Jajak Pendapat Kompas
Senin,
28 Januari 2013 http://cetak.kompas.com/read/2013/01/28/0314375/pencitraan.lebih.diutamakan
Oleh YOHAN WAHYU
Jelang masa kampanye Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014, nuansa
pencitraan dinilai paling mendominasi tampilan iklan politik di media massa.
Pengenalan visi, misi, dan program cenderung tertanggalkan di tengah
kekhawatiran tumpang tindih kepentingan dengan politisi pemilik media.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu.
Secara umum, publik menilai dalam sejumlah pemilu selama ini, kampanye di media
hanya dijadikan ajang menaikkan pamor lewat pencitraan. Tak terkecuali situasi
saat ini. Bagi mayoritas responden (70,8 persen), sebagian besar aktivitas
kampanye politik di media massa telah menggeser pentingnya pemaparan pendidikan
politik yang lebih mendalam, seperti visi, misi, dan program partai.
Sulit disangkal, dari segi pendidikan politik selama ini, kampanye
media tidak ubahnya ritual politik yang kurang bermakna. Sebagian besar dari
kelompok responden yang mengikuti pemberitaan politik menyatakan hanya
mengetahui nama dan simbol partai politik. Pernyataan itu diungkapkan responden
dari semua kelompok, baik kelompok menengah atas yang cenderung kritis dalam
memahami perilaku politik elite maupun kelompok menengah bawah.
Sebagian besar kampanye pemilu yang menggunakan saluran media massa
kurang berani mengekspos kerja nyata, baik program maupun rekam jejak
pencapaian dari kandidat atau partai politik yang diiklankan. Hampir separuh
responden mengaku, kampanye melalui iklan-iklan politik di media tidak
memberikan pemahaman lebih mendalam tentang partai politik dan lebih-lebih
kaitannya dengan persoalan bangsa.
Tiadanya pesan yang jelas tentang misi sebuah kampanye politik,
terutama yang dilakukan melalui media massa, memperkuat dugaan bahwa pelaku
politik lebih banyak menjadikan media sebagai jembatan menuju popularitas.
Iklan politik media tak ubahnya ”serangan udara”, bahkan propaganda melalui
sarana media kepada publik.
Independensi
Peran media massa sangatlah penting dalam kontestasi politik menjelang
Pemilu 2014. Media bisa mengonstruksi cara pandang khalayak terkait
peristiwa-peristiwa seputar pemilu. Dalam melakukan peran tersebut, media bisa
berada pada posisi membela kemapanan, mempertahankan rezim atau menumbuhkan
perubahan melalui pemikiran-pemikiran kritis.
Diskursus tentang media massa pada era ini memperlihatkan ada
keterkaitan antara kepemilikan media massa yang berskala nasional maupun daerah
dengan peran politik media. Penguasaan atas arus informasi publik kerap
terbukti menjadi alat yang ampuh untuk membentuk opini dalam masyarakat yang
pada gilirannya memberikan daya dorong politik. Akibatnya, penguasaan atas
informasi media kerap ditempatkan sebagai alat tawar politik untuk menang dalam
pertarungan politik.
Kenyataan saat ini menunjukkan sejumlah pemilik media, terutama
televisi, adalah sekaligus elite partai politik. Fenomena tersebut memunculkan
kekhawatiran terkait kontrol informasi, baik berbentuk iklan maupun pemberitaan
terkait pemilu. Politisi sekaligus pemilik media akan dengan mudah menggunakan
media sebagai alat propaganda tanpa diimbangi masukan kritis. Lebih jauh, media
dapat digunakan sebagai ajang pencitraan publik dan meruntuhkan popularitas
lawan politik.
Dampaknya, informasi yang lahir dari media tersebut cenderung bias.
