan ketidakpastian hukum sangat berdampak terhadap laju pertumbuhan bisnis mereka, yang pada akhirnya mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.

Seberapa besar dampak ketidakpastian dan kelonggaran hukum atas pertumbuhan ekonomi? 
Yang paling sederhana soal daya saing. Sofjan menyebut tidak semua produk China berdaya saing tinggi. Juga belum tentu memenuhi standar RI.
Namun, produk China banjir ke Indonesia dan menggerus daya saing produk lokal. Semuanya karena banyak pintu ”pelabuhan liar” yang dibiarkan terbuka.
Masalah penegakan hukum terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi. Sebab, di mana roda ekonomi berputar, di situlah banyak muncul persoalan penegakan dan kepastian hukum. Di pusat ataupun daerah sama saja. Sampai kapan akan dibiarkan? (HERMAS E PRABOWO)