Friday, June 28, 2013

Jajak pendapat Kompas: Pencitraan Lebih Diutamakan

Jajak Pendapat Kompas



 Oleh YOHAN WAHYU



Jelang masa kampanye Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014, nuansa pencitraan dinilai paling mendominasi tampilan iklan politik di media massa. Pengenalan visi, misi, dan program cenderung tertanggalkan di tengah kekhawatiran tumpang tindih kepentingan dengan politisi pemilik media.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Secara umum, publik menilai dalam sejumlah pemilu selama ini, kampanye di media hanya dijadikan ajang menaikkan pamor lewat pencitraan. Tak terkecuali situasi saat ini. Bagi mayoritas responden (70,8 persen), sebagian besar aktivitas kampanye politik di media massa telah menggeser pentingnya pemaparan pendidikan politik yang lebih mendalam, seperti visi, misi, dan program partai.
Sulit disangkal, dari segi pendidikan politik selama ini, kampanye media tidak ubahnya ritual politik yang kurang bermakna. Sebagian besar dari kelompok responden yang mengikuti pemberitaan politik menyatakan hanya mengetahui nama dan simbol partai politik. Pernyataan itu diungkapkan responden dari semua kelompok, baik kelompok menengah atas yang cenderung kritis dalam memahami perilaku politik elite maupun kelompok menengah bawah.
Sebagian besar kampanye pemilu yang menggunakan saluran media massa kurang berani mengekspos kerja nyata, baik program maupun rekam jejak pencapaian dari kandidat atau partai politik yang diiklankan. Hampir separuh responden mengaku, kampanye melalui iklan-iklan politik di media tidak memberikan pemahaman lebih mendalam tentang partai politik dan lebih-lebih kaitannya dengan persoalan bangsa.
Tiadanya pesan yang jelas tentang misi sebuah kampanye politik, terutama yang dilakukan melalui media massa, memperkuat dugaan bahwa pelaku politik lebih banyak menjadikan media sebagai jembatan menuju popularitas. Iklan politik media tak ubahnya ”serangan udara”, bahkan propaganda melalui sarana media kepada publik.

Independensi

Peran media massa sangatlah penting dalam kontestasi politik menjelang Pemilu 2014. Media bisa mengonstruksi cara pandang khalayak terkait peristiwa-peristiwa seputar pemilu. Dalam melakukan peran tersebut, media bisa berada pada posisi membela kemapanan, mempertahankan rezim atau menumbuhkan perubahan melalui pemikiran-pemikiran kritis.
Diskursus tentang media massa pada era ini memperlihatkan ada keterkaitan antara kepemilikan media massa yang berskala nasional maupun daerah dengan peran politik media. Penguasaan atas arus informasi publik kerap terbukti menjadi alat yang ampuh untuk membentuk opini dalam masyarakat yang pada gilirannya memberikan daya dorong politik. Akibatnya, penguasaan atas informasi media kerap ditempatkan sebagai alat tawar politik untuk menang dalam pertarungan politik.
Kenyataan saat ini menunjukkan sejumlah pemilik media, terutama televisi, adalah sekaligus elite partai politik. Fenomena tersebut memunculkan kekhawatiran terkait kontrol informasi, baik berbentuk iklan maupun pemberitaan terkait pemilu. Politisi sekaligus pemilik media akan dengan mudah menggunakan media sebagai alat propaganda tanpa diimbangi masukan kritis. Lebih jauh, media dapat digunakan sebagai ajang pencitraan publik dan meruntuhkan popularitas lawan politik.
Dampaknya, informasi yang lahir dari media tersebut cenderung bias. Pembodohan publik terjadi melalui media yang sudah tidak lagi berpihak kepada warga lantaran harus melindungi kepentingan politik tertentu. Dalam kondisi ini, media sudah kehilangan esensi untuk melakukan kontrol sosial, apalagi harus menjadi pilar demokrasi.
Jajak pendapat ini menangkap ada kekhawatiran dari 58 persen responden terhadap terjebaknya media oleh agenda politik pencitraan pemilik media yang sekaligus politisi. Kekhawatiran yang sama ditangkap pula oleh Komisi Pemilihan Umum yang meminta dukungan Badan Pengawas Pemilu, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers untuk mengawasi kampanye partai politik, khususnya di media massa (Kompas, 12/1/2013).
Publik survei ini meyakini, kesatuan politisi dan pemilik media dapat memengaruhi kinerja media dalam melayani kepentingan publik. Pasalnya, tak terhindarkan terjadinya konflik kepentingan dari pemilik media yang menjadi jajaran elite partai. Media yang idealnya merupakan perpanjangan demokrasi akhirnya menjadi ancaman bagi demokrasi. Tanggung jawab media yang sejatinya berfungsi sebagai ekspresi keberagaman pendapat beralih rupa menjadi ekspresi keseragaman.
Dalam perspektif Henshall (2000), tata monolitik citra partai politik dalam negara demokrasi akan melahirkan dominasi politik tidak sehat. Pesan-pesan politik dalam media akan menjadi otoritas tunggal karena hanya ada sebagian kecil episentrum politik yang berkuasa.
Pengalaman Pemilu 2009 juga menyebutkan kecenderungan serupa. Hasil monitoring Institut Studi Arus Informasi mencatat, independensi media televisi yang terafiliasi dengan calon presiden dan wakil presiden tampak ”terganggu”. Afiliasi yang dimaksud adalah televisi tersebut memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan para calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2009.
Fenomena tersebut mungkin saja terulang pada Pemilu 2014. Apalagi, Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang menjadi landasan hukum digelarnya Pemilu 2014, tidak rinci menyebutkan sanksi terhadap pelanggaran aturan kampanye di media. Dengan kata lain, tidak ada lagi jaminan tahap kampanye akan steril dari pemanfaatan media sebagai iklan politik.

Ruang publik

Kekhawatiran publik soal terkooptasinya media oleh agenda politik pencitraan menjadi sinyal betapa publik berharap besar pada media. Media menjadi jembatan komunikasi politik antara elite dan rakyatnya. Apalagi, iklan dan kampanye politik yang menggunakan media massa telah memanfaatkan ruang publik yang dimiliki bersama.
Meminjam pendekatan Jurgen Habermas (1989), ruang publik memiliki peran yang cukup penting dalam proses berdemokrasi. Ruang publik tidak terikat oleh kekuatan pasar maupun politik. Semua memiliki hak dan kesempatan yang sama, baik kelompok elite maupun publik umumnya. Jika meminjam pendekatan ini, iklan atau kampanye politik yang banyak mengekspos citra tanpa disertai bobot visi, misi, dan program, telah meminggirkan hak publik.
Jika iklan atau kampanye politik melalui media hanya sekadar ditujukan untuk meningkatkan citra dan performa partai politik, bisa dikatakan ruang publik melalui media telah direbut dan dikuasai para pelaku politik. Publik yang berharap mendapatkan lebih dari sekadar nama-nama partai dan simbol- simbol politik harus rela menikmati ”serangan udara” yang mendominasi dan kurang bermakna bagi pendidikan politik. Harus dihindari, terjadinya kooptasi terhadap ruang publik oleh kepentingan ekonomi politik elite politik.

(Antonius Purwanto/LITBANG KOMPAS)

No comments:

Post a Comment