Pembodohan publik terjadi melalui media yang sudah tidak lagi berpihak kepada
warga lantaran harus melindungi kepentingan politik tertentu. Dalam kondisi
ini, media sudah kehilangan esensi untuk melakukan kontrol sosial, apalagi
harus menjadi pilar demokrasi.
Jajak pendapat ini menangkap ada kekhawatiran dari 58 persen responden
terhadap terjebaknya media oleh agenda politik pencitraan pemilik media yang
sekaligus politisi. Kekhawatiran yang sama ditangkap pula oleh Komisi Pemilihan
Umum yang meminta dukungan Badan Pengawas Pemilu, Komisi Penyiaran Indonesia,
dan Dewan Pers untuk mengawasi kampanye partai politik, khususnya di media
massa (Kompas, 12/1/2013).
Publik survei ini meyakini, kesatuan politisi dan pemilik media dapat
memengaruhi kinerja media dalam melayani kepentingan publik. Pasalnya, tak
terhindarkan terjadinya konflik kepentingan dari pemilik media yang menjadi
jajaran elite partai. Media yang idealnya merupakan perpanjangan demokrasi
akhirnya menjadi ancaman bagi demokrasi. Tanggung jawab media yang sejatinya
berfungsi sebagai ekspresi keberagaman pendapat beralih rupa menjadi ekspresi
keseragaman.
Dalam perspektif Henshall (2000), tata monolitik citra partai politik
dalam negara demokrasi akan melahirkan dominasi politik tidak sehat.
Pesan-pesan politik dalam media akan menjadi otoritas tunggal karena hanya ada
sebagian kecil episentrum politik yang berkuasa.
Pengalaman Pemilu 2009 juga menyebutkan kecenderungan serupa. Hasil
monitoring Institut Studi Arus Informasi mencatat, independensi media televisi
yang terafiliasi dengan calon presiden dan wakil presiden tampak ”terganggu”.
Afiliasi yang dimaksud adalah televisi tersebut memiliki hubungan baik langsung
maupun tidak langsung dengan para calon presiden dan wakil presiden di Pemilu
2009.
Fenomena tersebut mungkin saja terulang pada Pemilu 2014. Apalagi,
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
yang menjadi landasan hukum digelarnya Pemilu 2014, tidak rinci menyebutkan
sanksi terhadap pelanggaran aturan kampanye di media. Dengan kata lain, tidak
ada lagi jaminan tahap kampanye akan steril dari pemanfaatan media sebagai
iklan politik.
Ruang publik
Kekhawatiran publik soal terkooptasinya media oleh agenda politik
pencitraan menjadi sinyal betapa publik berharap besar pada media. Media
menjadi jembatan komunikasi politik antara elite dan rakyatnya. Apalagi, iklan
dan kampanye politik yang menggunakan media massa telah memanfaatkan ruang
publik yang dimiliki bersama.
Meminjam pendekatan Jurgen Habermas (1989), ruang publik memiliki peran
yang cukup penting dalam proses berdemokrasi. Ruang publik tidak terikat oleh
kekuatan pasar maupun politik. Semua memiliki hak dan kesempatan yang sama,
baik kelompok elite maupun publik umumnya. Jika meminjam pendekatan ini, iklan
atau kampanye politik yang banyak mengekspos citra tanpa disertai bobot visi,
misi, dan program, telah meminggirkan hak publik.
Jika iklan atau kampanye politik melalui media hanya sekadar ditujukan
untuk meningkatkan citra dan performa partai politik, bisa dikatakan ruang
publik melalui media telah direbut dan dikuasai para pelaku politik. Publik
yang berharap mendapatkan lebih dari sekadar nama-nama partai dan simbol-
simbol politik harus rela menikmati ”serangan udara” yang mendominasi dan
kurang bermakna bagi pendidikan politik. Harus dihindari, terjadinya kooptasi
terhadap ruang publik oleh kepentingan ekonomi politik elite politik.
(Antonius Purwanto/LITBANG KOMPAS)
No comments:
Post a Comment